Dugaan Permaian di Balik Kelangkaan Elpiji Bersubsidi

Dugaan Permaian di Balik Kelangkaan Elpiji Bersubsidi
Ilustrasi

Kelangkaan gas elpiji 3 kilogram di Aceh terus berlanjut. Keluhan mengenai sulitnya masyarakat miskin mendapatkan gas bersubsidi itu kian meluap.

Selain sulit didapat, harga kebutuhan rumah tangga yang akrab disebut gas melon itu melambung tinggi, jauh di atas Harga Eceran Tertinggi (HET) yang ditetapkan Pertamina. Dari harga Rp18 ribu yang ditetapkan, menjadi di atas Rp30 ribu per tabung.

Nila Wati, warga Gampong Sukadamai, Banda Aceh, tak kuasa membendung kekesalannya saat ditemui Pikiran Merdeka, Jumat (10/11). Sudah seminggu ini ia tidak mendapatkan gas elpigi subsidi dari pangkalan yang ada di permukimannya.

Berakali-kali menyambangi pangkalan tersebut, namun gas melon itu selalu tidak tersedia. “Udah tiap hari saya ke sana (pangkalan gas yang ada di desanya), tapi petugasnya selalu bilang gasnya udah habis,” sebut Nila.

Sebagai warga miskin, Nila mengaku tidak mampu untuk membeli gas elpigi yang tersedia di kios eceran. Namun tidak ada pilihan lain baginya, ia harus membeli gas elpigi 3 kg dengan harga jauh di atas HET yakni Rp32.000 di kios dekat rumahnya. “Sangat mahal jika saya beli di kios. Tapi enggak ada pilihan lain, saya harus masak buat anak-anakkeluhnya.

Selain Nila, warga lainnya juga mengeluhkan persoalan serupa. Abdullah, misalnya. Warga Gampong Ateuk, Banda Aceh ini mengaku kesulitan mencari gas elpigi 3 kg tersebut. “Tadi saya mutar-mutar cari gas, dapatnya di Batoh setelah 5 kali tanya-tanya di beberapa kios enggak ada. Harganya pun mahal. Tadi saya beli dengan harga Rp35.000,” ujarnya.

Belakangan ini, kelangkaan gas elpigi 3 kg juga terjadi di beberapa daerah di Aceh. Di wilayah Blangpidie misalnya, dalam beberapa hari terakhir warga sulit mendapatkan gas melon di desanya, padahal sebelumnya tidak pernah putus. “Biasanya gas di kecamatan ini tidak pernah putus, namun entah kenapa sekarang ini bisa kosong,” kata Hasniar.

Menurutnya, kelangkaan gas 3 kilogram di Kota Blangpidie sudah terjadi dalam waktu sepekan ini. “Seakan-akan, kelangkaan ini karena adanya permainan pihak penjual gas,” cetusnya.

Keluhan konsumen tentang tingginya harga gas bersubsidi juga kerap diterima Yayasan Perlindungan Konsumen (YaPK) Aceh. “Beberapa konsumen seperti ibu-ibu tingkat bawah sering mengeluh tidak tersedianya gas elpiji 3 kg untuk mereka. Di sisi lain, mereka yang berpenghasilan tingkat atas bisa dengan mudah mendapatkan elpigi 3 kg tersebut,” sebut Fahmiwati Ketua YaPK Aceh, Kamis lalu.

Kondisi itu, kata dia, menunjukkan adanya ketidak seimbangan dan pengawasan pun tidak ketat dilakukan oleh pihak terkait. “Coba lihat sekarang, pengusaha-pengusaha yang berjualan itu menggunakan elpigi 3 kg padahal tidak seharusnya mereka menggunakan gas bersubsidi yang dialokasikan untuk warga miskin,” jelasnya.

