Dentuman di Manohara, Bencana Itu Bermula…

Jalan retak akibat gempa di kawasan Trienggadeng, Desember 2016. (Foto Oviyandi)
Jalan retak akibat gempa di kawasan Trienggadeng, Desember 2016. (Foto Oviyandi)

Warga mendengar suara ledakan bersumber dari Pantai Manohara sebelum ribuan bangunan rubuh dan seratusan orang meninggal.

Fajar kizib mulai terlihat saat Siti Aisyah, 30, warga Meunasah Balee, Kecamatan Meureudu, Pidie Jaya, mendengar suara seperti ledakan di bawah tanah.

Pukul 5 pagi Rabu itu, dia masih sempat menerka ketika bumi berguncang kuat, suara itu berasal dari laut Selat Melaka di utara desanya. Tepatnya dari arah Pantai Manohara, berjarak sekitar satu kilometer dari desanya.

Sumber suara itu, diingatnya, sama dengan saat gempa dan tsunami pada 26 Desember 2004. Tanpa berpikir lama, dalam kegamanganya, ia menggendong anaknya terkecil, meraba-raba pintu utama hendak keluar rumah. Dua anaknya lagi dipapah suaminya.

Sementara suara pecahan piring dan rubuhnya bangunan mulai terndengar di luar, mereka menemui keadaan tak menguntungkan. “Kunci rumah tak bisa dibuka lagi karena ada pergeseran akibat gempa,” kisah Siti Aisyah kepada Pikiran Merdeka, Jumat (09/12/16).

Sementara itu, sekitar 17 kilometer ke barat Meunasah Balee,  Heri Tarmizi, 36, juga mendengar suara bergemuruh dari bawah tanah di SPBU Paru Cot, Kecamatan Bandar Baru, Pidie Jaya. “Seperti suara ledakan senjata,” kisahnya kepada Pikiran Merdeka.

Dia kemudian merasakan bumi bergoyang. Beberapa atap stasiun di SPBU yang dikelolanya terkelupas. Di bawah kakinya, getaran bumi kian kuat. Landasan parkir kendaraan retak-retak. Listrik padam.

Heri perintahkan seluruh karyawannya menyelamatkan diri di parkir kendaraan SPBU. Di area terbuka.

Tak lama, sejumlah warga dan pengguna jalan ikut bergabung dengan mereka. “Saya berpikir, kalau mati, mungkin inilah saatnya,” tuturnya.

Jalan nasional Banda Aceh–Medan terkuak, menyisakan lubang ternganga. Dari depan SPBU Paru Cot, menjalar ke arah timur. Hingga 17 kilometer ke depan, tepatnya Pasar Trienggadeng, getaran bumi itu rubuhkan 10 ruko dua lantai.

Salah satunya milik Roni Ubayashi (20). Tapi subuh itu dia sedang di Lhokseumawe. “Orangtua saya dan dua abang saya tinggal di lantai dua toko,” ucapnya kepada Pikiran Merdeka.

Di Pasar Trieggadeng itu, juga berdiri toko grosir Selamat Jadi milik Muhammad, putra dari Siti Hawa. Sang ibu yang tinggal di Gampong Paru Cot, merasa terpanggil melihat kondisi anaknya yang tidur di toko itu.

Dia tak lari mencari daratan tinggi seperti yang lain. Tapi dia berkendara ke Pasar Trienggadeng.

Di Gampong Meunasah Balee, Meureudu, Siti Aisyah akhirnya berhasil keluar rumah setelah hampir 5 menit terkurung. “Kami mendobrak pintu dengan segala cara,” ceritanya.

Dia masih harus berjuang. Dengan baju tidur, ia dan keluarganya pergi ke kawasan Pante Geulima yang lebih tinggi. “Gempanya lebih parah daripada Desember 2004, saya kira itu hari kiamat,” imbuhnya.

Sementara itu, Suryani, 44, warga Dayah Kleng, desa tetangga Meunasah Balee, juga teringat dengan pengalaman gempa dan tsunami 2004. Dia pegang pesan orangtua, kalau gempa lari ke masjid.

Subuh itu, Suryani lari ke Masjid At-Taqwa Gampong Dayah Kleng, Meureudu. “Saya sendiri di halaman masjid,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (09/12/16).

Suryani tak pindah. Ia tetap di masjid hingga beberapa saat kemudian, sejumlah orang menyelamatkan diri di Masjid At-Taqwa, yang hanya rusak kecil di bagian depan.

TOKO SELAMAT TAK SELAMAT

Sementara di Pasar Trienggadeng, Siti Hawa mendapati semua ruko yang berdiri sejajar itu sudah rubuh. Anaknya sudah tiada.

“Setiba saya di sini, saya lihat tokonya sudah hancur, dan anak saya memberi kabar kalau dia sudah duluan keluar,” ujar guru SD itu.

Dia hanya menatap kosong ke reruntuhan ruko. “Anak saya baru saja memuat barang senilai Rp200 juta,” cerita Siti Hawa kepada Pikiran Merdeka, Jumat (09/12/16).

