KITA biasanya menggambarkan Jakarta dalam dua kanvas. Pertama, lukisan berisi kemacetan merayapi jalan diantara gedung pencakar langit yang dibaluti polusi udara akibat perubahan tren. Kedua, deskripsi berupa anak-anak jalanan tidur di kolong jembatan dan orang-orang pinggiran menyambung hidup di area kumuh.
Saya beruntung bisa berjalan dan meloloskan diri dari dua lukisan itu pada kunjungan akhir tahun 2013. Berawal dari sebuah lomba yang mengantarkan saya ke Jakarta—ketiga kalinya dengan penerbangan gratis tahun ini—saya menemukan ketenangan di sebuah kebun menyerupai bungalo.
Hasbi, sang pemilik, memadukan bangunan tradisional dengan konsep agraris dan suasana urban di lahan hampir seluas lapangan bola kaki. “Lahan ini sudah sekitar sepuluh tahun,” singkap pria Pidie ini. Tanaman mulai dari sukun, melinjo, mangga, rambutan, jambu, hingga sayuran dan matoa—tanaman khas Papua, tumbuh subur.
Dia kemudian membangun rumah pada tahun 2009. Rumah panggung dua kamar ditancapkan bagai pondasi cakar ayam jalan tol dalam sebuah kolam ikan. Ada tivi, jejeran bangku kayu, dan rangkang nyantai di ruang tamu.
“Dulunya bisa memancing lele dari teras ini, tapi banjir tahun lalu menghanyutkan semuanya,” ungkap Nelly istri Hasbi.
Lantai panggung itu disusun dari papan boat bekas. Harganya lebih murah dari pada beli papan utuh. Dinding terbuat dari anyaman kulit bambu bermotif tangga.
Saya melihat beragam jenis ikan dari balik jendela kamar dan teras yang menghadap deretan perumahan Kelurahan Harjamukti, Cimanggis, Jakarta Selatan.
Kicau merpati juga melengking dari sarangnya; kadang-kadang mereka berduyun-duyun turun ke permukaan kolam di kiri rumah panggung. Sebuah badang berisi lhok (pakan ternak dari ampas padi) campur pakan organik terapung, sasaran empuk bagi mereka.
Burung-burung itu pemandangan yang menarik dari depan saung. Saung bambu yang dijadikan musalla sekaligus balai serbaguna; bisa tidur-tiduran, jemur pakaian, mengerjakan tugas harian, dan lainnya, meskipun harus bersabar kalau-kalau digigit nyamuk.
Ada satu kolam lagi di belakang saung. Ikan-ikan gurami, mas, menari-nari di permukaan. Jauh dari mereka, ayam-ayam berciap-ciap di kandang. Kokok ayam pada subuh kadang membangunkan Si Yan.
Si Yan salah satu penghuni lainnya. Juga Anto abangnya. Awalnya mereka hanya berdua di situ, lalu datang An. Mereka bertalian saudara dengan Hasbi sang pemilik.
Rumah itu tak disewakan. Mereka hanya menanggung biasa listrik dan makan sehari-hari. Sebuah kewajiban barangkali, mereka menjaga dan mengelola seisi kebun.
Akhir pekan akan banyak orang Aceh yang berkunjung. “Kalau sudah Sabtu-Minggu, di sini ramai. Kadang sampai larut malam,” beber Yan.
Weekend menjadi ajang silaturrahmi bagi warga Aceh lainnya yang menetap di Harjamukti atau teman-teman Hasbi. Mereka biasanya masak bersama sembari menikmati hiburan di ruang tamu; melarikan diri dari kesibukan dan kesumpekan metropolitan.
“Saya kalau tak ada kerja, selalu main-main kesini,” ujar Dedek, seorang Pidie yang sejak 2008 tinggal di Harjamukti. “Pernah ada orang Aceh yang datang kesini, lalu mereka bilang: ‘di Jakarta sama chit lagee di gampong/di jakarta sama juga seperti di kampung’,” ceritanya.
Haha, tapi saya tak merasa demikian. Justru tempat ini lebih nyaman. Tinggal di gampong tapi di ibukota. Bilang di kebun, tapi ada rumah yang menyenangkan. Dibilang homestay, masih di dalam negeri. Sebut bungalo, tempat ini tak disewakan. Dikatai resort, pondok, dan sejenisnya, terlalu mewah.
Ah, payaaah. So, saya melayakkannya dengan nama ‘Gampong Aceh di Cimanggis’. Atmosfirnya memang Aceh banget. Tapi, sebagai tamu, kita patut memnyikapinya kayak rumah sendiri. Maksudku, jangan makan-buang-tidur alias pajoh-toh-eh saja. Berlagaklah sewajarnya. [Makmur Dimila]
Belum ada komentar