Ganja, Harapan Akhir Penderita Psoriasis

Ganja, Harapan Akhir Penderita Psoriasis
ILUSTRASI

Selama ini, pengobatan psoriasis hanya bersifat meringankan dan tidak menyembuhkan. Tanaman ganja menjadi solusi akhir bagi kesembuhan total penyakit kulit itu.

Pasien yang mengalami peradangan kulit menahun atau biasa disebut psoriasis banyak yang menarik diri dari lingkungan. Belum ada obat yang mampu menyembuhkan, sehingga penyakit ini selalu berpotensi kambuh dan membuat mereka tidak percaya diri.

Psoriasis umumnya ditandai dengan ruam merah di kulit, kulit mengelupas, menebal, kering, dan bersisik. Tanda-tanda tersebut terkadang disertai rasa gatal atau perih. Penyakit ini muncul karena sel-sel kulit diproduksi secara berlebihan.

Pada kondisi normal, tubuh akan memproduksi dan mengganti sel-sel kulit yang mati beberapa minggu sekali. Sementara itu, Orang dengan Psoriasis & Psoriatik Arthritis (ODPA) mengalaminya sepuluh kali lebih cepat. Ujungnya, terjadi penumpukan sel kulit yang membentuk sisik tebal berwarna keperakan.

Lazimnya, psoriasis terjadi di kulit kepala, lutut, siku, tangan, dan kaki. Sebanyak 80 persen penderita psoriasis mengalami gejala ringan hingga sedang. Dua puluh persen lainnya menderita psoriasis parah sehingga peradangan kulitnya sampai ke area umum dan mencapai 5 persen area tubuh. Sebanyak 40 persen penderita psoriasis juga mengalami radang sendi hingga gejala artritis, yakni peradangan pada satu atau lebih persendian disertai rasa sakit, bengkak, kaku, dan keterbatasan bergerak.

Hingga kini, penyebab timbulnya psoriasis belum diketahui secara pasti. Namun gangguan autoimun, sistem kekebalan tubuh yang keliru menyerang sel-sel kulit sehat, kerap ditunjuk sebagai penyebab. Psoriasis diwariskan secara genetik, tapi cenderung dipicu oleh stres.

“Baik pria maupun wanita dapat menderita penyakit ini,” kata dr Danang Tri Wahyudi Sp.KK(K), spesialis kulit dari Rumah Sakit Dharmais dalam diskusi mengenai psoriasis di Jakarta, Selasa (16/8/2017).

Menurut Tri, perjuangan ODPA tidak hanya dalam melawan rasa sakit, tapi juga beban psikologis dan emosional yang besar. Prevalensi depresi pada ODPA bisa mencapai 50 persen, setara dengan pasien penyakit kronis lainnya seperti kanker, artritis, hipertensi, penyakit jantung, dan diabetes. “Tidak dapat dipungkiri, psoriasis memiliki dampak besar bagi kesehatan fisik dan mental. Kualitas hidup pasien sudah pasti menurun dan mempengaruhi kepercayaan diri mereka,” katanya.

Di Indonesia, belum ada data jumlah ODPA. Sebagai gambaran, di Amerika Serikat ada sekitar 7,5 juta orang mengidap penyakit ini. Total biaya pengobatan pada 2013 diperkirakan mencapai $51,7-63,2 miliar.

Terdapat beberapa cara terapi psoriasis. Misalnya dengan salep oles (topical), obat telan (sistemik), maupun penyinaran menggunakan sinar UVA & B. Namun, hanya ada beberapa rumah sakit di Indonesia yang menyediakan pengobatan melalui penyinaran UVA & B karena biaya yang besar. Pilihan terapi lain adalah menggunakan monoclonal antibody dengan terapi secukinumab.

Terapi secukinumab dianggap relatif manjur dibandingkan dengan metode lain. Uji klinis pada 2016 dilakukan kepada dua kelompok ODPA sejumlah 898 orang. Kelompok pertama sebanyak 572 orang diterapi dengan secukinumab. Sisanya sebanyak 326 diberi obat perawatan etanercept.

Selama 52 minggu hasil uji klinik menyimpulkan secukinumab lebih efektif dari etanercept dalam meringankan psoriasis. Namun, semua pengobatan tersebut sifatnya hanya membantu meredakan gejala penyakit dan tidak menyembuhkannya. Sewaktu-waktu penyakit ini dapat timbul kembali.

Harapan baru muncul bagi ODPA ketika penelitian Rieder SA dkk yang diterbitkan tahun 2010 menyatakan psoriasis mungkin dapat disembuhkan dengan cannabinoid. Senyawa dari tanaman Cannabis/ganja ini memberikan efek antiinflamasi (peradangan) dan imunosupresif (menekan sistem imun) pada tubuh.

Cara kerjanya menghambat proliferasi keratinosit, yakni pembelahan sel aktif pada sel epidermis utama. Ia meredakan peradangan dan potensial untuk pengobatan psoriasis. Selain psoriasis, cannabinoid juga berperan sebagai imunosupresif dan antiinflamasi untuk multiple sclerosis, diabetes, rheumatoid arthritis, dan alergi asma.

Hanya saja, penggunaan cannabinoid menjadi dilema bagi ODPA karena penggunaan ganja dilarang di beberapa negara.

 

TANAMAN AJAIB
“Tanaman ajaib ciptaan Tuhan,” begitulah ganja dideskripsikan Inang Winarso, Direktur Yayasan Sativa Nusantara (LGN).