Menurutnya, anaknya mengalami kerugian nyaris Rp2 miliar. Sebab semua isi toko Selamat Jadi nyaris tak selamat. “Utang pun banyak, baik utang kami maupun utang orang lain,” tambahnya.

Sementara itu, Roni tak berhenti di lokasi tokonya di Pasar Trienggadeng. Sebab  sudah dihubungi abangnya untuk pergi ke rumah neneknya saja. Dia pun tiba di rumah neneknya dua jam setelah gempa.

Namun dia tak menemukan ibu, ayah, dan abang kandungnya yang tertua. Ketiganya tertimbun reruntuhan toko yang ambruk. Ia hanya dapat berjumpa dengan abang kandungnya yang selamat dari reruntuhan.

“Sedih. Tapi karena sudah takdir Allah, kita ikhlaskan saja,” ujar mahasiswa Politeknik Lhokseumawe itu, di sela-sela membersihkan puing tokonya, Sabtu (10/12/16). Roni menyebut, ia mengalami kerugian sekitar Rp800 juta.

Tak jauh dari Pasar Trienggadeng, Masjid At-Taqarrub rubuh hanya meninggalkan kubah. Masjid ini menjadi salah satu dari 52 masjid rusak berat menurut catatan Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) per 9 Desember 2016.

Berbeda dengan Masjid At-Taqwa, tempat Suryani menyelamatkan diri, yang menjadi salah satu dari 91 masjid dengan rusak ringan.

Menurut BNPB, per 9 Desember 2016, gempa 6,5 SR pada 7 Desember 2016 merusak 152 masjid dan rumah ibadah di Pidie, Pidie Jaya, dan Bireuen. Selain 52 rusak berat dan 91 rusak ringan, ada 2 yang rusak sedang.

Selanjutnya, BNPB merilis, setidaknya bencana itu mengakibatkan 100 orang meninggal dunia, 139 luka berat, 718 luka ringan, dan 22.729 mengungsi.

Sementara kerugian material, total 11.668 rumah, 157 ruko, 25 sekolah, rusak berat hingga rusak ringan, serta 1 rumah sakit umum daerah roboh.

KIAMAT KECIL

“Saya tak pernah merasakan dahsyatnya gempa seperti ini, saya anggap pagi itu sudah kiamat,” kata M Yusuf, 60, warga Gampong Dayah Kruet, Meurah Dua, Pidie Jaya, kepada Pikiran Merdeka, Jumat (09/12/16).

Bayangkan, katanya, yang sedang menyaksikan evakuasi reruntuhan Pasar Meureudu, sekitar 40-an toko di hadapannya bisa roboh seketika, pada kekuatan gempanya tidak sebesar pada tahun 2014 yang menimbulkan tsunami.

Heri Tarmizi, Manager SPBU Paru Cot, juga mengakui, gempa tektonik 7 Desember 2016, sempat dianggapnya kiamat sudah tiba. “Lihat dampaknya, jalanan retak dan terkuak,” dia menunjukkan jalur retakan di area SPBU-nya.

Begitu juga Siti Aisyah, yang ditemui di posko pengungsian Masjid At-Taqwa. “Saya pikir itu hari terakhir, karena kami sudah sering sekali dilanda bencana,” ujarnya.

Menurutnya, tsunami 2004 melenyapkan seluruh bangunan di Gampong Meunasah Balee dan Gampong Dayah Kleng yang cukup dekat dengan laut. Gempa 2016 ini, sebutnya, kembali menghancurkan rumah mereka.

“Rumah baru saya, yang baru satu minggu kami tinggali, juga rusak,” sela Suryani.

Suryani dan Siti Aisyah, beserta keluarga pengungsi lainnya, pasrah. Mereka juga tak berani kembali ke rumah. Terlebih gempa susulan sering terjadi. “Lebih enak tidur di tenda,” kata Siti.

Namun dia berharap agar bantuan benar-benar didistrubusikan dengan adil. Amatan Pikiran Merdeka, hingga Sabtu (10/12/16), seluruh warga Pidie Jaya diimbau menginap di tenda pengungsian hingga masa tanggap darurat bencana usai, meski ada rumah yang bisa ditinggali.

Warga hanya diizinkan kembali ke rumah di siang hari. Sementara malam, kembali berkumpul di posko pengungsian yang disediakan, termasuk makanan.

“Saya masih trauma, tak berani pun pulang ke rumah meski cukup dekat dari masjid ini,” ujar Naila, 16, putri Suryani, yang selamat dari kerusakan Pondok Pesantren Putri Muslimah Ummul Ayman Samalanga.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

Pacuan Kuda Gayo Lues Sepi Penonton
Stadion Buntul Nege, Blangkejeren, Gayo Lues, yang dibangun dengan uang RP 20 Milyar, terlihat sepi saat berlangsungnya lompa pacuan kuda. Foto: Anuar Syahadat.

Pacuan Kuda Gayo Lues Sepi Penonton