Dugaan korupsi pengadaan Damkar modern Rp16,8 miliar mengantarkan empat pelaku ke balik jeruji besi. Satu di antaranya juga dibebankan mengganti kerugian negara Rp4,7 miliar.
Jumat pekan lalu, menjadi hari paling pahit bagi Ratziati Yusri dan Dheni Okta Pribadi. Ibu dan anak ini resmi menyandang stutus narapidana. Selain keduanya, satu terdakwa lainnya, Syahrial, juga menerima putusan vonis di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Banda Aceh.
Ketiganya divonis masing-masing tujuh tahun penjara dalam kasus korupsi pengadaan mobil pemadam kebakaran (Damkar) milik Pemerintah Aceh dengan pagu Rp17,5 miliar.
Tiga terpidana ini mengikuti jejak Siti Maryami yang divonis sehari sebelumnya dalam kasus yang sama. Majelis hakim Pengadilan Tipikor memvonis Siti empat tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Dalam proyek pengadaan mobil Damkar untuk Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Banda Aceh tersebut, Siti merupakan Pejabat Pembuat Komtimen (PPK) pada Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh (DPKA). Sementara Syahrial merupakan Ketua Pokja Unit Layanan Pengadaan (ULP) Provinsi Aceh.
Adapun Dheni Okta Pribadi dan Ratziati Yusri adalah Direktur Utama dan Komisaris PT Dhezan Karya Perdana selaku pemenang tender proyek tersebut. Selama proses pemberkasan dan persidangan, mereka ditahan Kejari Banda Aceh sejak 8 Mei 2017.
Vonis yang dijatuhkan majelis hakim yang dipimpin oleh Hakim Deny Syahputra lebih ringan dibandingkan tuntutan jaksa, yaitu delapan tahun penjara. Selain kurungan penjara, masing-masing terpidana juga dibebankan denda Rp200 juta subsider tiga bulan penjara bagi Dheni, Ratziati dan Syahrial.
Selain itu, Dheni juga mendapat tambahan hukuman dibanding terpidana lainya. Hakim membebankannya membayar kerugian negara dalam kasus itu yang mencapai Rp4,7 miliar. Apabila dalam jangka waktu satu bulan tidak membayar, harta benda terdakwa akan disita oleh negara.
“Apabila tidak memiliki harta benda, dapat digantikan dengan kurungan penjara selama tiga tahun,” kata Deny Syahputra, membacakan keputusan majelis hakim.
Disebutkan, kerugian negara Rp4,7 miliar itu ditentukan berdasarkan harga pokok produksi mobil Damkar yang diketahui Rp10 miliar lebih. Dari nilai kontrak Rp16,8 miliar, menurut hakim, rekanan (PT Dhezan) menerima dana Rp15 miliar lebih, setelah anggaran tersebut dipotong pajak.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Syahrial bersalah karena saat membatalkan tender pertama dan melakukan tender ulang, tidak memberikan laporan evaluasi. Selaku ketua pokja, dia juga terbukti bersalah karena memenangkan PT Dhezan sebagai rekanan pengadaan. Padahal, perusahaan itu tidak harus dimenangkan karena baru beberapa bulan didirikan dan belum memiliki pengalaman di bidang pengadaan mobil Damkar.
Namun, karena dalam persidangan tidak ada bukti-bukti yang menyatakannya menerima imbalan dari pengadaan damkar itu, maka hakim tidak membebani Syahrial mengganti kerugian negara.
Usai hakim membacakan vonis, kuasa hukum ketiga terpidana, Darwis, menyatakan mengajukan banding. Sementara jaksa penuntut umum mengatakan masih akan memikirkan langkah selanjutnya. “Karena pihak kuasa hukum mengajukan banding, maka putusan pengadilan ini belum dapat dijalankan, hingga memiliki kekuatan hukum tetap,” ujar majelis hakim.
Seusai persidangan, Darwis mengatakan ketiga kliennya tidak bersalah karena sejumlah saksi di persidangan sebelumnya telah mengatakan tidak ada kerugian negara dalam kasus tersebut. Menurutnya, nilai Rp4,7 miliar tidak mutlak karena ada biaya-biaya lain yang harus dikeluarkan rekanan, seperti pengiriman barang dan biaya lainnya.
“Kan ada untung juga yang harus diambil dari kerja mereka. Lalu mobil itu sudah ada barangnya dan bisa digunakan, kecuali tidak ada mobilnya baru salah,” kata Darwis. “Soal tidak ada pengalaman, itu sebelumnya perusahaan mereka yang CV, juga sudah beberapa kali melakukan pengadaan Damkar di beberapa daerah di Aceh. Jadi mereka sudah berpengalaman.”
Sehari sebelumnya, Siti Maryami, divonis empat tahun penjara. Vonis ini lebih ringan ketimbang tuntutan Jaksa Penuntut Umum Kejaksaan Negeri Banda Aceh. Jaksa menuntut Siti delapan tahun penjara dan denda Rp200 juta.
