Pernyataan KPA Pasee Zulkarnaini Hamzah yang dituding menghina Presiden RI Jokowi pada peringatan maulid di Aceh Utara beberapa waktu lalu menuai kontroversi.
Persoalan hubungan Aceh dan Jakarta memang penuh dengan polemik. Hal ini diungkapkan Amrizal J Prang, pengamat hukum dan politik Aceh. Apalagi setelah beredarnya rekaman suara Ketua PA Aceh Utara yang dianggap menghina Presiden RI Jokowi.
Masalah tersebut, menurut Amrizal, tidak terlepas dari persoalan bendera Aceh yang hingga saat ini masih menjadi tolak-tarik antara Aceh dan Jakarta. Itu sebabnya, dia meminta untuk melihat latar belakang munculnya pernyataan tersebut.
“Nah, jadi memang pada prinsipnya kalau kita melihat latar belakang ketika Partai Aceh yang menguasai Aceh hari ini, menganggap ini tidak terima, ya sah-sah saja mengatakan, pemerintah sampai hari ini tidak memberi konfirmasi terhadap keberadaan bendera,” kata Amrizal pada Pikiran Merdeka, Kamis pekan lalu.
Kendati demikian, lanjut dia, bicara hubungan pasca konflik, pernyataan seperti itu memang harus dijaga. Tujuannya, agar hubungan pemerintah pusat dengan Aceh nanti, akan lebih baik dan harmonis. Karenanya ketika ada pernyataan yang dianggap menghina, Amrizal meminta supaya dijadikan entry point bagi semua pihak, agar hal seperti itu tidak dilakukan.
Begitupun, dia juga meminta pemerintah pusat harus menunjukkan itikad baik secara hukum. Sedangkan secara politik, sambung dia, masalah bendera Aceh ini harus segera diselesaikan dan tidak boleh berlarut-larut. Sehingga tidak menimbulkan persoalan.
Dalam perspektif hukum, Amrizal memastikan bahwa pernyataan tendensius pada kepala negara memang tidak dibenarkan. “Bahwa siapapun warga negara membuat pernyataan penghinaan presiden, hal ini secara konstitusi dan undang-undang jelas tidak boleh dilakukan.”
Dari latar belakang timbulnya pernyataan ini, menurut Amrizal lebih kepada hubungan face to face antara masyarakat dengan kepala negara. Dalam kasus ini, hubungan antara pemerintah pusat dengan pemerintah Aceh. Tapi, lanjut dia, kalau dilihat face to face antara warga negara dengan kepala negara, hal ini salah dan tidak boleh.
“Makanya saya tidak bisa mengatakan secara konstan bahwa pernyataan ini merupakan penghinaan. Tapi saya melihatnya dalam perspektif hubungan pusat dengan pemerintah Aceh dan rakyat Aceh,” jelasnya. Karena, sambung dia, kalau secara hukum, mau tidak mau tetap salah.
Konteks hubungan pemerintah pusat dengan Aceh hari ini, lanjut dia, harus dilihat secara luas. Begitupun dengan publik figur di Aceh, menurutnya tidak mengeluarkan pernyataan yang demikian. Tapi kalau sudah terjadi, dia minta agar diselesaikan secara persuasif dan politik.
Dosen Fakultas Hukum Universitas Malikussaleh (Unimal) ini melihat ada kelemahan dalam komunikasi politik dua arah antara Aceh dan Jakarta. Karena itu, dia meminta konteks komunikasi politik yang harus dikembangkan adalah hubungan komunikasi politik yang persuasif dan bukan komunikasi yang cenderung tendensius. Akibatnya, tambah Amrizal, hubungan keduanya malah menjadi renggang.
Belum ada komentar