Sebagian program terganjal SOP dari TAPA yang muncul belakangan, terutama proyek aspirasi dewan. Polemik itu sempat memperkeruh pembahasan RAPBA.
Rapat Paripurna Khusus Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) telah berjalan nyaris seperempat jam. Pertemuan yang berlangsung di gedung utama DPRA, Rabu (17/1) sore, itu telah menyepakati sejumlah rancangan qanun prioritas yang bakal dibahas parlemen untuk tahun ini. Di sesi akhir, usai menyimak dan menanggapi beberapa masukan anggota dewan, Ketua DPRA Tengku Muharuddin bersiap menutup rapat itu.
Terkait: Ujung Drama APBA
Namun, tiba-tiba, Wakil Ketua DPRA T Irwan Djohan yang berada di samping kirinya menyela. “Maaf, ada beberapa hal yang ingin saya sampaikan,” katanya memotong kalimat Muhar.
“Baik, dipersilakan,” ujar Tgk Muhar mengijinkan.
Dalam jeda tersebut, Irwan mengutarakan permohonan maaf ke seluruh anggota DPRA. Hal itu terkait dengan pernyataannya di media massa sepekan sebelumnya.
“Pertama-tama permohonan maaf kepada rekan-rekan saya anggota DPRA dan pimpinan, terutama anggota DPR Aceh yang lebih senior. Ini tentang pernyataan saya di media massa lokal pada Sabtu 13 Januari yang lalu, tentang penyebab keterlambatan pengesahan APBA (Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) 2018,” kata dia pelan.
Dalam pemberitaan itu, Irwan sempat membeberkan bahwa keterlambatan pengesahan APBA 2018 lantaran anggota DPRA selama ini tidak fokus membahasnya. Dari total anggaran APBA 2018 sebesar Rp14,7 triliun, terdapat usulan Rp1,7 triliun untuk dana aspirasi. Tanpa sungkan, Irwan menyatakan bahwa DPRA hanya sibuk membahas aspirasi itu, seraya mengabaikan pembahasan dana APBA secara keseluruhan.
Belakangan, banyak kalangan menduga pernyataan ini telah membuat gerah anggota dewan. Tak ingin memperuncing suasana, Irwan buru-buru meluruskan apa yang ia sampaikan kala itu di hadapan seluruh anggota rapat. “Saya ingin menyampaikan permohonan maaf apabila statement saya telah mengganggu kenyamanan, pemikiran, dan psikologi teman-teman yang di DPR Aceh,” ucapnya.
Di sisi lain, Irwan mengaku inti dari pernyataannya adalah mengajak seluruh rekan-rekan di lembaga yang ia pimpin untuk segera membahas bersama APBA 2018 secara keseluruhan, tidak hanya dana aspirasi. Dirinya juga menegaskan bakal mengkaji secara rinci dokumen APBA.
“Sebagai salah satu pimpinan DPRA yang nantinya juga ikut menandatangani dokumen APBA, secara tegas saya menolak dokumen APBA 2018, apabila DPRA dalam hal ini Banggar (Badan Anggaran) tidak berkesempatan membahas Rp14,7 triliun total APBA yang direncanakan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA),” imbuh Irwan.
Ia juga mengaku, dalam beberapa kali rapat bersama Banggar, belum pernah sama sekali ia menerima paparan TAPA mengenai usulan anggaran di dokumen APBA 2018. Dalam peraturan perundang-undangan, pemerintah pusat telah mengatur alokasi penganggaran dalam APBA. Irwan merincikan, 20 persen anggaran ditempatkan di sektor pendidikan.
Sementara di sektor kesehatan sebesar 10 persen, sektor syariat Islam lima persen, serta alokasi untuk Usaha Kecil dan Menengah (UKM), lingkungan hidup, dan sektor pemberdayaan perempuan masing-masing dialokasikan sebanyak satu persen.
“Maka saya mengajak teman-teman DPRA harus berkesempatan membahas dokumen APBA 2018 secara detail dan rinci. Jangan karena waktu yang sudah tidak sempat lagi, kita harus mengesahkan anggaran tanpa sempat membahasnya. Kita perlu melihat, mengevaluasi, merasionalisasi, mengurangi, menambahkan, dan menggeser seluruh usulan rancangan APBA yang sudah disusun TAPA, demi APBA yang ideal,” tandasnya.
Irwan barangkali terlambat mengungkap permintaan maafnya ke hadapan rekan-rekannya sesama anggota dewan. Pasalnya, tak dapat dipungkiri pernyataannya di media massa kala itu secara tersirat menguak salah satu sengkarut yang mendera internal dewan, yakni sibuknya mereka memikirkan dana aspirasi. Hal ini pula yang menyebabkan pembahasan APBA terlambat, seperti yang ia akui sendiri.
POLEMIK SOP
Jika dicermati ulang, sengkarut dana aspirasi yang diusulkan anggota dewan tak lepas dari terbitnya lembaran Standar Operasional Prosedur (SOP) dari TAPA, pekan lalu. SOP itu menjelaskan desk pembahasan kegiatan susulan masyarakat atau aspirasi untuk tahun 2018.
Satuan Kerja Perangkat Aceh (SKPA) telah memverifikasi kegiatan aspirasi menjadi beberapa status, yakni merah, kuning dan hijau, sesuai kriteria yang disepakati bersama dalam rapat dengan Gubernur, Wakil Gubernur dan TAPA.
Adapun kriteria usulan yang disepakati dalam rapat tanggal 3 Desember 2017 itu antara lain, bagi susulan yang merupakan kewenangan provinsi yang dikelompokkan dalam status hijau, harus dilengkapi dengan dokumen pendukung sesuai kebutuhan.
Kemudian, untuk usulan yang bersifat infrastruktur seperti jalan, jembatan, irigasi, drainase, embung, mesjid, dayah, rumah dhuafa, serta alsintan pertanian/perikanan disyaratkan wajib mengajukan proposal dan dokumen pendukung. Penerima manfaat dari usulan ini yakni pemerintah kabupaten/kota, orang miskin, atau kelompok binaan SKPA.
Untuk usulan yang bersifat perorangan, pemerintah memperuntukkannya pada masyarakat yang rentan secara sosial dan ekonomi, seperti disabilitas, lansia, dan individu yang diusulkan oleh Dinas Sosial. Selain itu, usulan bantuan perorangan yang merupakan tupoksi SKPA yang berupa uang, hanya boleh ditempatkan pada DPA PPKA atau BPKA (Badan Pengelola Keuangan Aceh) setelah mendapat verifikasi dari SKPA teknis.
Sementara usulan kegiatan yang berstatus merah atau dilarang antara lain; pagu usulan di bawah 100 juta selain rumah dhuafa, anak yatim, serta bantuan untuk penyandang disabilitas dan fakir miskin. Selain itu, status merah juga diperuntukkan bagi usulan pengadaan buku, bantuan modal usaha, bantuan pendidikan perseorangan, teratak dan kursi, pariwara, kendaraan bermotor, kain sarung, baju, sajadah, dan sejenisnya, serta usaha perseorangan atau kelompok yang mencari keuntungan.
Untuk usulan kegiatan yang tidak termasuk kriteria yang telah disebutkan tersebut, wajib mengikuti mekanisme penganggaran hibah bansos sebagaima diatur dalam perundang-undangan. Usulan tersebut dapat diakomodir dalam Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA PPAS) setelah mendapat pertimbangan dari TAPA.
Anggota dewan sempat mengkritk SOP yang muncul terlambat, jauh setelah KUA PPAS diserahkan tahun lalu untuk dibahas DPRA. Wakil Ketua Komisi IV DPRA, Asrizal H Asnawi kepada Pikiran Merdeka mengaku sempat kaget dengan terbitnya SOP ini.
“Bukannya kita tidak mau mengacu ke situ, SOP itu kan seperti aturan pakai, masa diserahkan obatnya dulu baru aturan pakainya menyusul, KUA PPAS sudah lama diserahkan ke banggar sejak tahun lalu kan,” katanya, Kamis (18/1) pekan lalu.
Menurut dia, semua perencanaan sudah dirangkum dalam program. Muculnya SOP yang diterbitkan TAPA baru-baru ini akan menyulitkan DPRA untuk menyesuaikan kembali program yang telah disusun.
“Seharusnya SOP dulu baru kita masuk bahas KUA kan. Sementara SOP itu sendiri baru beredar di Januari ini. Jadi, kalau kita mengikuti SOP ini sebenarnya bukan DPRA saja yang kesulitan, tapi SKPA juga akan kesulitan,” tambahnya.
Jika memang harus dipaksakan, sebut Asrizal, TAPA seharusnya tidak perlu ‘memangkas’ tugas DPRA. Kerja menganggarkan, memindahkan, menghilangkan, mengusulkan, itu semua sudah bagian dari tugas Banggar.
Hingga kini, Asrizal mengaku masih mengkaji SOP tersebut. “Kalau menurut saya SOP ini bagus, tapi bukan untuk tahun 2018 ini, melainkan untuk tahun depan lagi. Karena yang 2018 kan sudah masuk ini semua programnya. Kenapa begitu, program dinas sudah masuk semua, hasil pokok pikiran masyarakat telah direkap melalui DPRA, baru terbit SOP itu.”
Penyederhanaan Regulasi
Jurubicara Pemerintah Aceh, Wiratmadinata secara terpisah mengatakan bahwa keterlambatan SOP yang dikeluhkan oleh Banggar DPRA, tak beralasan. Ia menjelaskan, bahwa SOP yang diterbitkan TAPA itu hanya pembahasaan dari berbagai regulasi yang ada terkait penyusunan anggaran.
Setiap regulasi yang diacu SOP tersebut, seperti Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah, Permendagri Nomor 86 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Pengendalian Dan Evaluasi Rencana Pembangunan (RPJPD, RPJMD, RKPD Dan Renstra), Permendagri nomor 58 tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Daerah, Permendagri nomor 32 tahun 2011, lalu Permendagri nomor 39 tahun 2012 hingga Permendagri nomor 14 tahun 2016 tentang Pedoman Pemberian Hibah dan Bansos.
“Itu semua kan bukan aturan baru. SOP hanyalah sekedar penegasan dari pihak eksekutif, mengenai SOP umum di berbagai aturan tersebut, jadi semua pihak tahu itu, eksekutif dan legislatif tahu itu, tidak ada yang dadakan, kalau mau tahu landasan hukum SOP, ya ada di aturan-aturan tadi itu,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka, Jumat (19/1) pekan lalu.
Ia mengaku heran dengan kabar yang berkembang mengenai terbitnya SOP itu, seolah-olah baru ada. “Disebut regulasi baru, kenapa dikasih tahu belakangan, aneh. Padahal tidak ada SOP ini sebenarnya tak masalah juga, kita hanya menyederhanakan ketegasan yang telah tertera dalam semua regulasi, baik UU maupun Permendagri,” tambahnya.
Dalam hal ini Wira juga mewanti-wanti, bahwa Aceh tengah berada di bawah pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Setiap evaluasi atas dana aspirasi itu akan ditembuskan ke lembaga antirasuah tersebut. Menurutnya, pemahaman soal SOP ini lantaran pejabat terbiasa dengan hal-hal yang dipraktekkan selama ini.
“Karenanya, ini tidak bisa lagi main-main. Aceh sudah di bawah pembinaan dan pengawasan KPK. Kita sudah lewati masa tiga tahun untuk penyesuaian, maka kita harus lebih disiplin. Kita ini mau membenarkan kebiasaan atau membiasakan yang benar?” analoginya.
Untuk diketahui, sejak tahun 2017 lalu Aceh telah menjadi salah satu propinsi yang berada dalam pengawasan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam penyusunan anggaran.
“Seluruh hasil evaluasi APBD di seluruh Indonesia tahun 2018 telah ditembuskan ke KPK. Selain itu, Dirjen juga mengingatkan eksekutif dan legislatif bahwa mulai tahun 2018 dokumen aspirasi secara lengkap harus disampaikan ke KPK dan hal itu sudah ada kesepakatan antara Menteri Dalam Negeri dengan KPK,” kata Wira.
Mulai tahun 2018 juga, pemerintah sudah harus lebih berhati-hati karena KPK sudah melakukan audit program sejak pada tingkat perencanaan. “Artinya, pelanggaran hukum dalam proses penetapan anggaran sudah dimulai sejak perencanaannya, hingga implementasinya,” sebut dia.
Itulah sebabnya, apabila dalam pengusulan KUA-PPAS maupun RAPBA ditemukan usulan program dan kegiatan yang tidak dilengkapi dengan dokumen pendukung, maka sejak saat itu sudah terjadi pelanggaran walaupun belum sempat direalisasikan. Menurut Wira, hal ini merupakan salah satu perbedaan yang mendasar dari sisi perencanaan APBA pada tahun ini dibanding dengan tahun sebelumnya.
BERKACA KASUS SULBAR
Sebagai eksekutor dalam penyusunan anggaran daerah, sebut Wiratmadinata, TAPA sangat berhati-hati dalam melakukan kerjanya. Kedatangan Direktur Jenderal Bina Anggaran Keuangan Daerah, Drs Syarifuddin MM ke Aceh pada Jumat (12/01) lalu, sekaligus mengingatkan Aceh agar tak main-main soal APBA.
“Sudah ada ancaman pidana. Contoh kasus di Sulawesi Barat. Pimpinan DPRD itu sudah dipenjara sekarang, karena diketahui sejak awal penyusunan dana APBD-nya, dia terbukti mengatur seberapa besar keuntungan yang ia dapatkan,” ulas Wira.
Kasus itu diketahui terjadi pada tahun 2017. Dua pimpinan DPRD Sulawesi Barat (Sulbar) ditahan Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat (Sulselbar), setelah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi APBD tahun anggaran 2016 sekitar Rp80 miliar. Kedua pimpinan DPRD Sulbar periode 2014-2019 yang ditahan yakni Andi Mappangara (Ketua DPRD) dan Hamzah Hapati Hasan (Wakil Ketua DPRD).
“Para tersangka dalam kapasitasnya sebagai pimpinan DPRD Sulbar diduga terlibat dalam praktek penyimpangan pengelolaan APBD tahun anggaran 2016, sehingga menyebabkan kerugian keuangan negara sekitar Rp80 miliar,” kata Kasipenkum Kejati Sulselbar, Salahuddin seperti dikutip dari kompas.com.
Pemerintah Aceh, lanjut Wira, telah bekerjasama dengan Kemendagri dan KPK, untuk berada di dalam pengawasan KPK dalam hal penyusunan anggaran. Aceh masuk dalam tahap pengawasan setelah beberapa tahun berada dalam masa sosialiasi.
“Dalam masa itu pula banyak temuan-temuan pelanggaran, ada juga bansos yang tidak tepat sasaran. Tahun ini, Pemerintah Aceh harus menjaga ini, harus hati-hati karena sudah ada kasus,” tegasnya.
Atas permasalahan yang terjadi dalam beberapa bulan terakhir, Wira berharap ini disudahi segera. “Ya kita lihat ini sebagai dinamika saja. Jangan sampai di luar itu dilihat masyarakat ini tidak sehat lagi. Seakan-akan pemerintah ini selalu terbentur saja, tidak. Ini kan namanya eksekutif tetap pada fungsi eksekutorial, legislatif dengan fungsi budgeting. Memang pemerintah melalui UU sudah mengantisipasi supaya jangan buntu,” ujar dia.[]
Belum ada komentar