PM, Banda Aceh – Koalisi masyarakat sipil nasional dan internasional menyerukan kepada otoritas hukum di Indonesia agar membatalkan putusan pidana kasus pencemaran nama baik terhadap akademisi Unsyiah, Dr Saiful Mahdi.
Peneliti kebebasan sipil yang bernaung dalam CIVICUS: World Alliance for Citizen Participation, Josef Benedict dalam keterangan resminya mengatakan, pemidanaan Saiful Mahdi telah melanggar hak atas kebebasan berekspresi secara online. Ia menegaskan, hak tesebut dilindungi oleh hukum nasional serta merupakan kewajiban internasional Indonesia di bidang hak asasi manusia.
Dirinya juga meyakini bahwa hukuman yang dijatuhkan kepada Dr. Saiful Mahdi bertentangan dengan kewajiban Indonesia berdasarkan Kovenan Internasional tentang Hak Sipil dan Politik (ICCPR), khususnya Pasal 19, serta Pasal 28E (2) Undang-Undang Dasar Indonesia, yang menjamin hak atas kebebasan berpendapat dan berekspresi.
“Pernyataan Saiful Mahdi berisi keprihatinannya terhadap proses kelembagaan, oleh karena itu menyangkut masalah kepentingan umum, yang justru perlu mendapat perlindungan yang lebih baik demi menjaga demokrasi dan kepentingan publik yang lebih luas,” ujarnya dalam keterangan resmi, Selasa (1/9/2020).
Ia juga menerangkan tanggapan Kelompok Kerja PBB untuk Penahanan Sewenang-wenang (U.N. Working Group on Arbitrary Detention — WGAD). Kelompok ini mengkritik penggunaan tuduhan pencemaran nama baik sebagai cara untuk menekan kebebasan berekspresi. Tuduhan mengenai ini harusnya ditangani oleh pihak berwenang secara perdata, bukan pidana.
“Dan tidak boleh ada pemenjaraan untuk tuduhan tersebut,” tuturnya.
Dampak UU–ITE Kian Memprihatinkan
Beberapa lembaga hak asasi manusia ikut tercantum dalam pernyataan sikap tersebut, yaitu KontraS, YLBHI, termasuk lembaga hak asasi manusia yang bernaung di Inggris, ARTICLE 19. Mereka prihatin pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) di Indonesia yang kerap digunakan untuk menuntut orang-orang yang memperjuangkan hak kebebasan berpendapat dan berekspresi, berpikir, dan beragama.
“Undang-undang yang dapat ditafsirkan secara bebas dan terlalu luas ini sering digunakan untuk menangkap, menuntut, dan menghukum aktivis, jurnalis, dan orang-orang yang mengkritik pemerintah,” ujar ketua program Asia ARTICLE 19, Matthew Bugher.
Pemidanaan Saiful Mahdi juga dianggap telah melanggar kebebasan akademik di Indonesia yang dilindungi oleh Pasal 51 (a) Undang-Undang 14/2005 tentang Guru dan Dosen, termasuk kebebasan individu untuk mengekspresikan pendapat secara bebas tentang lembaga atau sistem tempat mereka bekerja, untuk menjalankan fungsi mereka tanpa diskriminasi atau ketakutan akan represi oleh negara atau aktor lain.
Dalam posisinya sebagai akademisi, kata forum ini, apa yang dilakukan Saiful sebenarnya telah dijamin dalam UU 14/2005 tentang Guru dan Dosen. Pada Pasal 51 (a) ditegaskan bahwa setiap individu punya kebebasan untuk berpendapat tentang lembaga atau sistem tempat mereka bekerja.
“Aturan ini menjamin pendapat itu bisa dikemukakan tanpa diskriminasi atau ketakutan akan represi oleh negara atau aktor lain. Karena itu, hukuman terhadap Saiful justru telah melanggar kebebasan akademik yangg dijamin dalam UU ini,” pungkas Direktur LBH Banda Aceh, Syahrul.
Sejak kasus ini bergulir di pengadilan, mereka mengemukakan sejumlah catatan tentang proses yang diduga tidak memenuhi kaidah penyelenggaraan pengadilan yang adil (fair trial), yang belum ditangani oleh pengadilan. Diantaranya adalah tidak dihadirkannya ahli dari Kementerian Komunikasi dan Informatika sebagaimana diatur dalam Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor: B-1179 / E / EJP / 07/2008 tentang Pola Penanganan Tindak Pidana Terkait Informasi dan Transaksi Elektronik.
“Apalagi, putusan Pengadilan Negeri Banda Aceh jelas tidak mempertimbangkan keterangan para saksi ahli yang diajukan oleh kuasa hukum terdakwa, termasuk keterangan seorang ahli dari Kemkominfo yang membantah telah terjadinya tindak pidana dalam perkara tersebut,” imbuhnya.
Pihaknya khawatir, apa yang menimpa Saiful Mahdi sebagai langkah regresif dan merusak hak atas kebebasan berekspresi yang esensial dalam demokrasi. Menurutnya, hal ini juga telah berdampak pada meluasnya keengganan untuk melakukan kritik yang sah.
“Membebaskan Dr. Saiful Mahdi dari hukuman akan memberikan pesan yang kuat kepada sivitas akademika di Indonesia bahwa kebebasan fundamental mereka akan senantiasa dihormati dan dilindungi,” tandasnya.
Dr. Saiful Mahdi adalah dosen statistika pada Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan Alam (FMIPA) Universitas Syiah Kuala (Unsyiah). Pada Februari 2019, di sebuah grup WhatsApp yang beranggotakan para dosen dan staf Unsyiah, dia menyuarakan keprihatinannya tentang prosedur perekrutan calon dosen di universitas tersebut.
Secara khusus, dia mengkritik proses perekrutan CPNS dosen di Fakultas Teknik dan mempertanyakan perilaku ‘jajaran pimpinan’ universitas tanpa menyebut nama seseorang. Berdasarkan hal itu, Dekan Fakultas Teknik Unsyiah, yang bukan anggota Whatsapp grup tersebut melaporkan Saiful ke polisi. Tuntutan pencemaran nama baik diajukan terhadap Dr. Saiful Mahdi berdasarkan Pasal 27 (3) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE).
Pada April 2020, Saiful divonis oleh Pengadilan Negeri Banda Aceh dengan hukuman tiga bulan penjara dan denda 10 juta rupiah. Pada Juni 2020, bandingnya ke Pengadilan Tinggi Banda Aceh ditolak. Saat ini, kasusnya tengah dalam tahap kasasi di Mahkamah Agung. []
Belum ada komentar