Dilema Populisme dan Habitus Korupsi

Dilema Populisme dan Habitus Korupsi
Dilema Populisme dan Habitus Korupsi

Oleh: Rizkika Lhena Darwin
Manajer Survey Aceh Institute

Rizkika Lhena Darwin

Populisme justru menguatkan habitus korupsi yang dilakukan para politisi. Fakta tersebut bertolak belakang dengan hakikat demokrasi elektoral.

Hakikat demokrasi elektoral menjelaskan tentang adanya mekanisme reward dan punishment bagi para politikus atas nama kedaulatan rakyat. Sebagai mekanisme kontrol, kematangan rakyat dalam berdemokrasi menjadi kunci utama, terlebih pada arus partisipasi populer saat ini. Partisipasi populer ini menekankan pada proses pelibatan masyarakat dalam aktivitas yang ditujukan untuk memengaruhi pemilihan elit politik yang berkuasa serta penyusunan kebijakan yang dibuat oleh elit politik tersebut (Barrington, 2010). Sehingga, kontrol sebagai bentuk kedaulatan rakyat menjadi tiang utama dalam mencapai kematangan berdemokrasi.

Pada prakteknya, demokrasi elektoral memperlihatkan dua hal—liberalisasi politik namun tidak berbanding lurus dengan penguatan demokrasi. Pertama, terdapat kekuatan personal politikus dan melemahnya partai politik sebagai alat demokrasi modern, sehingga politikus menyibukkan diri dengan membentuk popularitas dan karisma melalui isu kesejahteraan. Kondisi negara yang belum mampu mensejahterakan menjadi ruang kosong yang mudah dimanfaatkan oleh politikus pada setiap momen Pemilu. Kedua, Pemilu seharusnya menjadi mekanisme filter oleh masyarakat—baik melalui reward atau punishment bagi politikus dan partai pengusung pada setiap periode masa jabatan dan Pemilu. Namun, selama ini, proses filter tidak berlangsung sebagaimana mestinya.

Seperti halnya data yang diinventarisir oleh Indonesia Corruption Watch (ICW) atas penanganan korupsi di Indonesia oleh aparat penegak hukum sepanjang 2010-2015 menunjukkan peningkatan angka keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi. Sedikitnya tercatat 183 kepala daerah, baik level provinsi atau kabupaten/kota menjadi tersangka kasus korupsi (ICW, 2015). Keterlibatan kepala daerah dalam kasus korupsi berlanjut hingga tahun 2016, tercatat mencapai 11 kasus yang sedang ditangani oleh KPK.

Beberapa praktek korupsi kepala daerah tersebut tidak serta merta menutup peluang politikus dan partai pengusungnya tidak memenangkan Pilkada ke depan. Dalam catatan ICW terdapat 17 orang yang tersandung kasus korupsi termasuk 6 mantan napi mengikuti Pilkada 2015. Hasil Pilkada memperlihatkan sebanyak 3 orang mantan napi kasus korupsi akhirnya terpilih menjadi kepala daerah untuk lima tahun ke depan, yaitu Vonie  Anneke Panambunan Bupati Minahasa Utara, Rusnadi Bupati Natuna dan H Gusmal Bupati Solok (ICW: 2016). Data di atas memperlihatkan bahwa mekanisme reward dan pusnishment tidak bekerja, sehingga baik politikus maupun partai politik yang terjaring korupsi tidak mendapatkan punishment dan tetap berpeluang terpilih pada momen elektoral ke depan.

Dalam konteks Aceh , terdapat 5 kepala daerah yang telah ditangani oleh KPK, yaitu Bupati Aceh Utara Ilyas A Hamid dan Wakil Bupati Aceh Utara Syarifuddin SE, Ruslan Abdul Gani Bupati Bener Meriah, Nurdin Abd Rahman Bupati Bireuen, dan Darmili Bupati Simeulu (Askalani, Gerak Aceh: 2017). Dari kelima politikus yang terjaring kasus korupsi, namun tidak membuat partai politik pengusung dan kandidat lain yang diusungnya tidak terpilih lagi pada Pemilu berikutnya di daerah pemilihannya. Ini dapat dilihat pada Pilkada Aceh Utara dan Simeulue. Sehingga, demokrasi lokal di Aceh memperlihatkan mekanisme reward dan punishment juga tidak berjalan.

Ketiadaan reward dan punishment terjadi karena praktek populisme yang membentuk karakter dan karisma yang kuat pada diri kandidat—yang mana mengesampingkan rasionalitas pemilih. Sehingga tidak dapat menerjemahkan proses elektoral sebagai bentuk kedaulatan rakyat melalui suara dan rasionalitasnya. Ditambah lagi oleh melemahnya partai politik yang mayoritas notabene hanya sebagai stempel administrasi kendaraan politikus dalam kontestasi elektoral.

Dalam Pilkada, mayoritas pemilih memilih orang bukan partai politik (wawancara, 6 November 2017). Bahkan tren Pemilu Legislatif dan Pemilu Presiden 2014 juga memperlihatkan bahwa pemilih memilih orang bukan partai politik (Darwin, Rizkika Lhena: 2015). Fenomena mencuatnya popularitas kandidat kepala daerah jalur perseorangan di beberapa wilayah di Aceh juga bagian dari lemahnya partai politik dalam hal kandidasi dan framing tokoh—ataupun Aceh dan Indonesia sedang mengalami krisis tokoh.

Hemat saya, populisme dan habitus korupsi menjelaskan bahwa negara, politikus dan rakyat berada pada siklus yang saling menjerat dan memanfaatkan. Bedanya adalah kadar dan jangka waktu pemanfaatan yang didominasi oleh kepemilikan resources terbesar. Sehingga, harapan demokrasi elektoral dapat memutus akar habitus korupsi masih sebatas mimpi. Menjelang Pemilu Legislatif 2019, siklus pemanfaatan ini harus diwaspadai, untuk memperbaiki kualitas pemegang kontrol atas negara ke depan.[]

1 Komentar

Tanggapilah dengan bijak dan bertanggung jawab. (Privacy Policy)

  1. Negara – politikus – rakyat : Siklus saling jerat dan memamfaatkan. Menjerat rakyat dengan isu perbaikan kontrol pada institusi negara. Menguatkan brand personal dan pencitraan karena kader adalah nilai jual bukan partainya. Bermain “cantik” agar menarik perhatian rakyat. Mamfaatkan media mencari popularitas, dikenal dengan statement, kritik tapi minim aksi. Tapi rakyat kita sering latah karena setiap hari disuguhi berita infotainment.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait