Oleh Danil Akbar Taqwadin
Analyst Keamanan & Perdamaian The Aceh Institute
Catalan sebagai bagian dari Spanyol, juga mengalami masa kelam semasa konflik di antara pihak Republican (termasuk komunitas sub-national semisal, Catalan dan Basque; Komunis, Yahudi dan freemason) dengan Nationalists yang dipimpin oleh Jendral Franco dalam Perang Sipil 1936-1939. Pada masa perang sipil, sekitar 95.000 jiwa dibunuh oleh kekuatan Nationalist, dan 38.000 jiwa juga dibunuh oleh Faksi Republican (Julia, 1999; Ruiz, 2007).
Perang sipil berakhir dengan kemenangan kubu Nationalist, dan Jenderal Franco dinyatakan sebagai Presiden (1939-1975). Selama kepemimpinannya, sekitar 470.000 melarikan diri keluar Spanyol, dan sekitar 15.000 pihak Republican tertangkap, dipekerjakan dan disiksa di kamp konsentrasi. Ratusan ribu lainnya menjadi korban kekerasan sistematis yang dilakukan oleh Pemerintahan Franco (Moreno, 1999).
Pada masa Franco, kebijakan opresif diterapkan dengan dalih membersihkan musuh-musuh Spanyol (lawan politiknya). Perlawanan terhadap pihak Republican dianggap sebagai perang suci (crusade/limpieza), sehingga para Republican, termasuk yang menentang pemerintah, harus dibabat habis, sehingga praktik-praktik kekerasan delegitimasi/deinstitutionalisasi merupakan strategi yang ampuh dalam upaya ini. Praktik-praktik ini menggunakan mekanisme judicial tanpa keadilan, hingga penyiksaan, pembunuhan (extra-judicial killing) serta penghilangan paksa (Kovras, 2014). Di Catalan sendiri, status otonomi luas telah disahkan pada tahun 1932 atas hasil perjuangan yang cukup panjang (Yusra Habib Abdul Ghani, Serambi Indonesia, 11/10/2017).
Namun ketika Franco berkuasa, status ini dicabut akibat penentangan masyarakat terhadap pasukan Franco dan sikap simpati kepada kubu Republican (Rigby, 2000; Mir, 2008)).
Ketika Franco wafat (1975), situasi politik Spanyol berubah drastis dengan didorongnya demokrasi konsolidatif yang pro pembangunan. Huntington (1991), menyebutkan perubahan ini sebagai transisi transformatif. Yang mana perubahan diinisiasi oleh lingkaran elite (penguasa) dari legacy Franco. Selain itu, transisi ini juga tidak lepas dari adanya intervensi dari Uni Eropa. Akibatnya, konstitusi Spanyol pada tahun 1978 menjadi semakin demokratis, Catalan juga kembali mendapatkan otonomi politik dan budayanya, dan mengadopsi Statute of Autonomy yang baru (1979).
Ironisnya, isu pelanggaran HAM yang terjadi selama Pemerintahan Franco “karam” begitu saja, tanpa ada upaya pemenuhan keadilan bagi korban, alih-alih mengungkapkan kebenaran. Fenomena ini dikenal dengan pact of oblivion, yaitu pakta tak terlihat dan tak tertulis untuk menghilangkan segala memori kelam terkait dengan pelanggaran HAM di masa lalu. Pakta yang dahulunya hanya disetujui oleh para elit politik (Julia, 1999), kemudian menyebar luas ke masyarakat. Hal ini diprakarsai oleh blanket amnesty 1977 (Law 46/1977) yang memberikan amnesti terhadap keterlibatan aktor konflik dalam pelanggaran HAM atas dasar politik, terhitung hingga Undang-Undang tersebut disahkan. Ditambah lagi, sebagian masyarakatnya pun seakan memberikan persetujuan atas hal ini – menjadi sejarah yang dicoret dan tak perlu dibicarakan. Hal inilah yang kemudian dikenal dengan sebutan “collective amnesia” atau amnesia kolektif (Rigby, 2000).
CATALAN DAN PERLAWANANNYA
Paska transisi, seiring dengan berlakunya blanket amnesty, upaya-upaya menghilangkan memori Pemerintahan Franco juga dilakukan, dari mengganti nama-nama jalan, nama-nama hari peringatan nasional, hingga menghancurkan monument-monumen peninggalan Franco. Intinya, meminimalisir pengetahuan akan Perang Sipil dan Pemerintahan Franco (Kovras, 2014). Pemerintah juga berupaya menkonstruksi sejarah dan symbol-symbol baru (Rigby, 2000). Namun, jauh ke dalam, perubahan ini hanyalah sekedar “kosmetik” untuk menutupi warisan Franco yang telah mengakar begitu kuat hingga saat ini (Quijones, 2013).
Upaya konstruktif terhadap pengungkapan kebenaran atas pelanggaran HAM masa lalu (perang sipil dan Pemerintahan Franco) baru muncul di awal tahun 2000an (Elkin, 2006). Hal ini kemudian—dengan digerakkan oleh gerakan sipil—melahirkan Law of Historical Memory (2007) yang memberikan legitimasi untuk membuka “tirai” pelanggaran HAM masa lalu. Akibatnya, diskursus terkait dengan kekerasan dan pemenuhan keadilan menjadi hal yang cukup menarik perhatian para sarjana, historian, dan masyarakat Spanyol beberapa tahun belakang.
Dalam konteks Catalan, langkah konstruktif terhadap pengungkapan kebenaran juga berkelindan dengan upaya memisahkan diri. Orientasi Pemerintah dan masyarakat yang dahulu tetap bepegang pada otonomi (setidaknya paska 1978), tiba-tiba berubah dengan digugatnya Statute of Autonomy baru yang telah diamandemen pada tahun 2006 dalam Spanish High Court of Justice, yang menyatakan beberapa pasal tidak konstitusional. Hal ini menimbulkan gelombang protes yang menuntut kemerdekaan pada 2009 dan 2010.
Tak lama berselang, Mariano Rajoy yang terpilih menjadi Presiden Spanyol sejak 2011 melahirkan kebijakan kontroversial dengan membangkitkan pilar-pilar sosial Francoism: memperkuat aliansi dengan Gereja Katholik, mengembalikan mata pelajaran Agama di sekolah; sentralisasi kebijakan pendidikan yang ketat; dan melarang praktik aborsi. Krusialnya, ia juga mengkhianati upaya pemenuhan keadilan dan kembali memelihara impunitas. Ia menyatakan bahwa “Law of Historical Memory adalah sebuah kesalahan besar,” menurutnya “Spanyol harus melihat ke depan…sebagian besar masyarakat Spanyol tidak ingin membicarakan tentang perang sipil maupun Franco.” Ini dikarenakan ia adalah anak dari salah seorang yang berpengaruh pada Pemerintahan Franco. Sehingga kesannya adalah ia melihat perang sipil dan Pemerintahan Franco dari sudut pandang pelaku, bukan korban (Quijones, 2013).
Praktis tuntutan kemerdekaan semakin menjadi-jadi. Pada tahun 2011 dan 2012, hampir satu juta orang diorganisir oleh CSO Omnium Cultural menuntut Pemerintah Catalan segera melakukan persiapan kemerdekaan sebagai respon terhadap pernyataan Mariano Rajoy. November 2014, referendum yang meminta kejelasan akan kemerdekaan diselenggarakan. 81 persen pemilih menyatakan sepakat untuk kemerdekaan. Dari sini, proses menuju kemerdekaan terus dilakukan oleh Parlemen Catalan yang berujung kepada referendum terhadap kemerdekaan pada 1 Oktober 2017. Hasilnya 92,01 persen dari 43,03 persen yang memberikan hak suaranya memilih untuk merdeka.
HIKMAH
Di Indonesia, collective amnesia begitu paradoks. Sebagian besar masyarakat masih menjaga sejarah kelam kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu. Ironisnya, instrumen pengungkapan kebenaran (UU No.27/2004 tentang Komisi Kebenaran & Rekonsiliasi) telah dibatalkan oleh MK pada tahun 2006. Hal ini menandakan bahwa collective amnesia masih dijaga oleh negara atau dininabobokan dengan berbagai program pembangunan.
Di Aceh, pemenuhan keadilan dan pengungkapan kebenaran terhadap kekerasan dan pelanggaran HAM masa lalu telah selangkah lebih maju. MoU Helsinki 2005 telah mengakomodir berbagai perangkat mekanisme keadilan transisional yang pro-korban, termasuk reparasi, reformasi institusi, peradilan HAM (walaupun terdapat kesalahan penafsiran dan tujuan), dan Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi. Berjalan dan suksesnya perangkat terakhir ini yang sebenarnya menentukan de-legitimasi collective amnesia di Aceh. Harapannya, Aceh tidak sampai kepada fase eskalasi kembali sama halnya seperti di Catalan, ataupun ketika wacana Referendum Aceh digulirkan tahun 1999 silam.[]
Belum ada komentar