Hasil pantauan pihaknya, kata Fahmiwati, selama ini pendistribusian elpiji melon yang dilakukan pihak pangkalan tidak tepat sasaran. “Selama ini pembelian gas elpiji melon sulit dikendalikan. Akibatnya, gas bersubsidi ini lebih banyak dinikmati masyarakat berpenghasilan tinggi,” sebutnya.
Fahmiwati berharap, ke depan pemerintah dapat mengawasi pendistribusian gas bersubsidi agar tepat sasaran. “Harganya juga perlu diawasi lebih ketat lagi. Jangan sampai memberatkan rakyat miskin,” harapnya.

PERMAINAN PETUGAS

Kelangkaan gas elpiji 3 kg dicurigai akibat adanya permaianan pihak pangkalan. Mereka menjual gas bersubsidi itu kepada pengecer dalam jumlah banyak dengan harga di HET yang ditetapkan pemerintah.

Sumber Pikiran Merdeka di Gampong Sukadamai, Banda Aceh, menyebutkan, pangkalan gas binaan dari agen PT Mitra Alam Jaya di desanya menyalahgunakan harga subsidi dengan menjual gas elpiji melon per tabung di atas HET.

“Ada saya lihat, mereka menjual gas-gas itu ke kios dekat situ, terus ke kios kampung sebelah dan becak-becak pun sering saya liat ambil gas dalam jumlah banyak,” sebut sumber yang menolak ditulis identitasnya ini, Jumat (10/11).

Menurut dia, jumlah tabung yang disediakan untuk pedagang kios oleh pihak pangkalan lebih banyak dibanding untuk warga yang telah didata sebagai penerima gas tersebut. “Sekali ambil, mereka dapat 3 sampai 5 tabung,” ucapnya.

Dia menambahkan, harga yang diperuntutukan bagi pedagang kios tersebut juga tentunya di atas HET, yakni berkisar Rp20 ribu hingga Rp23 ribu. “Yang pedagang itu mahal ambil gas per tabungnya, lebih dari Rp20 ribu,” katanya.

Selama ini, lanjut dia, pihak pangkalan selau menyimpan tabung-tabung gas untuk para pedagang kios yang membeli dengan harga lebih mahal. “Gasnya bukan sudah habis, tapi disimpan oleh mereka,” katanya.

Dia juga menjelaskan, modus yang dilakukan pihak pangkalan adalah dengan membuka segel yang terpasang sehingga tabung gas terlihat seperti sudah kosong. “Segelnya dibuka, terus ditimpa sama tabung yang sudah kosong, jadi enggak nampak lagi,” bebernya.

Sementara pihak pengelola pangkalan tersebut mengaku tidak butuh waktu lama untuk tabung-tabung yang baru masuk ke pangkalannya kosong. “Sekitar 15 menit saja tabung-tabung yang ada sudah kosong,” ucapnya. Padahal, kata dia, pihaknya tidak pernah memberi tahu warga jika gas-gas itu sudah masuk ke pangkalan.

Pengelola pangkalan gas di Sukaramai ini mengakui, pihaknya menjual gas elpiji 3 kg dengan harga di atas HET yakni Rp20 ribu per tabung. “Banyak warga yang beli gas dengan harga Rp20 ribu, dapat dihitung orang yang membeli dengan harga Rp18 ribu. Tapi saya tidak pernah meminta mereka membayar dengan harga yang segitu karena HET-nya sudah jelas Rp18.000 per tabung,” katanya.

Per bulan pangkalan di Sukaramai itu menerima gas elpiji 3 kg 550 tabung dari Pertamina. Namun, menurut pengelolanya, jumlah tersebut belum mencukupi permintaan warga.

Ia juga mengatakan sejak 2 bulan terahir terjadi pemotongan jumlah tabung gas yang diterimanya, dari 650 tabung menjadi 550 tabung per bulan. “Di sini, sebanyak 120 Kartu Keluarga (KK) terdata dapat menerima gas elpiji melon di pangkalan ini,” tandasnya. Namun, menurut staf kepegaiwaian kantor geuchik setempat, jumlah warga miskin di desa tersebut hanya berkisar 44 KK.

WARNING DISPERINDAG

Kepala Bidang Perdagangan Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag) Aceh, Aulia mengingatkan pedagang agar tidak menjual gas elpiji 3 kg di atas HET yang telah ditetapkan. “Agen dan para pengencer gas elpiji bersubsidi selalu kami ingatkan agar tidak menjual gas tersebut di atas Rp18.000 per tabung,” sebutnya, Kamis (9/11).

