Debat kandidat tahap dua masih menyajikan kriteria calon pemimpin yang tak serius. Harusnya ada Paslon dengan visi menciptakan sumber keuangan Aceh selain APBA dan Otsus.
Harapan Doktor Effendi Hasan menemukan visi yang jelas dari setiap calon kepala daerah Aceh tak terpenuhi dalam debat kandidat Cagub/Cawagub Aceh tahap dua di Aula Amel Convention, Banda Aceh, Rabu (11/01/17) malam pekan lalu.
“Antara debat pertama dan kedua tidak jauh berbeda, masyarakat masih dihadapkan pada istilah ‘penjual kucing dalam karung’,” ujarnya kepada Pikiran Merdeka.
Dia sejatinya ingin Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh menyajikan debat kandidat yang fokus pada satu topik, sehingga masing-masing kandidat memiliki kesempatan mengurai visi dan misinya lebih lengkap.
Menurut Wakil Dekan I Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Syiah Kuala itu, harusnya debat diarahkan ke satu persoan khusus. Setidaknya fokus pada topik tekait kondisi faktual Aceh. Disebutnya, soal pendidikan, ekonomi, sosial politik, dan syariat Islam.
“Misal langsung saja kepada topik pendidikan Aceh yang saat ini semakin terpuruk, padahal di sisi lain, anggaran untuk sektor ini naik setiap tahun,” tuturnya, Jumat pekan lalu.
KIP Aceh angkat tema ‘mencari pemimpin visioner’ dalam debat kandidat Cagub/Cawagub Aceh tahap dua. Acara yang sempat molor itu berlangsung sekitar dua jam setengah.
Effendi Hasan mengamati, semua kandidat memang mengutarakan visi dan misinya terkait kondisi kekinian Aceh. Tapi jabarannya terlalu umum dan tak fokus. Bahkan ada orientasi menjatuhkan lawan. “Adakalanya seperti acara stand-up comedy,” imbuh dia.
Dari penyampaian enam kandidat dalam debat kedua itu, sebutnya, masyarakat tak bisa melihat pasti bagaimana visi-misi calon pemimpin mereka.
Dia pun menyarankan, debat selanjutnya difokuskan satu topik saja, sehingga rakyat bisa melihat jelas calon pemimpin yang betul-betul dibutuhkan Aceh.
Baca: Rekam Jejak Petarung Pilkada Aceh 2017
“Dalam dua debat terakhir yang saya saksikan langsung, kandidat sebatas menyampaikan janji, bukan langkah-langkah konkret,” ungkapnya melalui sambungan telepon.
Effendi Hasan memberikan contoh dari Negeri Jiran. Saat menempuh doktor falsafah ilmu politik di Fakulti Sains Sosial dan Kemanusiaan Universiti Kebangsaan Malaysia, ia sempat lihat langsung proses demokrasi politik dalam Pemilihan Raya 2013.
Di negara federal itu, dua kubu bertarung antara koalisi Barisan Nasional yang dikomandoi PM Malaysia Najib Razak dan oposisi Pakatan Rakyat (Barisan Alternatif) yang dipimpin eks Wakil PM Malaysia Anwar Ibrahim.
Kubu Barisan Nasional merupakan koalisi 13 partai yang didominasi partai organisasi nasional Malaysia bersatu (UMNO), sedangkan kubu oposisi Pakatan Rakyat hanya aliansi tiga partai.
Effendi masih ingat dalam satu sesi debat kandidat, masing-masing barisan menawarkan visi yang jelas dibutuhkan masyarakat. Barisan alternatif menyampaikan, jika terpilih sebagai anggota legislatif, mereka gratiskan biaya listrik dan air bersih bagi masyarakat di Negeri Selangor. Dilihatnya pula, Barisan Nasional menawarkan pendidikan gratis.
Saat itu Pakatan Rakyat memenangkan sejumlah kursi di beberapa negara bagian, salah satunya Selangor, meskipun secara umum kalah suara dari Barisan Nasional.
Akademisi kelahiran Pidie itu melihat, setelah Barisan Alternatif menguasi kursi legislatif di Selangor, visi menurunkan biaya hidup dari listrik dan air bersih langsung dijalankan. Ia cuma membayar dari 20 ringgit ke 1 ringgit, hingga gratis. Rakyat merasakan kegembiraan setelah memberikan suara kepada Barisan Alternatif.
“Kita mau pemimpin Aceh ke depan harus seperti itu. Apa yang mereka sampaikan di visi-misi langsung diimplementasikan jika terpilih, sehingga jelas manfaatnya ke rakyat,” katanya.
Effendi memberikan catatan penting bagi setiap calon eksekutif dan legislatif di Aceh, bahwa setiap kali maju dalam kontestasi Pileg maupun pilgub, setiap calon harus memiliki beban menjadikan Aceh lebih baik. “Memulihkan kondisi Aceh saat ini yang ‘sedang sakit’,” pungkasnya.
Baca: Meragukan Kekayaan Calon Pemimpin Aceh
Amatan Pikiran Merdeka, debat kandidat Cagub/Cawagub Aceh tahap dua dimulai pukul 20.30 WIB dari seharusnya pukul 20.00 WIB. Penyelenggara menunggu pasagan calon Muzakkir Manaf–TA Khalid yang sedang dalam perjalanan pulang dari kampanye di Lhoksukon, Aceh Utara.
Keterlambatan Paslon nomor urut 5 itu diambil kesempatan oleh Cagub Irwandi Yusuf. Tepatnya pada pukul 21.20 WIB ketika pasangan calon nomor urut 3 baru saja menyampaikan visi-misinya, mantan gubernur Aceh itu pindah dari mimbarnya di nomor 6 ke mimbar Paslon nomor urut 5. Dia berdiri seraya tersenyum, sedangkan Abdullah Puteh terpaksa berhenti sejenak. Penonton tertawa.
Muallem–TA Khalid baru muncul sekitar pukul 22.20 WIB saat segmen kelima debat mau berakhir. Keduanya dengan seragam Partai Aceh langsung naik pentas.
“Mohon maaf kami terlambat karena baru pulang menghadiri kampanye di Lhoksukon,” kata Muallem sebelum menjawab pertanyaan Tarmizi Karim.
MINUS CALON VISIONER
Debat kandidat Cagub/Cawagub Aceh tahap dua juga menarik minat Rustam Effendi. Dia menaruh perhatian pada tema debat, mencari pemimpin visioner. Siapa saja dari enam Paslon pemimpin Aceh untuk Pilkada 2017 itu yang visioner?
Pemimpin visioner, menurut pengamat ekonomi Aceh itu, pemimpin yang melihat jauh ke depan dan berpijak dari kondisi kekinian. Pemimpin visioner memiliki pandangan jelas terhadap suatu visi yang ingin dicapai, tambahnya.
“Sumber keuangan Aceh saat ini tergantung pada dana otsus dan itu ada masanya. Pemimpin (Aceh) yang visioner adalah pemimpin yang melihat jauh ke depan bagaimana mendapatkan sumber keuangan lain ketika penggunaan dana otsus itu habis masanya,” ujarnya pada Pikiran Merdeka.
Mencari pemimpin visioner, tambahnya, haruslah berkaca pada pengalaman pembangunan ekonomi Aceh selama ini. Penggunaan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) yang dikelola eksekutif dan legislatif tak produktif.
Pembangunan ekonomi Aceh saat ini, kata Rustam, tanpa pola yang jelas. Alokasi APBA hanya disalurkan melalui SKPA/SKPD. Alokasi anggaran oleh dinas-dinas ke masyarakat tak menghasilkan pendapatan asli daerah. Seharusnya ada badan usaha khusus dibuat untuk menyalurkan uang dan mengisi pundi-pundi rupiah ke Aceh.
Baca: Soedarmo Mainkan Lagu Lama Jakarta
Lihat pemerintah pusat yang membentuk badan usaha milik negara, sebutnya. Diberi contohkan, di PU ada Waskita, Wika, Adhi Karya, atau BPJS di kesehatan, dan Pelindo di perhubungan.
“Semua BUMN itu kan dibentuk untuk mengisi pundi-pundi kas negara. Aceh tak ada badan usaha seperti itu, kecuali Bank Aceh yang menghasilkan laba setiap tahunnya,” katanya, Jumat pekan lalu.
Kekhawatirannya cukup berasalan. Didapatinya pondasi ekonomi Aceh sekarang cukup lemah. Catatan Badan Pusat Statistik Aceh hingga Triwulan II 2016, kontribusi produk domestik regional bruto (PDRB) Aceh menurut lapangan usaha hanya 28–29 persen.
Kontribusi paling kuat berasal dari sektor perekonomian yang menghidupi hampir 70 persen dari 5 juta penduduk Aceh. Statistik menunjukkan, angka pertumbuhan ekonomi Aceh cukup lambat, hanya di bawah 3 persen.
“Mengapa lemah? Karena pemerintah abai. Seharusnya Aceh menggenjot pondasi yang kuat di situ (pertanian). Kita tidak fokus pada input-nya, seperti pupuk, bendungan, dan petani sulit mendapat akses informasi.”
