Percayalah, segala-gala tentang kekacauan ini berpangkal kepada satu nama saja: Asnidar Tari, bungsu dari keturunan Haji Musa. (Sumber: Khatamudin Khatam)
Cerpen Nazar Shah Alam
Ia kemas beberapa potong pakaian ke dalam tas punggung hitam setelah puas menangis semalaman. Seminggu silam ia telah bertemu langsung dengan pemuda berwajah bayi dari Jakarta yang konon berjanji akan membuat ia perkasa. Sebelumnya ia tidak penuh percaya pada kabar yang disampaikan Kasman, teman masa kecilnya. Dia paham betul tabiat temannya itu. Lelaki yang sekalipun bergigi buruk dan hanya berijazah SMP Terbuka, istrinya sudah tiga. Pembohong tengik termahsyur di kampung mereka. Salah seorang timses paling celaka. Idris, meski hanya tamat kelas empat Madrasah Ibtidaiyah dan hanya mengaji sampai Alquran kecil, untuk hal ajakan Kasman, masih berhasil berpikir dengan matang.
Di sebuah warung kopi pinggir kampung, lelaki berkemeja zebra sudah menunggunya. Mereka bersisenyum seketika, lalu masuk ke Avanza putih yang dengan gesit melaju di jalan kampung berbatu. Sejenak Idris berpaling, menatap ke belakang mobil. Yang dilihatnya hanyalah debu dan abu yang mengepul, berbuntal, menyatu dengan pekat asap mobil yang semakin kencang.
“Kita akan menjadi pahlawan, Idris,” ucap lelaki berkemeja zebra. Idris tersenyum perih. Sebagian hatinya memeluk ucapan itu, sebagian lagi tak sanggup dipeluk. Dalam mobil yang melesat itu, di ambang lelap Idris mendengar suara Caca Handika mendayu-dayu menyanyikan lagu “Air Mata Bawang”. Tidurnya pun diurungkan.
***
Tak butuh waktu lama untuk mengasah kemampuan muslihat Idris. Ia memang bertakdir gerilya. Dalam waktu singkat segala seni penaklukan dikuasainya. Lelaki Jakarta yang menjemputnya tempo minggu terkagum-kagum. Hari Idris ingin dilepas ke medan laga, pemuda berwajah bayi menitikkan air mata. Rautnya seolah ingin berkata, “andai aku dilahirkan dengan jenis kelamin berbeda!”
Kepada Idris, lelaki itu meminta atasannya untuk menyelempangkan senjata. Betapa bahagianya Idris kita. Dia merasa segalanya sudah penuh berubah.
“Kau gagah betul, Idris. Nampak seperti Amitabh Bachan!” puji lelaki yang dulu menjemputnya. Idris tersenyum. Tatapannya tegas dan bertuan.
“Sekarang, kau adalah pemimpinnya. Idris. Idris Tabachan!” seru atasan lelaki yang menjemputnya. Idris tersenyum. Tatapannya tegas dan bertuan.
Maka, di sanalah ia memulai segala penjelmaan. Dicium tangan lelaki kota. Mereka berpelukan. Dicium tangan atasan, ia mendapat tepukan bahu tanda kebanggaan. Seperti mobil yang dulu melesat cepat meningggalkan kampungnya dalam bentuk debu dan asap, selesat itu pula pertemuan mereka tamat.
Tanah sengkarut memang selalu membutuhkan seorang martir untuk mengganti pakaian. Atau segala amis mahadurja. Dengan segenap kemartiran, Idris Tabachan menggalang kekuatan. Beruntunglah ia bertemu dengan Khatamuddin Khatam, duda yang istrinya direbut Kasman. Idris memanggil Khatam ke pinggir sungai besar. Di sana ia memberi pandangan kepada duda itu perihal dendam dan pembalasan.
“Aku sama sekali tak menaruh hormat kepada Kasman dan keluarga Haji Musa, Tam. Apakah kamu sepakat denganku?” Idris Tabachan meyakinkan.
“Sepakat. Sekarang aku ikut denganmu. Kita akan bersatu membuat perhitungan!” geram betul Khatamudin mengucap itu.
Khatamudin Khatam langsung didaulat sebagai pengatur siasat perang di pinggir sungai besar. Ia pulang sore itu demi mengajak beberapa pemuda pengangguran bergabung atas nama perjuangan. Nun di pinggir sungai, Idris menatap sehelai foto. Dadanya berdesir. Jiwanya terombang-ambing.
***
Asnidar Tari sudah tak terkejut mendengar kabar kematian Kasman di tangan Khatamuddin Khatam. Ia telah jauh hari mengetahui peri dendam kedua lelaki itu. Sebentar lagi, Pang Salim yang akan menemui ajalnya. Juga di tangan Khatamuddin Khatam. Asnidar Tari mengetahui semuanya. Sejak kekacauan di kampung ini muncul, ia berkali-kali menerima surat dari hutan: dibuka dengan pantun, bertanya kabar, menumpah perasaan, mengisahkan keperkasaan, lalu mengabarkan rencana penumpasan.
Namun, kekesalan Asnidar Tari meletup ketika ia membaca surat terakhir. Idris Tabachan akan memaksanya menjadi istri dengan berbagai cara jika sekali lagi gadis itu menolak cintanya. Surat itu digenggam Asnidar dengan penuh kesumat.
“Dikiranya saya gentar. Bilang ke Idris Tabachan, kambing kasim macam dia tak perlu menggertak serigala macam saya,” ia menyeringai tanpa menatap muka Khatamuddin Khatam. Lelaki itu geram tapi tak berani menyentuh gadis pujaan Tabachan.
“Suatu ketika adinda akan berterima kasih padanya. Adinda telah menolak cinta seorang kesuma bangsa. Adinda melemahkan jihad!” Khatam mengeram.
“Kesuma? Jihad? Cuih!”
“Adinda akan…”
Suara itu tercekat. Ia merasa kecut. Segerombol pasukan bersenjata semakin menjorok ke arahnya. Dia panik.
Demikianlah. Khatamuddin Khatam melunaskan perjuangan di meja sidang kepolisian dengan membawa satu lubang peluru di paha kanannya. Situs-situs berita musiman segera menjadikannya viral. Pembaca koran gratis di warung kopi hanya menyengir membaca jawaban-jawaban Khatamuddin Khatam. Pemuda berwajah bayi hilang tanpa pembelaan. Sedang polisi merasa sangat menyesal setelah mendapat jawaban tentang tatacara menaklukkan Idris Tabachan.
Di hutan, Idris Tabachan melempar koran ke hadapan pasukannya yang dari tadi tegak diam.
“Bodoh, disuruh antar surat cinta ke Asnidar Tari, dia malah ditangkap polisi!” geram Idris.
“Apa yang harus kita lakukan sekarang, Panglima? Menyerang kantor polisi atau menawan salah satu anggota mereka untuk barang tukar?” tanya salah seorang anggota dengan sikap ksatria.
“Tidak, biarkan saja. Sekarang kita harus mengambil hak rakyat di rumah-rumah orang kaya. Setelah itu, hasilnya dibagi tiga. Sebagian bagikan ke rakyat miskin, sebagian buat bekal perjuangan, sebagian lagi izinkan kuambil sebagai mahar ketika secara terang-terangan aku datang melamar Asnidar Tari. Laksanakan!”
“Laksanakan!”
Pasukannya beranjak. Idris Tabachan mengeluarkan foto di dompetnya. Dadanya berdesir. Jiwanya terombang-ambing. []
Nazar Shah Alam, pegiat di Komunitas Jeuneurob
Dimuat di Tabloid Pikiran Merdeka Edisi 112.
Belum ada komentar