Inang Winarso memaparkan tak ada yang sia-sia dari setiap bagian tanaman ganja, mulai dari akar, batang, daun, bunga, bahkan biji ganja dapat diolah dan bermanfaat. Ganja diidentifikasikan memiliki 483 konstituen kimia yang berbeda. Sebanyak 66 diantaranya disebut cannabinoid, senyawa ganja yang memainkan peran penting dalam kualitas ganja sebagai obat.

Selain cannabinoid, terdapat pula THC (Delta-9 tetrahydrocannabinol) sebagai senyawa paling aktif dalam psikologis ganja. Zat ini memiliki efek analgesik atau penghilang rasa sakit, sifat anti-spasmodik atau bisa menghilangkan kejang-kejang, anti-getaran, anti-inflamasi atau bisa mencegah pembengkakan, perangsang nafsu makan dan anti muntah. THC telah diketahui untuk mengurangi pertumbuhan tumor dan mengurangi perkembangan aterosklerosis (penyempitan pembuluh darah yang disebabkan oleh kelebihan lemak di dinding arteri) pada tikus.

Zat lain yang terkandung dalam ganja adalah (E)–BCP (Beta-caryophyllene). Zat ini diyakini dapat digunakan sebagai pengobatan yang efektif untuk nyeri, arthritis (peradangan sendi), sirosis (peradangan dan fungsi buruk pada hati), mual, osteoarthritis (penyakit sendi), aterosklerosis (kondisi di mana dinding arteri menebal sebagai akibat dari kelebihan lemak seperti kolesterol), dan penyakit lainnya.

Zat lainnya adalah Cannabichromene (CBC) yang dapat membantu menciptakan sifat penyembuhan pada ganja dengan mendorong efek dari THC. Lalu ada Cannabidiol (CBD) sebagai komponen non-psikoaktif ganja, kehadiran CBD dalam ganja dapat menekan efek euforia dari THC.

CBD memiliki sifat anti-inflamasi, anti-biotik, anti-depresan, anti-psikotik, anti-oksidan, penenang, imunomodulator (penyesuaian sistem imun), dapat meredakan kejang, radang, gelisah, dan mual. Untuk mengobati penyakit kronis, CBD harus disinergikan dengan THC.

Zat lain dalam ganja yang dapat dipergunakan dalam medis adalah Cannabigerol (CBG) sebagai cannabinoid pertama dan pencetus biogenetis dari semua senyawa ganja. CBG memiliki efek sedatif dan sifat antimikroba, dan menyebabkan rasa kantuk. CBG dapat mengurangi tekanan intraokular (tekanan cairan pada mata) pada pasien glaukoma (pasien yang mengalami gangguan mata di mana saraf optik mengalami kerusakan pada penglihatan yang permanen dan bisa mengakibatkan kebutaan jika tidak diobati) dan berkontribusi terhadap sifat anti-biotik pada ganja.

“Ganja memiliki unsur-unsur medis yang mudah diterima oleh tubuh. Paling utama mampu memperbaiki sel-sel yang rusak, sehingga beberapa penderita kanker, radang, atau sel yang rusak bisa diremajakan,” kata Inang.


PENELITIAN GANJA

Dengan segala kaya kandungan zat dan manfaatnya, ganja telah dimanfaatkan untuk keperluan yang lebih luas. Di Amerika, Inggris, Tiongkok, dan Jepang, ganja sudah dimaksimalkan sebagai bahan baku industri. Yang paling menonjol adalah industri medis di Amerika dan Inggris. Di Cina dan Jepang lebih condong memanfaatkan ganja sebagai bahan baku industri kosmetik dan tekstil. Di Indonesia, masih menempatkan tanaman ini sebagai barang ilegal.

“Indonesia sungguh tertinggal karena ketakutan yang tidak beralasan. Takut ditangkap, akhirnya ilmu pengetahuan tentang ganja tidak berkembang di sini,” kata Inang.

Sejatinya, penelitian mengenai kemungkinan ganja sebagai obat penyakit diabetes pernah diusahakan oleh Lingkar Ganja Nusantara (LGN) di 2014. Saat itu, tepatnya pada bulan Oktober, Musri Musman, seorang Ahli Kimia Bahan Alam dari Universitas Syiah Kuala Aceh bersama LGN mengirimkan permohonan izin kepada Kementerian Kesehatan (Kemenkes). Isinya meminta izin penelitian mengenai manfaat ekstrak ganja untuk pengobatan diabetes.

Pada Januari 2015 Menteri Kesehatan, Nila F Moeloek melalui ketua Balitbangkes yang saat itu dijabat oleh Yoga Tjandra Aditama menyetujui penelitian dengan syarat harus dilakukan di laboratorium pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Kesehatan No. 132/2012, izin untuk memperoleh, menanam, menyimpan, dan menggunakan tanaman ganja hanya di Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Tanaman Obat dan Obat Tradisional Kemenkes di Tawangmangu, Solo. Maka terbitlah Keputusan Menteri Kesehatan No. 118/2015 yang meloloskan izin penelitian LGN. Namun dalam perjalanannya penelitian ini tertunda.

Kasus Yeni bisa jadi momentum bahwa ganja tak hanya dilihat dari satu sisi saja. Ganja yang juga punya manfaat lain, sebagai alternatif obat di Indonesia. Orang-orang seperti Inang Winarso sudah mencoba mencari celah untuk legalisasi ganja guna keperluan medis. Keputusan ada di tangan pemerintah, dan saat ini jadi momentumnya.[]tirto.id

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Aceh Menggugat
Aceh Menggugat

Aceh Menggugat