Menurut Aulia, jika didapat penjual ataupun pihak pangkalan yang menjual gas elpigi 3 kg di atas harga resmi maka pihak Disperindag akan mencabut ijin usahanya. “Dalam proses pengawasan, kami bekerja sama dengan pihak kepolisian. Jika memang terjadi kecurangan pada oknum pangkalan ataupun lainnya maka akan kami cabut ijin dan proses hukumnya akan kami serahkan ke kepolisian,” ucapnya.

Sejauh ini, diakuinya, pihak Disperindag telah melakukan beberapa pengawasan ke berbagai daerah. Ini dilakukan setelah pemberitaan dari beberapa media mengenai kelangkaan gas elpiji dan beberapa laporan dari masyarakat. “Selama ini kita juga sering dengar mengenai gas subsidi ini dijual melebihi HET, makanya kami turun ke lapangan,” kata Aulia.
Di lapangan, kata Aulia, memang sering ditemukan kecurangan dari oknum-oknum pangkalan gas dan SPBU. Mereka kerap kali menjual gas elpiji dengan harga di atas HET.

PENDISTRIBUSIAN STABIL

Area Manager Comunication and Relation Pertamina Region Sumbagut, Rudi Ariffianto menegaskan, pihanya mendistribusikan gas elpiji 3 kg sesuai dengan Keputusan Menteri ESDM Nomor 26 Tahun 2009. Pendistribusian dilakukan secara merata ke seluruh wilayah di Indonesia, termasuk Aceh.

“Selama ini kita mendistribusikannya sesuai dengan kuota yang sudah diatur dalam Keputusan Menteri ESDM. Stok elpiji 3 kg di wilayah Provinsi Aceh cukup tersedia dengan harga sesuai HET di outlet resmi, yaitu pangkalan yang memasang penanda HET. Jadi tidak mungkin bisa langka,” sebut Rudi.
Dia menjelaskan, penyaluran harian di Aceh untuk LPG PSO adalah sebanyak 89.700 tabung melalui 64 agen dan 2.126 pangkalan. “Ini dilakukan setiap hari,” katanya.

Menurut Rudi, proses pendistribusian yang dilakukan pihak Pertamina selama ini berlangsung aman. Dari area Sumbagut hingga disalurkan sampai ke Aceh. “Khsusus di wilayah Sumbaghut, kita mendatangkannya via kapal tangker, lalu kita suplai ke depot elpigi Pangkalan Susu di Sumatra Utara. Selanjutnya dibawa ke SPBE yang ada di Aceh yang kemudian disalurkan ke agen-agen hingga diteruskan ke pangkalan. Proses itu sudah kami jamin aman dan terjaga dari berbagai jenis kecurangan,” jelasnya.

Selain menjaga keamanan proses pendistribusian, lanjut Rudi, pihak Pertamina juga membantu Disperindag dalam mengawasi pendistribusian elpiji melon di tingkat pangkalan. Padahal, sesuai Keputusan Menteri ESDM, Pertamina hanya berperan sebagai penyalur jaringan elpiji bersubsidi. Sementara pengawasannya dikembalikan lagi ke pemerintah, dalam hal ini Kemetrian ESDM dan Disperindag.

Agar tidak terjadi disparitas harga, Pertamina menghimbau pihak pangkalan dapat mendistribusikan gas bersubsidi kepada warga yang kurang mampu dan usaha mikro.

“Kami selalu mengingatkan, bahwa peruntukan elpiji 3 kg hanya bagi rakat miskin dengan penghasilan kurang dari Rp1,5 juta per bulan atau usaha mikro. Bagi warga mampu, Pertamina telah menyediakan elpiji non subsidi seperti bright gas 5,5 kg, bright gas 12 kg dan 50 kg untuk usaha komersial,” tutupnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Menanti Program, Bukan Slogan
Menanti Program, Bukan Slogan

Menanti Program, Bukan Slogan