Setelah isu pemindahan Ibukota Aceh Singkil ke kawasan Rimo, kini muncul lagi wacana lahirnya Kabupaten Rimo Raya. Dua isu bernuansa politik ini menuai pro dan kontra di kalangan masyarakat.
Usulan pemindahan pusat ibukota Kabupaten Singkil dari Kecamatan Singkil ke kawasan Rimo, sempat mencuat beberapa waktu lalu setelah Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda, mengeluarkan statemennya dan mengusulkan ibukota Singkil dipindahkan ke Rimo.
Pernyataan Sulaiman Abda itu menyusul banjir yang rutin melanda daerah itu setiap tahunnya. Banjir langganan akibat luapan air sungai ini kerap melumpuhkan aktivitas pemerintahan dan perekonomian di wilayah tersebut.
Ide untuk memindahkan pusat pemerintahan ini pun kemudian menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat di Aceh Singkil. Ada yang setuju dan ada pula yang dengan nyata menolak wacana pemindahan pusat pemerintahan tersebut.
Sebenarnya, usulan itu secara tersirat pernah disampaikan oleh Gubernur Aceh Irwandi Yusuf saat meninjau banjir yang melanda wilayah Singkil beberapa waktu lalu. Saat itu, Irwandi menyebutkan jika solusi tercepat untuk mengatasi masalah banjir di Kecamatan Singkil adalah masyarakat harus hijrah dari wilayah tersebut dan membuat pemukiman baru di daerah yang lebih aman.
“Solusi yang sistemik atau solusi permanen mengatasi masalah banjir di Kecamatan Singkil, ya masyarakat harus hijrah,” ujar Irwandi Yusuf kepada sejumlah awak media, Minggu (12/11), di sela-sela meninjau lokasi banjir di Kecamatan Singkil dan beberapa wilayah lainnya di Aceh Singkil.
Meski begitu, Irwandi memastikan bahwa solusi penanganan banjir tersebut akan mendapat penolakan dari masyarakat yang telah lama mendiami wilayah tersebut. Irwandi yakin, masyarakat pasti tidak mau jika dipindahkan ke daerah lain.
Irwandi yang saat itu didampingi Kepala Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) mengatakan, banjir di pusat pemerintahan Aceh Singkil setiap tahun akan terus terjadi dan tidak bisa dielakan.
Penyebab wilayah tersebut kerap dilanda banjir, lanjut dia, di antaranya karena faktor tsunami yang mengakibatkan turunnya permukaan tanah setinggi 2 meter. Selain itu, juga disebabkan kiriman air dari Pak Pak Barat (Sumut) dan dari pegunungan Leuser di Aceh Tenggara.
Baca: Masyarakat Dapil I Kecewa, Tak Satupun Dewan Singkil Peka Soal Banjir
“Ditambah hutan tidak mampu meresap lagi karena sudah banyak yang gundul dan air langsung ke pemukiman warga. Selain itu, juga karena sungai yang dangkal,” sebut Irwandi.
Menurut Irwandi, solusi sementara untuk mengatasi banjir di wilayah tersebut adalah dengan membuat tanggul sepanjang hampir 30 kilometer di sepanjang aliran sungai. Bahkan, Irwandi juga berencana mengirimkan sebuah kapal keruk yang stand-by di wilayah Kecamatan Singkil.
Namun lagi-lagi, kata Irwandi, solusi ini hanya bersifat sementara dan tidak dapat menanggulangi masalah banjir di wilayah itu. “Ini sekedar mengobati, tidak menyelesaikan masalah banjir secara permanen,” ucapnya.
Belakangan, usulan pemindahan pusat ibukota juga didengungkan oleh Sulaiman Abda. Wakil Ketua DPR Aceh ini mengusulkan ibukota Kabupaten Aceh Singkil yang selama ini di Kecamatan Singkil dipindahkan ke wilayah Rimo, Kecamatan Gunung Meriah. Usulan pemindahan ibukota kabupaten tersebut menyusul banjir yang rutin melanda daerah itu setiap tahunnya.
“Itu kota Singkil kita pindah, ke Rimo misalnya. Tapi butuh tahapan-tahapan yang perlu kita fikir bersama,” ujarnya, seperti dilansir portal.radioantero.com, Rabu (15/11) lalu.
Untuk mengakhiri penderitaan masyarakat Singkil yang setiap tahun selalu dilanda bencana banjir, Sulaiman Abda mengajak seluruh stakeholder terkait untuk duduk bersama DPRA dan Gubernur Aceh.
Namun, ide Sulaiman Abda ini tidak serta merta diterima oleh masyarakat di wilayah itu, khususnya warga Kecamatan Singkil. Usulan Wakil Ketua DPR Aceh untuk memindahkan ibukota Singkil ke kawasan Rimo justru menuai kecaman dari berbagai kalangan di wilayah tersebut. Bahkan, masyarakat setempat menilai jika Wakil ketua DPRA itu telah melukai hati masyarakat, khususnya warga Kecamatan Singkil. Publik di Aceh Singkil menilai Sulaiman Abda tidak mengetahui sejarah.
Selain di kalangan masyarakat, kritikan dan kecaman warga Singkil saat itu juga bermunculan di media sosial seperti Facebook. “Kalau SINGKIL masih dianggap ACEH, tolong jangan lukai hati kami, orang Singkil diam bukan berarti BODOH, dan kami akan minta pertanggung jawaban Saudara Terkait pernyataaan Saudara yang telah menyakiti hati dan perasaan kami. ##### KABUPATEN SINGKIL ADA BUKAN HADIAH TAPI PERJUANGAN #####” tulis akun Mansurdin, warga Teluk Rumbia.
Selain itu, akun Selamat Riady menulis, “Dari tanggal 09 November 17 sd tanggal 15 November 17, aktivitas Kantor Bupati Aceh Singkil terletak di Kecamatan Singkil dan Dinas terkait berjalan seperti biasa, kegiatan Sosial Ekonomi masyarakat Kecamatan Singkil berjalan sebagaimana biasa, Heran bagaikan petir di siang bolong muncul usulan pemindahan pusat Ibu kota Kabupaten Aceh Singkil..??Ada apa gerangan .??”
Sementara akun Azwar Tanjung menuliskan, “Yang perlu tuan-tuan ketahui, banjir yang rutin dialami daerah ini bukanlah kami penyebabnya. Tapi, ini tidak lepas dari kebijakan tuan-tuan yang memberi izin sejumlah perusahaan HPH dan HGU untuk mengeksploitasi dan mengalih fungsi kan hutan kami secara serampangan.”
Selain penolakan, tidak sedikit pula warga yang mendukung wacana pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Singkil ke kawasan Rimo. Sebagian masyarakat dari wilayah Gunung Meriah, Simpang Kanan, Singkohor, Kotabaru, Danau Paris dan Suro, setuju dengan pernyataan Wakil Ketua DPR Aceh itu.
Helmy Bracan, warga Lae Butar, Kecamatan Gunung Meriah, menyatakan setuju dengan wacana pemindahan ibukota. Alasannya, Rimo adalah tempat yang sangat srategis dengan artian berada di tengah-tengah wilayah Aceh Singkil. Menurutnya, kawasan Rimo juga tidak rawan banjir dan didukung dengan penduduk yang majemuk.
Pernyataan senada disampaikan Abdul Berutu, warga Simpang Kanan. Menurutnya, Kota Singkil sudah tidak layak lagi dijadikan sebagai ibukota kabupaten. Sebab, dilihat dari aspek geografis yang selalu menjadi langganan banjir dan menghambat pelayanan publik serta banyak merugikan masyarakat.
Selain itu, banyaknya menguras anggaran dan kemudian dari segi sosiologis menghambat perkembangan masyarakat Aceh Singkil, karena setiap waktu selalu dihantui ketakutan akan banjir. Abdul menambahkan, Singkil hanya bisa diberdayakan dalam bidang perikanan dan kelautan (kemaritiman), bukan pusat pemerintah, apalagi ibukota kabupaten.
