Debat Kandidat

Debat Kandidat Calon Gubernur Aceh
Debat Kandidat

Debat Kandidat Calon Gubernur Aceh

[quote]Oleh Bisma Yadhi Putra[/quote]

[dropcap]J[/dropcap]UTAAN pasang mata menyaksikan acara debat kandidat calon Gubernur/Wakil Gubernur yang disiarkan oleh salah satu stasiun televisi swasta itu. Kelima pasangan kandidat memaparkan visi dan misi serta program kerjanya secara bergiliran. Di sesi lainnya, mereka diberi kesempatan untuk mengajukan pertanyaan kepada kandidat lainnya. Memang sempat terjadi saling sindir, namun rasanya kita sepakat debat kandidat tersebut kuranghot dan kurang berbobot. Mengapa? Masalahnya ada pada diri kandidat masing-masing.

Semua kandidat hanya memaparkan hal-hal yang mendasar dan tidak menguraikan bagaimana mengoperasionalkan visi dan misi serta program kerjanya secara terperinci. Semua hanya mengandalkan kalimat-kalimat “indah” untuk memesona penonton. Hanya beberapa kandidat saja yang sesekali membahas program kerja secara substantif.

Dari kelima kandidat tersebut, rasanya kita sepakat hanya ada dua kandidat yang komunikasi politiknya kurang bagus. Sejak awal acara, pasangan Ahmad Tajuddin-Suriansyah tidak mampu menampilkan keseimbangan atau pembagian peran, baik dalam memaparkan visi dan misi, menjawab pertanyaan, atau memberi pertanyaan pada kandidat lain. Suriansyah sangat mendominasi sejak awal dibandingkan dengan Ahmad Tajuddin.

Seharusnya, Ahmad Tajuddin-lah yang harus menonjolkan dirinya agar publik yang menyaksikan acara tersebut bisa mendapat gambaran mengenai bagaimana cara bicara serta isi pembicaraannya, yakni mengenai visi dan misi atau target yang ingin dicapai pasangan ini kalau terpilih nanti. Peran calon Wakil Gubernur dalam acara debat kandidat seperti itu harusnya hanya untuk menambahkan atau menambal hal-hal yang belum disampaikan calon Gubernur.

Ketika Ahmad Tajuddin berhasil menonjolkan dirinya, maka publik luas sedikit banyaknya akan mengenali satu-satunya kandidat atau sosok yang tampil bersorban di acara tersebut. Apalagi saat seorang panelis menanyakan pandangan para kandidat mengenai pelaksanaan syariat Islam di Aceh, justru Ahmad Tajuddin hanya memaparkan sedikit pandangannya setelah Suriansyah memaparkannya dengan lumayan panjang lebar. Seharusnya, sebagai tokoh agamais, Ahmad Tajuddin lebih menampilkan dirinya dalam menghadapi aneka pertanyaan, khususnya mengenai syariat Islam, baik dari panelis maupun lawan debat.

Celakanya lagi, saat berbicara, Ahmad Tajuddin tidak menggunakan bahasa Indonesia. Ia menggunakan bahasa Aceh dalam acara yang disaksikan jutaan pasang mata tersebut. Penonton acara tersebut tidak hanya warga Aceh semata, tetapi disaksikan pula oleh seluruh rakyat Indonesia. Bagi yang tidak memahami bahasa Aceh, tentu tidak dapat mencerna isi pembicaraan Ahmad Tajuddin. Berbeda halnya dengan Muhammad Nazar, ia hanya menggunakan bahasa Aceh sesekali saja, itu pun hanya kutipan dari pepatah bijak orang Aceh dan bukan menggunakan bahasa Aceh sebagai bahasa utama.

Akibatnya, publik akan meragukan kemampuan Ahmad Tajuddin dalam hal berkomunikasi dengan baik. Ini fatal dalam proses komunikasi politik. Ahmad Tajuddin akan dianggap publik sangat buruk dalam hal berdiplomasi. Namun kekurangan Ahmad Tajuddin bisa ditutupi oleh Suriansyah. Dengan kelancaran berbahasa Indonesia serta isi pembicaraan yang berbobot, Suriansyah mampu menghindari kandidat ini dari “mati gaya”.

