Budidaya kurma di Aceh bukan hanya soal menghasilkan uang, tetapi juga untuk membantu syiar Islam.
Pada Jumat pekan lalu, Pikiran Merdeka bertandang ke lokasi Kebun Kurma Aceh milik Syukri Syafi’ie, di Blang Bintang, Aceh Besar.
Jika dihitung jaraknya dari Bandara Sultan Iskandar Muda, perjalanan darat ke sana menempuh 15 km ke arah selatan menuju Bukit Blang Bintang (disebut juga Bukit Radar).
Jalan aspal mulus ditambahi pemandangan pegunungan, meringankan perjalanan ke tujuan. Tiba di lokasi setelah 15 menit, Puncak Gunung Seulawah Agam melatari pemandangan dari dalam Kebun Kurma Aceh.
Sebanyak 638 kurma itu sudah tumbuh setinggi lutut orang dewasa. Dedaunannya mekar sempurna. Diberi spasi antara satu batang dengan batang lainnya mencapai 8 meter.
Sementara di satu bagian, ditanami cabai di sela-sela tanaman kurma itu. Tujuannya, kata Syukri, penanaman cabai tersebut untuk membantu biaya hidup 6 orang pekerja di Kebun Kurma Aceh miliknya.
“Dari hasil tanam cabai, kita bisa menggaji mereka. Sementara panen kurma paling cepat tiga tahun lagi. Jadi mengisi masa tenggang itu, kita tanami tumbuhan produktif lain yang lebih cepat menghasilkan,” terangnya.
Antusias masyarakat Aceh terhadap bisnis kurma cukup besar. Itu bisa dilihat Syukri dalam acara “Sosialisasi Budidaya Kurma Aceh” pada Minggu (17/07/16) di Dayah Mulia, di Gampong Teupin Batee, Blang Bintang, Aceh Besar.
Sosialiasi itu terjalin hasil kerjasama Bakomubin Aceh Besar dengan Jama’ah Kurma Aceh. Dihadiri oleh Pangdam Iskandar Muda, Mayjen TNI L Rudy Polandi, kaum ulama semisal Waled Nu, para pengusaha Aceh dan luar negeri, serta masyarakat Aceh Besar.
“Kita mengundang 50 orang dari Blang Bintang, Montasik, dan Krueng Raya, tapi dari ketiga kawasan itu, 200 orang yang hadir,” ujar Abuna Mukhlis Abdullah (40), Pimpinan Dayah Ma’hadu Ulumiah Islamiah Al Fauzul Mubiin (Mulia) kepada Pikiran Merdeka, Jumat (22/07/16) .
Menurut Abuna, pembibitan kurma Aceh itu merupakan program dari Jama’ah Kurma Aceh, sesuai dengan hasil inisiatif dari Dr. Hilmy Bakar Almascaty, seorang pengusaha dan cendekiawan muslim kelahiran NTB yang kini menetap di Aceh.
Doktor Hilmy, kata Abuna, melakukan riset ke tempat pembudidayaan kurma di Thailand dan Riyadh, Arab Saudi, tempat ia menemukan inspirasi bisnis kurma dari perjalanan ke dua daerah itu sebelumnya.
“Dari sanalah ia berkeinginan mengembangkan pembibitan kurma di Aceh. Saat ini, pembibitannya sudah dilakukan di laboratorium Universitas Almuslim, Bireuen.”
Abuna mengatakan, sosialisasi pembibitan kurma, pertama kalinya dilakukan di pesantren, yaitu Dayah Mulia. Alumni Dayah Ulee Titi Blang Bintang itu sendiri sebagai fasilitator acara tersebut.
Sebelum acara itu, Abuna mengajak Dr Hilmy untuk hadir, sementara ia juga sudah mengajak masyarakat tiga kecamatan di Aceh Besar, yaitu Blang Bintang, Montasik, dan Krueng Raya.
Kehadiran Mayjen TNI Rudy Polandi dalam sosialisasi itu menandakan dukungan yang kuat terhadap pembudidayaan kurma di Aceh, sejalan dengan program ketahanan pangan RI.
Abuna melihat, pembibitan kurma di Aceh memiliki prospek yang sangat bagus.
“Karena berdasarkan hasil analisis ekonomi para pakar, penghasilan dari 1 hektare kurma sebanding dengan penghasilan 100 hektare sawit, padahal biaya perawatannya sama,” sebut putra asli Teupin Batee itu.
Selain itu, Abuna menegaskan, budidaya kurma memiliki masa produktif lebih lama dibanding sawit. Sawit normalnya 10 – 20 tahun, sedangkan kurma bisa sampai 70 tahun.
Perbedaannya pula, 24 jam setelah panen, sawit harus sudah ditempatkan di pabrik, sementara kurma bisa ditinggal begitu saja sampai setahun lamanya. Pun, penanaman kurma tidak merusak lingkungan.
Bibit kurma asal Thailand yang ditanam di Aceh, juga sudah sesuai menurut Abuna. Sebab secara geografis, Aceh dan Thailand memiliki kontur tanah yang sama sebagai daerah tropis.
Dayah Mulia sendiri sedang menyiapkan 20 hektare lahan untuk budidaya kurma. Tujuannya, mendongkrak dakwah islam. Hasilnya digunakan untuk pemberdayaan dayah dan pemberdayaan ekonomi masyarakat.
“Mungkin ini menjadi salah satu metode mensyiarkan islam kepada masyarakat lewat jalur ekonomi. Kerena selama ini kita lihat masyarakat kita jauh dari agama salah satunya karena ekonominya buruk,” ujar Abuna.
Abuna yakin, budidaya kurma yang sudah dimulai di Blang Bintang itu akan membuahkan hasil positif. Namun juga tergantung dengan seberapa besar ikhtiar dari pengusahanya.
“Semoga apa yang kita lakukan ini bsia menginspirasi dayah-dayah lain,” ucapnya.
MEMBANGUN SEKOLAH TAHFIZ
Sementara itu, impian Syukri menumbuhkan kurma di Aceh, bukan semata-mata karena ingin menghasilkan segepok uang.
Sebagian dari keuntungannya kelak akan dipakai untuk membangun dan membiayai Sekolah Tahfiz di sekitar Kebun Kurma Aceh itu.
Dia berjanji, “Kita mau mengajarkan anak-anak untuk belajar Alquran. Sekolah itu kita gratiskan.”
Selain itu, dialokasikan pula untuk membantu santri berwirusaha, sehingga mendongkrak perekonomian pesantren untuk menggalakkan masyarakat betah di dayah.[]
Belum ada komentar