“Segala aspek penunjang kelancaran pelayanan publik pupus akibat banjir yang selalu datang apabila musim hujan melanda Aceh Tenggara (Hulu Lae Soraya) dan Pak Pak Barat (Hulu Lae Cinendang). Artinya, Singkil bisa dikembangkan hanya di bidang kemaritiman. Langkah cepat dan tegas harus dilakukan pemerintah. Hal ini bukan untuk mendiskreditkan suatu wilayah atau daerah tertentu, namun demi kebaikan dan perubahan Aceh Singkil,” katanya.
Sementara Jirin Capah, warga Gunung Meriah juga sependapat dengan warga lainnya dan menyebutkan sudah selayaknya ibukota dipindahkan. “Bukan bermaksud mengkerdilkan suatu wilayah, namun untuk kemaslahan bersama dan tidak ada kesenjangan sosial di Kabupaten Aceh Singkil,” tambahnya.
“Enam kecamatan seperti Gunung Meriah, Simpang Kanan, Danau Paris, Suro, Singkohor dan Kotabaharu sangat setuju mengingat jauhnya ke ibukota saat ini. Namun yang terpenting adalah menghindari dari bencana banjir yang mengganggu pemerintah setiap terjadi banjir,” kata Jirin, mantan Ketua Himpunan mahasiswa dan Pemuda Aceh Singkil (Himapas).
Dukungan juga mengalir dari Ketua Umum Ikatan Pemuda Mahasiswa Kotabaharu (Ipmakob) Jimi Berutu. Ia mengatakan, pemindahan ibukota Kabupaten Aceh Singkil bukan sesuatu yang diharamkan dan pihaknya sepakat pemindahan ibukota Aceh Singkil ke Gunung Meriah. “Karena Singkil dinilai sudah tidak layak lagi disebut kota, dari tahun ke tahun tidak ada perkembangan seperti kota- kota lain di Aceh,” ujarnya.
KEPENTINGAN POLITIK
Ketua Persatuan Wartawan Aceh Singkil (Perwasi) Edy Sugiato punya sudut pandan berbeda terkait isu pemindahan Ibukota Kabupaten Aceh Singkil, dari Kota Singkil ke Singkil Utara dan Gunung Meriah.
Ia menilai, isu itu muncul karena kepentingan politik murahan yang efeknya meresahkan masyarakat. Bahkan, dapat dikatakan hanya akan menimbulkan sentimen masyarakat antar wilayah kecamatan dalam Kabupaten Aceh Singkil. “Saya hanya mengingatkan, jangan hanyut dalam isu pemindahan tersebut. Menyoal isu itu hanya akan membuang banyak energi kita,” ujar Edy Sugiato, beberapa waktu lalu.
Isu itu mulai hangat diperbincangkan pasca adanya statemen Gubernur Irwandi Yusuf saat meninjau banjir Singkil beberapa waktu lalu. Padahal, kata Edy, ketika itu gubernur tidak sedikitpun berbicara pemindahan ibukota.
“Tidak sedikitpun ada wacana pemindahan ibukota. Gubernur hanya mengatakan solusi permanen adalah hijrah, karena banjir Singkil cukup kompleks. Singkil adalah dataran rendah tempat bermuaranya sungai beberapa sungai besar, pernyataan itu adalah fakta keadaan. Jadi kenapa kemudian kita sibuk berbicara pemindahan ibukota? Sehingga menjadi polemik di masyatakat kita?,” ujarnya.
Dia meminta masyarakat tidak berlebihan dalam menyikapi pernyataan gubernur dan jangan dipelintir untuk kepentingan politik sesaat. “Jangan numpang tenar di tengah keresahan masyarakat. Stop berbicara pindah ibukota. Hari ini tak ada satu kalimat atau pernyataan resmi dari pemerintah bahwa ibukota akan pindah. Karena memang pemerintah tidak berwacana memindahnya,” tegasnya.
Wacana pemindahan ibukota, kata Edy, hanya isu yang dihembuskan untuk memecah belah masyarakat Singkil. “Ini menimbulkan kegaduhan politik yang justru merugikan kita,” tambahnya.
Untuk itu, Edy meminta masyarakat tak perlu over reaktif menyikapi isu tersebut dengan melontarkan statenmen yang berlebihan. “Semakin reaktif kita menyikapinya, maka semakin akan berpotensi menimbulkan gesekan dan sentimen di antara wilayah,” pungkas Edy Sugiato.
ISU PEMEKARAN
Setelah dihebohkan dengan isu pemindahan ibukota ke Rimo, Kecamatan Gunung Meriah, belakangan beredar pula isu pembentukan kabupaten baru di wilayah tersebut. Kabupaten itu disebut Rimo Raya.
Sepekan terakhir, isu pemisahan Aceh Singkil menjadi dua wilayah yakni kabupaten induk dan Rimo Raya menjadi perbincangan hangat di kalangan masyarakat dan pengguna media sosial. Daerah otonomi baru itu disebut-sebut mencakup wilayah Kecamatan Gunung Meriah, Simpang Kanan, Kotabaharu, Singkohor, Danau Paris, dan Kecamatan Suro.
Mansurdin, salah satu tokoh Singkil mengatakan, pemekaran Kabupaten Aceh Singkil adalah kebutuhan untuk mempercepat laju pembangunan di wilayah tersebut. Selain itu, pemekaran juga mengefesiensikan pengurusan administrasi birokrasi.
Di samping itu, kata Mansurdin, pemekaran wilayah akan mampu meningkatkan kesejahteraan penduduk. Untuk persyaratan, ia melihat dari jumlah penduduk, wilayah, sumberdaya alam dan manusianya, Rimo Raya sudah layak diusulkan menjadi daerah otonomi baru.
Dalam usulan pemekaran tersebut, kata Pj Keuchik Teluk Rumbia ini, harus melalui proses dan tahapan dengan waktu yang cukup panjang. “Harus dimulai dengan membentuk kepanitian atas persetujuan pemerintah dan DPRK setempat. Setelah itu, dilakukan pengkajian untuk memenuhi persyaratan dengan pemerintah provinsi serta melibatkan universitas terkemukan guna meyakinkan pemerintah pusat melalui Kemendagri,” bebernya.
Hal lain yang perlu menjadi pertimbangan percepatan pemekaran, tambah dia, harus dibangun lobi-lobi dengan tokoh-tokoh provinsi dan nasional, baik yang duduk di pemerintahan maupun legislatif. “Harus ada dukungan agar menjadi pertimbangan pemerintah pusat, untuk merancang undang-undang pembentukan sebuah kabupaten yang akan dibahas di DPR-RI,” pungkasnya.
Terpisah, Zulkarnain Bancin, tokoh muda di Gunung Meriah juga sepakat dengan usulan pemekaran Aceh Singkil. Pasalnya, pemindahan ibukota Singkil ke Rimo dinilai sangat tidak rasional dan kurang tepat. Menurutnya, penentuan ibukota juga sudah termaktup dalam UU Nomor 14 Tahun 1999, bahwa kota kabupaten itu di Singkil. Jika dipaksakan, berarti mengangkangi pijakan tertinggi Negara Indonesia (UUD 1945). “Pemindahan ibukota ke Rimo rasanya jauh panggang dari api. Namun opsi pemekaran layak untuk dipertimbangkan,” tambahnya.
Secara historis, sambungnya, dulu Tanoh Singkil dibagi tiga kelompok masyarakat, yaitu Kalak (Orang) Jehe, Kalak Souraya dan Kalak Cinendang. Dalam pembagian wilayah administratif juga demikian, ada Singkil, Simpang Kiri dan Simpang Kanan.
Berkenaan dengan konteks sekarang, lanjut dia, sudah sepatutnya Tanoh Singkil dimekarkan lagi. “Yang dulunya hanya di level kecamatan, sekarang di level kabupaten/kota agar memori zaman dahulu terulang kembali. Untuk zaman sekarang, nama Singkil menjadi Aceh Singkil, Simpang Kiri atau Souraya itu namanya Subulussalam, untuk Simpang Kanan atau Cinendang namanya Rimoraya,” bebernya.
Pembentukan Kabupaten Rimoraya, menurutnya, sudah layak dan sepatutnya untuk diperjuangkan. Alasan kabupaten induk nantinya akan tertinggal, itu dapat dibantahkan. Karena, kabupaten induk mempunyai daerah yang tidak dipunyai daerah calon pemekaran Rimoraya dan daerah yang sudah mekar yaitu Subulussalam.