Kandidat lainnya yang punya kekurangan dari segi komunikasi politik adalah pasangan dengan nomor urut lima. Jika kekurangan pasangan nomor urut satu ada pada Ahmad Tajuddin (calon gubernur), maka kekurangan komunikasi politik pada pasangan nomor urut lima ada pada Muzakir Manaf (calon wakil gubernur). Yang bermasalah bukan pada soal membagi peran, tapi pada konten pesan yang disampaikan.

Sekalipun posisinya sebagai calon wakil gubernur, bukan berarti Muzakir Manaf tidak boleh ditonjolkan. Sebagai public figure, tentu banyak orang mengharapkan Muzakir Manaf banyak berbicara malam itu. Ia diharapkan mampu memaparkan aneka target yang ingin dicapai jika terpilih kelak. Namun yang terjadi adalah Muzakir Manaf sangat sedikit berbicara. Dan saat memanfaatkan singkatnya waktu untuk berbicara, Muzakir Manaf justru tidak membahas substansi dari visi dan misi atau program kerjanya. Ia lebih banyak melempar kalimat-kalimat yang memancing emosional semata, dengan sedikit agitasi tentunya.

Seharusnya, Muzakir Manaf berbicara tidak keluar dari tataran konsep visi dan misi serta program kerja yang sudah dipersiapkannya. Dengan begitu, ia tidak hanya akan mampu meraih simpati dari jenis pemilih skeptis atau pemilih tradisional yang hanya mengedepankan penilaian atas ketokohan seseorang dalam menentukan pilihannya, melainkan juga sedikit banyaknya bisa memengaruhi jenis pemilih rasional dan pemilih kritis yang sangat mementingkan program kerja dan ideologi, untuk memilihnya. Sebagai public figure, sebenarnya pasangan ini sudah punya modal yang cukup besar, hanya saja malam itu tidak diseimbangkan dengan membahas substansi dari visi dan misi serta program kerjanya.

Di samping kurang baiknya komunikasi politik kedua kandidat tersebut, kandidat lainnya bukan berarti tidak punya kekurangan. Cita rasa isi pembicaraan pasangan Darni Daud-Ahmad Fauzi sangat mengesankan. Pasangan ini punya platform yang bagus. Berbagai pendekatan (approach) dari segi akademis dikaitkan dengan aneka program kerja yang ingin diwujudkan. Ini memberi cita rasa tersendiri. Hanya saja, kekurangan Darni adalah terlalu sering mengulang-ulang apa yang sudah disampaikannya, seperti mengenai masalah pendidikan.  Sebagai akademisi, seharusnya Darni punya sejuta konsep sehingga tidak perlu berputar-putar di pembahasan yang sama. Karena permasalahan yang ada di Aceh saat ini tidak hanya soal pendidikan semata.

Demikian pula dengan pasangan Muhammad Nazar-Nova Iriansyah. Paparannya tidak kalah menarik seperti pasangan Darni Daud-Ahmad Fauzi. Tetapi kekurangannya adalah Nazar sering mengucapkan kutipan dari pepatah bijak orang Aceh tanpa menjelaskan artinya. Ia hanya mencoba membangun relevansi antara pepatah bijak tersebut dengan program kerjanya.

Pasangan Irwandi Yusuf-Muhyan Yunan juga punya kekurangan tersendiri dalam acara debat kandidat tersebut. Sebagai tokoh yang sudah banyak makan garam dalam pemerintahan, Irwandi terlalu banyak membicarakan hal yang bersifat mendasar saja. Seharusnya ia mampu memaparkan segala mekanisme atau bagaimana visi dan misi yang ditawarkan bisa  dioperasionalkan. Di acara debat tersebut, Irwandi ibarat klub sepak bola ternama dan menjadi jagoan banyak orang, tetapi permainannya hanya biasa-biasa saja. Tidak ada yang “wah”.

Setiap kandidat tentu punya kelebihan dan kekurangannya masing-masing. No bodies perfect. Hanya saja kekurangan seorang calon Gubernur harus bisa ditambal oleh pasangannya. Antara keduanya harus saling melengkapi. Di sinilah kerja sama dibutuhkan. Segala kekurangan harus segera dievaluasi guna menampilkan diri sebagai pasangan yang layak di pilih pada hari pemungutan suara mendatang. Debat kandidat seperti itu sangat bermanfaat bagi pemilih yang belum menentukan pilihannya. Mereka akan melihat, menilai dan memutuskan kandidat mana yang harus dipilih.[]

*Penulis adalah Siswa Sekolah Demokrasi Aceh Utara Angkatan II (2012), menetap di Panggoi Lhokseumawe.

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait