FPL: Perlu Kolaborasi Untuk Mendorong Pengesahan RUU PKS

Sahkan RUU PKS
Ilustrasi Foto: Media Indonesia

PM, Banda Aceh – Angka kasus kekerasan terhadap perempuan terus melonjak dalam beberapa tahun terakhir. Dalam rentang itu pula, dorongan berbagai elemen masyarakat untuk pengesahan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual (RUU PKS) kian menguat.

Forum Pengada Layanan (FPL) Regional Barat bersama sejumlah organisasi perempuan di Sumatra, sepakat untuk berkolaborasi mendorong disahkannya RUU PKS. Sikap tersebut sekaligus menyambut momentum Peringatan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP), yang diperingati setiap tanggal 25 November hingga 10 Desember mendatang.

“Perlu ada upaya untuk mengukuhkan kolaborasi mendorong pengesahan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” kata Dewan Pengarah Nasional FPL, Yefri Heriani dalam dialog online bersama jurnalis membahas situasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan di Sumatra, Sabtu pekan lalu.

Adapun dialog ini menghadirkan lima narasumber, yakni dari Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang, lalu juga hadi perwakilan SPi Labuhan Batu-Sumatra Utara, Yayasan Embun Pelangi-Batam, Relawan Perempuan untuk Kemanusiaan-Aceh, dan Nurani Perempuan WCC-Padang.

Pertemuan ini dihadiri oleh anggota FPL Region Barat yaitu Aliansi Sumut Bersatu, LBH Apik Medan, Hapsari Medan, APM, dan PUPA Bengkulu.

Baca juga DPRA Bentuk Tim Penegakan Hukum Kekerasan Seksual

Yefri dalam kesempatan itu menegaskan, kerja-kerja penanganan kekerasan terhadap perempuan sebenarnya telah digagas oleh berbagai lembaga layanan yang diinisiasi masyarakat sipil. Dengan melonjaknya jumlah pelaporan kasus kekerasan terhadap perempuan, maka mereka pun perlu bergerak bersama-sama mendorong pengesahan RUU-PKS.

“Kekerasan terhadap perempuan, khususnya kekerasan seksual, banyak sekali korban yang hingga kini belum terpenuhi hak-haknya untuk mendapatkan perlindungan, keadilan, apalagi pemulihan, hak inilah yang diperjuangkan melalui RUU tersebut,” ujar Yefri.

Berbagai Tantangan

Lebih lanjut Yefri menjelaskan, situasi penanganan kasus kekerasan terhadap perempuan masih menghadapi banyak tantangan, sesuai dengan konteks wilayah masing-masing di Sumatra. Namun secara umum, persoalan utamanya adalah cara pandang terhadap kasus-kasus tersebut.

“Cara pandang ini masih menjadi pekerjaan rumah yang harus terus dibenahi di masyarakat dan juga aparat penegak hukum,” ucapnya.

Ia menyimpulkan tantangan itu berdasarkan pemaparan dari perwakilan empat wilayah; Laila dari RPuK Aceh, Leli (SPI Labuhan Batu), Rita (Yayasan Embun Pelangi Batam) dan Meri (Nurani Perempuan Sumbar).

“Bisa kita simpulkan bahwa tantangan itu ada pada ranah aparat penegak hukum yang belum memiliki rujukan aturan khusus dalam penanganan korban kekerasan seksual,” tegasnya.

Baca juga Pekerja Sosial: Pelaku Kekerasan Seksual Umumnya Orang Terdekat

Baca juga Perempuan dan Anak Aceh dalam Intaian Kekerasan Seksual

Sementara itu, Komisioner Komnas Perempuan, Veryanto Sitohang dalam dialog itu mengatakan, akibat lemahnya penegakan hukum tadi, tak sedikit korban mengalami kekerasan berulang. “Ini pula yang menimbulkan impunitas bagi pelaku,” keluhnya.

Desakan untuk mengesahkan RUU-PKS kian penting dilakukan, mengingat jumlah kasus yang terus bertambah. Tahun ini saja, kata Veryanto, Komnas Perempuan mencatat laporan sebanyak 2.807 kasus kekerasan seksual di ranah personal, serta 2.091 di tingkat komunitas.

“Korban tidak mungkin menunggu lagi, jumlah penambahan kasus sudah semakin memprihatinkan, maka RUU Penghapusan Kekerasan Seksual perlu segera disahkan,” pungkasnya. []

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait