Bergulirnya teknologi tak membuat para perempuan ini kehilangan pasar peralatan rumah tangga tradisional.
Gelegar parang membentur kayu acap terdengar di Desa Lamblang Manyang, Darul Imarah, Aceh Besar. Semakin dekat, suara dari bawah gubuk-gubuk kecil milik warga semakin jelas terdengar.
Di desa itu, selain dikenal dengan usaha pandai besi, warga juga membuat salah satu peralatan penghalus bumbu dapur bernama ulok-ulok atau ulek. Unik. Usaha tersebut hanya dilakoni oleh kaum hawa tanpa bantuan kaum adam.
Contohnya saja, Muzainah (50). Saat didatangi Pikiran Merdeka, ia terlihat gesit meraut potongan demi potongan batang kelapa—seukuran telapak tangan orang dewasa—dengan parang dan peralatan seadanya.
Lama kelamaan, potongan tersebut mulai menyerupai ulok-ulok. Satu persatu hasil buatannya itu ia kumpulkan di samping kirinya. Bahkan, saat Pikiran Merdeka tiba, ratusan ulekan sudah memenuhi ember hitam besar, sehingga ia harus menampungnya di atas karung yang dibentangkan.
“Ya, ini saya lakukan sendiri semua. Kalau tidak percaya sekarang saya praktek di depan kalian,” ujar wanita paruh baya itu sembari mengambil potongan batang kelapa untuk menunjukkan proses pertama pembuatan salah satu peralatan dapur tersebut.
Ia mulai membelah bagian tengahnya dengan membenturkan palu besar ke atas pahat besi yang mengenai langsung potongan batang kelapa tersebut. Dari satu potongan, biasanya mampu menghasilkan 4 buah ulekan. Setelah proses pembelahan selesai, ia akan meraut potongan tersebut hingga menjadi ulekan.
Muzainah merupakan salah satu penduduk asli Desa Lamblang Manyang, Darul Imarah, Aceh Besar. Saban hari, usai sarapan ia sudah bergegas menuju gubuk kecil di depan rumahnya. Bermodalkan pengalaman yang ia dapat dari orang tuanya, proses demi proses dilakukannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Mulai dari membelah bilah batang kelapa—menjadi potongan berbentuk balok—hingga membentuknya menjadi cobekan, dilakukannya menggunakan beberapa peralatan sederhana.
Untuk menghasilkan ulekan berkualitas tinggi, jelas Muzainah, bahan dasar yang diperlukan harus berasal dari pohon kelapa yang berwarna kehitaman di bagian dalam batangnya. Jika tidak, ulekan tersebut akan cepat berjamur.
Bahkan, tak jarang jika stok belahan batang kelapa—yang menjadi bahan dasar cobek—sudah mulai berkurang, wanita berumur setengah abad ini bahkan harus mencarinya hingga ke beberapa desa lain.
Ibu empat anak itu mulai melakukan kegiatan tersebut sejak 2001, usai suaminya meninggal. Berbeda dari wanita-wanita muda lain. Pengalaman yang dimilikinya selama 15 tahun itu—dalam membuat ulok-ulok—pun tidak ada bandingannya.
Ia sangat lihai meraut bahan dasar cobekan tersebut. Dalam tiga puluh menit saja, ia bahkan sudah menyelesaikan enam cobek siap pakai. Hal tersebut dibenarkan dua anak perempuannya, yang juga sibuk melakukan hal serupa di samping Muzainah.
“Ibu sangat lihai, sebentar saja sudah siap dibuatnya. Selain itu ia lebih rapi dalam membuatnya,” tutur Fitrianti (36), salah satu anaknya.
Setelah berhasil mengumpulkan satu karung ulekan, biasanya Muzainah akan menjualnya kepada para pengepul—agen. Mereka akan membelinya seharga Rp1.500/ulek.
Selain itu, Muzainah juga kerap menerima pesanan ulekan untuk dijadikan oleh-oleh dalam acara pesta. Bahkan tak jarang, ulekannya dipesan dalam jumlah yang besar.
Bermula dari Krisis Ekonomi
Geusyik Lamblang Manyang, Bukhari, membenarkan hampir semua warganya melakoni usaha ulekan. Bahkan, tidak hanya dilakukan oleh wanita paruh baya, usaha pembuatan ulok-ulok tersebut juga diturunkan kepada generasi-generasi muda.
Menurut Bukhari, sekitar tahun 1980-an, para kaum hawa di gampong tersebut mulai membuka usaha pembuatan ulekan. Mereka berinisiasi untuk membuka usaha tersebut akibat kondisi ekonomi rumah tangga yang tidak menentu, pun adanya permintaan pasar. Satu persatu warga pun mulai mencoba membuat ulekan. Tak berselang lama, usaha mulai mulai dikenal di pasaran. Permintaan pun semakin hari semakin meningkat.
“Memang benar semua warga saya khusunya wanita, membuat ulok-ulok. Kalau dulu hanya dilakukan oleh orang-orang tua, tapi sekarang sampai yang muda sekalipun sudah menekuninya,” tutur Bukhari saat dijumpai Pikiran Merdeka di kediamannya.
Hingga saat ini, lanjutnya, produksi para kaum hawa tersebut tidak hanya dipasarkan di daerah Banda Aceh dan Aceh Besar, melainkan sudah dikirim ke berbagai daerah seperti Meulaboh, Bireuen, Takengon dan beberapa daerah lainnya.
Namun saat ditanya bantuan pemberdayaan dari pemerintah kabupaten, ia mengaku usaha tersebut pernah mendapat bantuan salah satu program Kementerian Sosial bernama Kelompok Usaha Bersama (KUBE) dan pinjaman Simpan Pinjam Perempuan (SPP) dari program PNPM.
“Memang dulu ada yang datang meminta data dan tanda tangan dari saya, setahu saya baru dua kali diberikan. Namun mungkin ada juga dari anggota-anggota dewan, tetapi saya tidak tahu persis, karena kebanyakan tidak melalui geuchiek,” ungkapnya yang juga mengepul kerajinan tangan warganya tersebut untuk disuplai ke beberapa daerah ke luar Aceh Besar.
Meski demikian, ke depannya ia berharap ada donatur yang mau meminjamkan modal kepada pihak desa. Ia berencana, dengan dana tersebut akan dibangun sebuah koperasi yang akan memberdayakan para perajin ulekan dan perajin lain salah satunya pandai besi.
Selain itu, ia juga akan sangat bersyukur jika pemerintah bakal kembali mengucurkan Dana Desa yang pernah diberikan sebanyak Rp200 juta lebih kepada setiap desa. Kata dia, melalui dana tersebut, 30 persennya akan digunakan untuk meberdayakan usaha masyarakat.
“Tapi itu juga tergantung Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) juga. Kalau PBB besar mungkin banyak diberikan, tetapi kalau kecil yang kecil diberikan,” pungkas Bukhari.[]
Belum ada komentar