Ketua Majelis Hakim T Syarafi didampingi dua hakim anggota, Faisal Mahdi dan Mardefni, menyatakan Siti selaku Kuasa Pengguna Anggaran terbukti bersalah dalam proyek pengadaan Damkar modern yang dihibahkan ke Pemerintah Kota Banda Aceh tersebut.
Namun, hakim anggota dua, Mardefni, dalam sidang tersebut mengaku tidak sependapat dengan dua hakim lainnya. Dia mengatakan Siti tidak bersalah karena dalam kasus tersebut tidak ada kerugian negara. Menurutnya, Siti harus dibebaskan dari seluruh tuntutan dan dakwaan.
Audit BPKP yang menyatakan kerugian negara Rp4,7 miliar, kata Mardefni, belum termasuk penghitungan biaya-biaya lain yang dikeluarkan untuk pengadaan Damkar. “Kontrak pengadaan Damkar Rp16,8 miliar, lebih murah dari pagu anggaran Rp17,5 miliar. Jadi negara diuntungkan dari pengadaan Damkar ini,” ujarnya.
Meski ada perbedaan pendapat, Ketua Majelis Hakim T Syarafi tetap memvonis Siti bersalah, karena dinilai terlibat bersama-sama dalam kasus korupsi tersebut. Hakim memberikan waktu tujuh hari kepada jaksa dan kuasa hukum terdakwa untuk mengajukan banding jika keberatan terhadap putusan tersebut.
Kuasa Hukum Siti Maryami, Haspan Yusuf Ritonga, usai sidang mengatakan putusan majelis hakim terlalu dangkal.
Menurut Haspan, hakim tidak jelas menyebutkan tindakan apa yang dilanggar Siti dalam kasus tersebut. “Kami sependapat dengan hakim anggota dua tentang kerugian negara karena kasus ini orientasinya kerugian negara. Jika kerugian negara tidak jelas, lantas orang dihukum, tentu kami tidak bisa diam saja, kami akan banding,” ujarnya.
Sementara Zulfan, Jaksa Penuntut Umum dalam kasus tersebut, akan mempertimbangkan kembali langkah apa yang akan diambil dari putusan hakim, yang lebih ringan dari tuntutan mereka. “Kami pikir-pikir dululah,” ujarnya.[]
Konspirasi Menangkan PT Dhezan
Pengadaan Damkar modern Rp16,89 miliar ditengarai bermasalah sejak awal. Penentuan rekanan pemenang tender juga sarat konspirasi. Kasus korupsi Damkar mulai ditangani Jaksa sejak 2015 dan pemberkasannya baru selesai (P21) pada Mei 2017.
Pengadaan mobil pemadam kebakaran ini berawal dari surat Wali Kota Banda Aceh kepada Gubernur Aceh pada 2013. Wali Kota Banda Aceh waktu itu, Mawardi Nurdin meminta bantuan pembelian mobil pemadam kebakaran bertangga dan berteknologi modern.
Pada tahun anggaran 2014, Pemerintah Aceh melalui Dinas Pendapatan dan Kekayaan Aceh melakukan pengadaan mobil pemadam kebakaran modern tersebut. Anggaran pengadaan mencapai Rp17,5 miliar yang bersumber dari APBA. Tender proyek tersebut dimenangkan PT Dhezan Karya Perdana.
Di perusahaan itu, Dheni Okta Pribadi menjabat Direktur Utama, sedangkan ibunya Ratziati Yusri menjabat Komisaris. Perusahaan yang berkantor di Jalan Singgahmata Nomor 41, Gampong Sukaramai, Kecamatan Baiturrahman, ini mengalahkan 49 perusahaan lainnya yang ikut berkompentensi dalam pelelangannya. PT Dhezan unggul karena menawar dengan harga Rp16,89 miliar. Sementara Harga Perhitungan Sendiri (HPS) Rp17,5 miliar.
Sebelumnya, Kejaksaan Negeri Banda Aceh sempat menetapkan sepuluh tersangka. Namun, dalam perkembangan dan pendalaman, hanya empat orang tersebut yang diduga terlibat dalam penggelembungan dana pengadaan mobil pemadam merek Volvo tersebut. Mereka didakwa dalam tiga berkas berbeda. Khusus bagi Dheny dan Ratziati, digabung dalam satu berkas.
Berdasarkan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan Provinsi Aceh, kerugian negara akibat korupsi tersebut berkisar Rp4,7 milliar dari pagu Rp17,5 miliar.
Kepala Kejaksaan Negeri Banda Aceh Husni Thamrin yang didampingi Kepala Seksi Tindak Pidana Khusus Kejaksaan Negeri Banda Aceh Muhammad Zulfan saat mengumumkan penahanan tersangka menyebutkan, modus korupsi yang dilakukan adalah penggelembungan harga. Kerugian negara yang ditimbulkan dalam kasus korupsi ini mencapai Rp4,7 miliar. Nilai ini berdasarkan hasil audit BPKP.
“Modus korupsi yang dilakukan adalah penggelembungan harga. Untuk kasus ini, kami juga melibatkan saksi ahli dari Institut Teknologi Bandung, saksi ahli dari Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah atau LKPP, serta auditor BPKP,” ujar Husni Thamrin kepada Pikiran Merdeka, Senin 8 Mei 2017.
Dalam perjalanan persidangan, lebih dari 30 orang saksi dipanggil untuk memberi kesaksian atas perkara yang membelit empat tersangka ini. Jaksa dalam dakwaan mengungkapkan tentang persekongkolan yang melibatkan Syahrial, Siti Maryani dan Dheni saat proses pelelangan.
PT Dhezan Karya Perdana dinilai sebagai perusahaan yang tidak memenuhi syarat untuk mengikuti lelang pengadaan Damkar tersebut. Penunjukan PT Dhezan Karya Perdana sebagai pemenang tender dianggap tidak sesuai aturan.
“Proses lelang menurut ahli LKPP (Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang/Jasa Pemerintah) tidak sesuai aturan, sehingga penunjukan PT Dhezan Karya Perdana dinilai tidak tepat. Karena tidak sesuai sehingga rekanan dari PT Dhezan Karya Perdana tidak boleh menikmati keuntungan dari pengadaan itu,” papar saksi ahli dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) Perwakilan Aceh, Suproni di hadapan majelis hakim dalam persidangan pada Kamis, 14 September 2017.
Saat evaluasi administrasi PT Dhezan Karya Perdana, Syahrial mengetahui perusahaan tersebut belum memenuhi persyaratan dimaksud. Namun, kata jaksa, Syahrial tetap memenangkan PT Dhezan Karya Perdana dengan penawaran Rp16,89 milliar dalam tender.
Persyaratan evaluasi administrasi yang tidak dilengkapi perusahaan tersebut antara lain tidak melampirkan sertifikat pengesahan pendirian perseroan terbatas yang ditandatangani Kemenkum HAM RI. Selain itu, PT Dhezan Karya Perdana juga tidak memiliki syarat Klasifikasi Baku Lapangan Usaha Indonesia (KBLI) dengan kode 46100.
KBLI merupakan rujukan yang digunakan untuk mengklasifikasikan aktivitas ekonomi ke dalam beberapa bidang usaha. KBLI digunakan untuk penentuan kualifikasi Surat Izin Usaha Perdagangan, Tanda Daftar Perusahaan dan Perizinan Investasi.
Perusahaan juga tak mengisi surat pernyataan kebenaran dokumen serta jadwal yang terdapat dalam kontrak tersebut. Lalu, pada 5 Juni 2014, kata jaksa, dilakukan penandatanganan surat perjanjian pekerjaan pengadaan damkar tersebut oleh Siti Maryami dan Dheni.
Selain itu, kata jaksa, dalam proses pengadaan Damkar modern tersebut, menurut ahli Lembaga Kebijakan Pengadaan Barang dan Jasa Pemerintahan (LKPP), terdapat perbuatan melawan hukum yang dilakukan Siti Maryani, Ratziati, dan Dheni. Beberapa perbuatan itu, seperti penyusunan Harga Perkiraaan Sendiri (HPS) tidak dikalkulasikan secara keahlian, penyusunan spesifikasi teknis tidak disusun dengan rencana pengadaan. Kemudian perusahaan tersebut tidak memiliki SIUP yang sesuai kemampuan bidang pengerjaan.
PT Dhezan Karya Perdana tidak memiliki subbidang pengerjaan yang sesuai untuk usaha nonkecil yaitu pengadaan mobil pemadam kebakaran. “Kesalahan yang dilanggar akibat tidak sesuai prosedur atas langkah-langkah dalam perencanaan (penetapan spesifikasi teknis dan penetapan HPS),” ujar Jaksa Penuntut Umum, Cut Henny dalam dakwaan.
Dalam dakwaan itu, jaksa menyebutkan Siti Maryami menyuruh saksi Ahmad Bulya untuk menyusun spesifikasi teknis dan HPS Damkar modern tersebut. Sedangkan Siti Maryami sendiri tahu kalau Ahmad Bulya tidak memiliki kemampuan untuk menyusunnya. Karena tidak memahami, Ahmad Bulya meminta Syahrial untuk menyusunnya.
Dari berbagai kejanggalan yang terbongkar di dalam persidangan, majelis hakim pun akhirnya menilai para terdakwa telah terbukti melakukan korupsi dan memperkaya orang lain yang merugikan negara senilai Rp4,7 miliar, berdasarkan audit Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Empat terdakwa dinyatakan terbukti melanggar Pasal 2 dan 3 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1991 sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.[]
Belum ada komentar