PM, Jakarta – Forum Jurnalis Aceh Jakarta (For-JAK) menggelar silaturahmi secara virtual dengan sejumlah paguyuban masyarakat Aceh se-Jabodetabek, dalam rangka Maulid Nabi Muhammad SAW 1442 Hijriah. Kegiatan ini digelar Sabtu malam (14/11/2020), dengan tema ‘Perkuat Ukhuwah, Jalin Sinergitas’.
Dalam diskusi yang dipandu oleh Riza Nasser, produser Berita Satu TV yang juga pengurus For-JAK itu, hadir pimpinan paguyuban masyarakat Aceh se Jabodetabek seperti Ketua Umum Keluarga Urueng Pidie (KUPI) Muslim Armas; Ketua Umum Seuramoe Syedara Lhokseumawe (Seusama) Zulkifli Ibrahim; dan Ketua Umum Ikatan Keluarga Kabupaten Bireuen (IKKB) Mahlil Ruby.
Kemudian juga hadir Ketua Umum Keluarga Masyarakat Langsa (Keumala) M Nur Hasan; Ketua Umum Ikatan Masyarakat Aceh Tenggara (IKMAT) Heru Hendrawan Selian; Sekjen Seuramoe Aceh Barat Syamsuddin Syar; Ketua Gabungan Anak Idi (Gamasidi) Ibrahim Hasyim; dan Ketua Harian Badan Musyawarah (Bamus) Pidie Jaya Saiful Bahri.
Ketua For-JAK, Salman Mardira mengatakan, saat ini di kawasan Jabodetabek (Jakarta-Bogor-Depok-Tangerang-Bekasi) sudah banyak terbentuk paguyuban dan komunitas masyarakat Aceh. Solidaritas sesama perantau ini, kata dia, sudah terjalin baik terutama dalam merespons setiap musibah. Namun ia berharap interaksi itu lebih diperkuat.
“Banyaknya paguyuban ini adalah hal positif sebagai wadah silaturahmi sekaligus perlindungan bagi warga Aceh di rantau. Hanya saja bagaimana kita meramu ini agar semakin solid dan bersinergi,” kata Salman saat membuka diskusi.
Banyak hal yang bisa dilakukan untuk memperkuat hubungan sesama masyarakat Aceh. Mendorong perbaikan ekonomi, misalnya.
“Dengan membuka jaringan pekerjaan bagi anak-anak muda Aceh. Dalam lingkup lebih besar, kalau solid kita bisa mempengaruhi kebijakan pemerintah untuk pembangunan Aceh yang lebih maju, dan yang tak kalah penting memunculkan tokoh-tokoh baru asal Aceh,” sebut Salman.
Menurutnya, tren anak muda Aceh yang merantau ke Jakarta terus meningkat pasca Tsunami dan perdamaian Aceh. “Jadi sangat disayangkan ada di antara mereka belum terkoneksi dengan paguyuban-paguyuban di daerahnya. Saya pikir paguyuban ini perlu merangkul mereka semua,” sebut pria asal Pidie Jaya itu.
Hal serupa disampaikan Ketua Umum Keluarga Urueng Pidie (KUPI), Muslim Armas. Warga Aceh yang kini sukses di perantauan, kata dia, harusnya bisa lebih peduli dan saling membantu sesama.
Ia mencontohkan bagaimana tokoh-tokoh daerah lain, ketika ada satu orang punya jabatan strategis di perusahaan atau instansi pemerintahan, sangat memprioritaskan orang-orang dari daerahnya dalam berbagai hal, mulai dari perekrutan hingga promosi jabatan.
“Kalau kita (orang Aceh) mengajak orang sekampung rasanya agak berat, ada hambatan beban psikologis, seperti nanti dianggap sektarian, tidak fair yang dirasakan oleh orang-orang di atas itu,” kata Muslim.
Menurutnya, orang-orang Aceh yang sudah sukses harus menghilangkan sikap sinis terhadap sesama, misalnya takut mengajak orang kampungnya bekerja. Menurutnya, anggapan bahwa mempekerjakan orang sedaerah bakal memunculkan masalah, tak sepenuhnya benar.
Muslim sudah membuktikan di perusahaan dipimpinnya, ia merekrut orang-orang Aceh jadi karyawan dan yang potensial diberikan posisi strategis. “Saya sudah mengajak banyak orang Aceh bergabung di perusahaan kita, satu pun tidak ada yang bikin masalah, tidak ada yang bikin malu,” ujarnya.
Muslim juga mengajak orang-orang sukses di perantauan tidak lagi berpikir bahwa keberhasilannya bukan semata-mata perjuangan diri sendiri. “Padahal kita itu berhasil karena ada campur tangan Allah. Oleh karena itu, ada kewajiban dari kita untuk membantu yang lain.”
Sementara itu Ketua Harian Badan Musyawarah (Bamus) Pidie Jaya, Saiful Bahri mengatakan, paguyuban masyarakat Aceh di Jakarta terdiri dari orang-orang dengan berbagai keahlian dan disiplin ilmu, jika dipersatukan maka bisa menghasilkan hal baik untuk Aceh.
“Maka juga harus menjalin sinergi kuat dengan pemerintah daerah, sehingga lebih mudah dalam membantu pembangunan,” sarannya.
Hal itu dikuatkan Ketua Umum Seuramoe Syedara Lhokseumawe (Seusama), Zulkifli Ibrahim. Kata dia, paguyuban Aceh di Jakarta sangat peduli dengan daerah asalnya.
Selama ini, Zulkifli mengaku kerap berdiskusi dengan tokoh-tokoh intelektual Aceh di dalam sebuah grup komunikasi. Di situ mereka membincangkan berbagai masalah dan menyusun gagasan atau konsep pembangunan lebih baik. Lalu hasilnya disampaikan ke pemda.
“Tapi kadang-kadang pemikiran kita ini kalau disampaikan ke pemda mental (ditolak). Mereka menganggap apa yang kita lakukan ngecap saja. Mereka selalu beralasan sudah berbuat lebih jauh,” keluhnya. (*)
Belum ada komentar