Paling miris, ungkap Rustam, pemerintah daerah masih andalkan bahan mentah dari sektor pertanian. Padahal sudah saatnya ditransformasikan ke industri pengolahan bahan mentah.
Hal itu dapat dibuktikan dengan catatan BPS Aceh, hingga 2016, tak ada pertumbuhan lapangan usaha dari sektor pertambangan dan industri pengolahan.
Aceh sudah kuat di pertanian dan untuk sementara tak perlu mencetak sawah baru, melainkan lebih menyeimbangkan pertanian yang kuat dan menambahkan penguatan dari industri pengolahan bahan mentah. “Jangan lagi kita jual ikan, gabah, dan kakao mentah-mentah. Soal ini kita enggak cantik, enggak pintar. Kandidat yang visioner itu harus dilihat dari sisi ini,” bebernya.
Selama ini, perekonomian Aceh hanya di-back-up oleh jasa pemerintahan. Sehingga ketika APBA/APBK lambat disahkan, daya beli Aceh melemah. “Pemimpin visioner adalah pemimpin yang mampu mengubah struktur ekonomi Aceh, bahwa ke depan itu tidak lagi welcome dengan bahan mentah,” sebutnya.
Sebab, menurutnya, pasar bahan mentah akan sulit berkembang di masa depan, karena akan berhadapan dengan pasar oligopsoni; lawannya pasar oligopoli.
Dia menjelaskan, jika pasar oligopoli hanya ada dua-tiga penjual, maka oligopsoni hanya ada dua-tiga pembeli. Bahan mentah dijual ke pasar oligopsoni. “Jika ketiga pembeli itu misalnya tidak mau beli komoditi kita, habislah kita punya. Tapi kalau kita jual bahan setengah jadi, yang sudah di-packing, kita bisa simpan kalau pasar oligopsoni tak mau beli, takkan membusuk,” urainya.
Jika ada visi-misi pasangan calon Cagub/Cawagub Aceh yang menjelaskan struktur pembangunan ekenomi berbasis industri pengolahan dan bukan normatif, nilai Rustam, maka Paslon itulah yang visioner.
Menurutnya juga, pemimpin visioner dari sisi perekonomian daerah, ialah yang menyiapkan langkah-langkah pasti untuk membangun struktur perekonomian Aceh ke depan seiring dengan menyiapkan SDM.
Aceh tak boleh lagi ada warga dengan ‘mental warung kopi’. Tak boleh lagi ada mindset pekerjaan adalah PNS. Padahal di Aceh, cukup banyak lahan kosong yang bisa digarap.
Kata Rustam, pemerintah harus ambil peran menghilangkan ‘mental warung kopi‘ pada masyarakat Aceh. Caranya, pemerintah bentuk badan khusus (ad-hoc) untuk mencetak pengusaha baru.
“Pemerintah dan dewan sediakan anggaran khusus ke lembaga ad-hoc, dengan menyimpan uang di sebuah bank. Misal Rp50 miliar setiap tahunnya,” ujar pengamat kelahiran Lhokseumawe itu.
Bank tersebut harus kelola uang secara transparan dan tanpa intervensi pihak manapun. Bank pula yang berhak memberikan pinjaman lunak kepada calon pengusaha sekaligus mengevaluasi bisnisnya.
Rustam melihat sistem itu sudah dijalankan Malaysia sejak 1996, melalui SMIDEC (Small and Medium Industries Development Corporation) atau Korperasi Pembangunan Industri UMKM yang dibentuk Kementerian Perdagangan dan Industri Internasional Malaysia.
“SMIDEC semacam pusat pengembangan UMKM yang dikelola oleh tenaga independen. Tugas lembaga ini hanya melatih dan membimbing seluruh pengusaha UMKM, tidak ikut campur soal keuangan. Semacam inilah yang harus ada di Aceh,” kata Rustam.
Setelah dibina di SMIDEC, pengusaha itu boleh meminjam dana dari bank yang ditunjuk pemerintah. Selanjutnya pihak bank yang memilih lokasi usaha, hingga mengevaluasi bisnis pengusaha tersebut.
“Jika dibuat di Aceh, maka harus ada kontrak antara pihak bank, pengusaha, dan pihak berwenang di lokasi usaha. Hal ini perlu karena tanggungjawab sosial di Aceh sudah berkurang,” ujarnya.
Nah, kata dia, calon pemimpin Aceh yang visioner seharusnya kandidat yang mampu menyiapkan struktur pembangunan ekonomi inovatif ke depannya.[]
Belum ada komentar