“Induk mempunyai laut, mempunyai objek wisata berkelas internasional Pulau Banyak, mempunyai pelabuhan laut dan bandar udara. Untuk perkebunan induk juga tidak ketinggalan, ada sebagian wilayah PT PLB Astra dan PT Nafasindo walaupun kedua perusahaan itu sebagiannya lagi berada di Rimoraya,” katanya.
Untuk Rimoraya, lanjut dia, nantinya akan sama dengan Subulussalam. Bahkan bisa jadi akan lebih maju karena daerah ini adalah daerah yang subur, terbukti dengan dibukanya PT Socfindo sejak zaman kolonial yang daerah lain belum punya. Selanjutnya terdapat perusahaan lain yang umurnya jauh lebih tua dari perusahaan perkebunan yang ada di Subulussalam.
“Sebenarnya Singkil negeri metuah atau acapkali disebut nagari batuah itu ada di Cinendang, bukan Singkil dan bukan Souraya. Syekh Abdurrauf kelahiran Suro. Buya kharismatik yang ada di wilayah Singkil ada di Cinendang, Buya Tanah Merah, Buya Batu Korong dan Buya Pinto,” bebernya.
Kemajemukan masyarakat di daerah Rimoraya juga tentunya menjadi modal untuk kemajuan daerah. Hal ini terbukti dengan daerah–daerah masyarakat yang majemuk di republik ini daerahnya maju, kreatif dan lebih terbuka.
Tapi secara politik, kata Zurkarnain, saat ini Cinendang sangat jauh kalah dengan Souraya. “Subulusalam sudah maju selangkah, bahkan lebih. Di saat Subulussalam terbentuk dan mau mekar lagi untuk melahirkan kabupaten baru, Rimoraya masih bergantung ke induknya, Singkil,” ungkap Zulkarnain.
Dikatakan, pembentukan Kabupaten Rimoraya bukanlah untuk menghilangkan ke-Singkil-an sebagaimana yang diragukan oleh tokoh-tokoh budaya lokal. Justru akan mengangkat Singkil itu sendiri, seperti Subulussalam semakin fokus dan bangga dengan identitas ke-Singkil-annya. “Ini sangat berbeda dengan waktu sebelum mekar,” ucapnya.
Selain itu, pemekaran bukanlah sekedar pemekaran belaka, tapi untuk kemajuan Tanoh Singkil (Aceh Singkil, Subulussalam, Rimoraya). “Tanoh Singkil tentunya akan mempunyai tiga kepala daerah, yang sedikit banyaknya berpengaruh kepada kekuatan daerah dan etnis Singkil di provinsi dapat diperhitungkan, tidak lagi dipandang sebelah mata. Singkil yang dulu hilang, sekarang terbilang,” bebernya.
Zakirun Pohan, salah tokoh Gunung Meriah mengungkapkan, isu pemindahan ibukota Aceh Singkil ke Rimo kurang tepat, namun yang lebih tepat adalah diupayakan dan dipersiapkan Rimo menjadi ibukota kabupaten baru, sehingga permasalahan ketertinggalan pembangunan dan tingginya esensitas kebanjiran segera dapat diatasi.[]
Harus Kebutuhan, Bukan Kepentingan!
Pemindahan pusat ibukota Aceh Singkil ke kawasan Rimo dan wacana kelahiran Kabupaten Rimo Raya harus didasari pada sebuah kebutuhan, bukan karena kepentingan. Hal itu ditegaskan Sekretaris Daerah Aceh Singkil, Drs Azmi, menanggapi mencuatnya dua isu tersebut belakangan ini di kalangan masyarakat Aceh Singkil.
Menurut Azmi, isu pemindahan ibukota itu sengaja diangkat oleh pihak-pihak yang tidak menginginkan wilayah itu maju, dan menjadikan banjir sebagai alasan. “Itu isu yang diangkat agar Singkil tidak maju-maju,” ujar Sekda Aceh Singkil, kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (25/11) lalu.
Untuk mengatasi banjir yang setiap tahun melanda wilayah Singkil, kata Sekda, harus dicarikan solusi yang tepat, bukan dengan pemindahan pusat ibukota. Solusi tersebut antara lain dengan melakukan normalisasi kembali sungai-sungai yang ada di wilayah Singkil. Di mana, saat ini sebagian besar sungai tersebut telah dangkal dan menyusut.
“Penyebab banjir selama ini karena sungai-sungai sudah dangkal. Idealnya, jika luas sungai 200 meter, maka kedalaman harus mencapai 10 meter. Tapi sungai di Singkil saat ini selain menyusut juga dangkal. Kedalamannya cuma 1 hingga 1,5 meter. Itu yang membuat banjir, karena saat meluap air tidak langsung mengalir ke bawah, tapi justru menggenangi rumah warga,” tegas Sekda.
Jika sungai-sungai tersebut telah dinormalisasikan, sambung dia, dirinya menilai pemindahan ibukota tidak perlu dilakukan. “Sekarang yang perlu adalah penanganan dan pengendalian banjir bukan pemindahan,” tambahnya.
Terkait dengan wacana terbentuknya Kabupaten Rimo Raya, Sekda juga menilai bukan sebuah kebutuhan yang mendesak. Namun demikian, dia mengakui jika pemekaran sebuah wilayah bukan sebuah hal yang tabu dan sah-sah saja dilakukan.
Menurut Sekda, dalam melakukan pemekaran sebuah daerah harus dilakukan kajian dari berbagai sektor. “Harus ada kajian-kajian seperti kepatutan, luas wilayah, jumlah penduduk dan lainnya,” ujar Amri.
Yang lebih penting, tegas Amri, pemisahan sebuah wilayah dari kabupaten induk itu harus didasari pada sebuah kebutuhan, bukan karena kepentingan kelompok tertentu. “Jika kita lihat sekarang ini bukan sebuah kebutuhan dan tidak ada hal yang mendesak,” tambahnya.
Amri mengatakan, jika Kabupeten Aceh Singkil dipaksa untuk dimekarkan maka kabupaten induk dan kabupaten hasil pemekaran itu akan jauh tertinggal. Pasalnya, selama ini PAD kabupaten yang dihuni oleh 110 ribu penduduk itu masih sangat minim, yakni Rp50 miliar.
“Bagaimana kita mau bangun daerah dengan jumlah PAD yang masih sangat minim. Jumlah penduduknya pun jika dibagi dalam dua wilayah tidak mencukupi. Belum lagi dengan permasalahan lainnya,” tegas Sekda.
Untuk itu, ia menilai Aceh Singkil belum layak untuk dimekarkan. “Akan ada masanya Aceh Singkil ini dimekarkan. Seperti jika jumlah penduduknya meningkat dan masyarakatnya sudah sejahtera,” tutupnya.
TERGANTUNG MASYARAKAT
Anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) asal Dapil Singkil, Tgk H Syariffuddin Assingkily MA menilai, pemindahan ibukota atau relokasi warga di Kecamatan Singkil ke daerah yang bebas banjir hanya bisa diputuskan masyarakat setempat.
Namun demikian, politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) ini sepakat bahwa masyarakat harus hijrah ke daerah yang lebih aman guna mengakhiri penderitaan akibat bencana banjir setiap tahun. “Tapi tergantung dari masyarakat, rela pindah atau tidak? Pemerintah dan dewan telah menyanggupi untuk wacana pemindahan ini,” ujar Tgk Syariffuddin kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (25/11) pekan lalu.
Menurutnya, wacana pemindahan masyarakat Singkil ke lokasi bebas banjir bukan hal baru dan telah dicetuskan saat Aceh Singkil dipimpin oleh Makmur Syahputra Bancin. Saat itu, kata dia, BRR juga menyanggupi pembangunan rumah untuk masyarakat Singkil yang akan direlokasi. “Namun saat itu masyarakat tidak bersedia dipindahkan dan akhirnya tidak terealisasi,” ujarnya.
Ditegaskannya, pemerintah menginginkan agar masyarakat hidup sejahtera dan terhindar dari banjir setiap tahun. “Namun demikian kembali lagi, semua keputusan ada di tangan masyarakat,” katanya.[]
Belum ada komentar