M ALI Ibrahim, koki kuah beulangong dari Gampong Jawa, Kecamatan Kutaraja, Banda Aceh. Hari itu memimpin Kelompok 12 mewakili kecamatannya pada Festival Kuah Beulangong.
Di halaman Kompleks Museum Aceh, Banda Aceh, timnya bersaing dengan 14 kontestan lainnya. Sebelum hari H, kata salah satu panitia, Radius, masing-masing kelompok diberikan modal Rp 2 juta untuk beli bahan.
Festival dimulai jam delapan pagi. Bersama sembilan anggotanya, Ali coba mengharumkan nama Kutaraja dengan racikan kuah beulangong. Teman pria membantunya masak dalam kuali besar atau beulangong. Teman wanita meyiapkan meja untuk dinilai juri, berisi bu kulah (nasi bungkus tradisional), potongan semangka, dan piring-piring kosong yang menanti para pencicip.
Namun, bukan hadiah yang diharapkan M Ali dari festival kuliner itu. “Yang penting bisa ikut, siapa yang menang terserah tim penilai,” ujarnya.
Hari-hari sebelum 27 Maret 2014, tradisi kuah beulangong cuma dapat ditunjukkan ke masyarakat di upacara-upacara adat gampong saja, seperti khitanan, kawin, dan turun sawah.
“Tapi dengan adanya festival ini, semua orang dapat melihat dan merasakan kuah beulangong,” sebut pria kelahiran 1945 itu.
Ali dipercayai Pihak Kecamatan menakhodai ‘Beulangong Kutaraja’. “Kalau acara-acara di kampung, tua dan muda berbaur, ditemani satu-dua orang yang ahli. Tapi ini kan festival, jadi yang senior-senior kami kirim,” ujar Syukri, Sekretaris Camat Kutaraja.
Unik. Koki kuah beulangong bukan kaum hawa. Ini sudah berlangsung sejak kuah khas Kutaraja (dulu mencakup Aceh Besar dan Banda Aceh sekarang) mentradisi. “Ini bukan sembarang kuah, harus dimasak oleh ahlinya,” sebut Syukri.
Pada masa-masa belum adanya istilah “festival”, Ali kecil sering mengikuti ayahnya ke upacara-upacara adat gampong. Kebiasaan masak kuah beulangong mulai dipertontonkan ayahnya ketika dia seusia sekolah dasar.
Baru sejak umur 30 tahun, estafet aweuek (centong) kuah berganti tangan. Ali mulai menggantikan tugas ayahnya. Dia pernah diundang menjadi koki kuah beulangong pada acara wisuda Politeknik Aceh tahun 1996. Ia juga pernah ke Medan tahun 1998 sebagai juru masak di pesta kawin orang kampungnya.
Maret tahun ini, kesekian kali Ali mengepalai tim masak kuah beulangong. Usianya sudah 70-an. Sebagaimana almarhum ayahnya, dia sertakan seorang putra dalam tim, Nasharuddin, 44 tahun.
Nasharuddin juga sering ikut ayahnya sejak kecil. Namun, ia baru tertarik mempelajari masak kuah beulangong ketika sudah berkeluarga. Dia tak ingin masakan tradisional itu tenggelam dalam lautan masakan modern.
“Saya nantinya juga berencana mengajari putra saya yang kin baru akan masuk SD,” sesumbar Nasharuddin.
Upaya regenerasi M Ali Ibrahim sejalan dengan visi Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Aceh melestarikan masakan tradisional. Syukri sangat mendukung. Ia bahkan berharap festival kuah beulangong jadi agenda tahunan.
“Maunya peserta tak hanya dari Banda Aceh dan Aceh Besar, tapi juga dari daerah lainnya di Aceh yang punya tradisi kuah beulangong sesuai khas masing-masing,” ucap Sekcam.
Festival Kuah Beulangong, menurut Radius, baru pertama di Aceh. Alokasi dana dari Disbudpar Aceh terbatas, sehingga hanya 9 tim dari Banda Aceh dan 6 dari Aceh Besar yang ikut.
“Kalau dibuka pendaftaran, akan banyak peminat. Jadi kami mengundang Camat dan merekalah yang mengirimkan utusan,” ujar Radius. “Tadinya ingin buat rekor Muri masak kuah beulangong massal, tapi anggaran terbatas,” sambungnya.
Zainal Abidin, 65 tahun, salah satu dari seratusan undangan yang makan siang bareng di Festival Kuah Beulangong. Di lantai dasar Rumoh Aceh, ia menikmati bu kulah berlaukan kuah beulangong.
Dari Lambaro ia datang memenuhi undangan panitia. “Bumbunya khas, daging sapinya lembut dan enak. Kalau daging kambing saya tak berani juga makan banyak,” ujarnya dibarengi kekeh kecil.
DALAM festival ini, papar Radius, kinerja setiap tim dinilai, mulai dari cara memotong daging, memotong nangka, resep, cara aduk, bentuk bu kulah, hingga cita rasa. Dewan juri terdiri dari Wakil Ketua Majelis Adat Aceh Besar Aiyub Yusuf dan dua akademisi Supriani dan Kartini.
Para pemenang diumumkan habis zuhur. Tak ada Kutaraja dalam 6 tim terbaik. Bagi Ali, siapa saja boleh menang dalam festival itu. Terpenting, kuah beulangong harus sampai di lidah masyarakat luar Aceh.
“Kita ingin ketika turis asing datang Aceh, mereka dapat mencicipi kuah beulangong layaknya hasrat mereka mencicipi mi aceh,” kata panitia lainnya, Fauziah Hanum. (Teks dan foto : Makmur Dimila)
Belum ada komentar