Butuh Supervisi KPK

Rapat RPJM Aceh Tahun 2017-2022 bersama seluruh Kepala SKPA. (Foto Humas Aceh)
Rapat RPJM Aceh Tahun 2017-2022 bersama seluruh Kepala SKPA. (Foto Humas Aceh)

Kalangan aktivis berharap, KPK perlu berkoordinasi dan supervisi dalam penyusunan RAPBA 2018. Hal itu untuk meminimalisir tolak-tarik kepentingan dalam pembahasan anggran.

Menyikapi telatnya pembahasan RAPBA 2018, LSM Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) pada 22 Desember lalu melayangkan surat ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) di Jakarta.

Alfian

“Berbagai polemik muncul, mulai dengan alasan belum disahkannya RPJM 2017-2022 hingga alasan KUA PPAS 2018 yang sebelumnya ditolak oleh DPRA belum disempurnakan dan diserahkan kembali oleh eksekutif. Kondisi ini sangat merugikan masyarakat Aceh,” ujar Koordinator MaTA, Alfian.

Dalam surat bernomor 058/B/MaTAXII/2017 itu, MaTA meminta KPK untuk melakukan koordinasi dan supervisi dalam penyusunan RAPBA 2018. Rekam jejak Provinsi Aceh yang selalu terlambat dalam pengesahan anggaran ini, mengakibatkan mandeknya pelayanan publik dan daya serap anggaran Pemerintah Aceh.

MaTA juga menyebutkan bahwa kentalnya kepentingan elit, baik dari eksekutif maupun legislatif, kian memperparah kondisi ini. Selain itu MaTA juga menemukan sebanyak 119 paket proyek senilai Rp 650 milyar tanpa perencanaan telah masuk dalam APBA tahun 2017.

Terkait: APBA Telat, Salah Siapa?

Sehingga pembahasannya semakin berlarut-larut dan menimbulkan polemik di tengah-tengah masyarakat. “Berngkat dari kondisi ini, kami meminta KPK untuk dapat melakukan koordinasi dan supervisi,” pungkas Alfian.

Hingga akhir pekan lalu, belum ada tanda-tanda APBA bakal dibahas. Humas Pemerintah Aceh, Mulyadi Nurdin kepada Pikiran Merdeka pada Jumat (5/1) pekan lalu memastikan bahwa TAPA akan menyerahkan kembali dokumen KUA PPAS 2018 pada bulan ini ke DPRA. “Kalau target, secepatnya. Jika sudah ada jadwal pembahasan dengan DPRA, akan segera dibahas bersama,” kata dia.

Mulyadi Nurdin

Banyak hal yang dikoreksi dari isi dokumen tersebut, menyesuaikan ketentuan-ketentuan yang baru. Namun, Mulyadi tidak merinci apa saja yang berubah dari isi dokumen KUA PPAS ini. Pasalnya, dokumen itu juga belum dikembalikan secara resmi.

“Nanti jika sudah ada berita acara pengembaliannya, akan tahu apa saja yang belum terakomodir,” lanjutnya.

Ia berharap, masalah ini cepat terselesaikan. Karena dampak keterlambatan pengesahan APBA ini bisa dirasakan masyarakat Aceh secara keseluruhan. “Kita usahakan secepatnya, biar bisa cepat direalisasikan kegiatan pembangunan dan kesejahteraan rakyat,” tutupnya.

KOMUNIKASI SERET

Keterlambatan pembahasan RAPBA tahun 2018, membuat masyarakat menaruh sesal. Pasalnya, keterlambatan ini bak ‘kutukan’ yang belum juga berakhir. Beberapa tahun sebelumnya, Aceh seperti tak beranjak dari predikat provinsi ‘terlelet’ di Indonesia dalam hal pengesahan anggaran.

Askhalani

Keadaan ini, menurut Koodinator Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh Askhalani, terus terjadi akibat minimnya komunikasi yang terjalin antara pihak eksekutif dan legislatif. Keduanya seakan seteru abadi yang tak pernah akur, saling terbentur beragam kepentingan.

Dalam acara Diskusi Publik ‘Mendorong Percepatan Pengesahan RAPBA 2018’ di balai sidang Fakultas Ekonomi Unsyiah, Jumat (29/12) lalu, Askhalani menguraikan tiga catatan. Pertama, keterlambatan RAPBA terkait dengan komunikasi membangun kepercayaan dalam proses politik anggaran.

Secara komposisi jumlah kursi di DPRA, ujar Askhalani, saat ini Irwandi didukung oleh 13 kursi dari lima partai politik di parlemen. Partai tersebut; Partai Nanggroe Aceh (PNA), PDA, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), dan Partai Demokrat.

“Menurut kami, mereka inilah yang berperan sebagai tim yang menjembatani seluruh kebijakan politik yang dijanjikan gubernur Irwandi kepada publik di parlemen,” katanya.

Sementara itu, Partai Gokar diposisikan GeRAK berada di tengah-tengah, antara partai pendukung pemerintah dan oposisi. Menurut Askhalani, sudah biasa bagi Gokar untuk tetap berada di posisi tengah, meski seringkali lebih memilih menjadi pendukung pemerintah.

“Kalau dijumlahkan Gokar 9 kursi ditambah 13 kursi anggota dewan yang mendukung pemerintah, merekalah yang harus menjadi tim pembela pemerintah Aceh dalam melakukan lobi dan advokasi mempercapat APBA. Apakah tanggung jawab itu pernah dilakukan? saya pikir cuma PNA yang konsisten,” tambah dia.

Adapun komposisi partai-partai non-pendukung, ada Partai Aceh, Gerindra, PKS, PAN, Nasdem, PKPI, PPP, dan PBB yang seluruhnya meraup sebanyak 59 kursi di DPRA. Dalam hal proporsi, maka jumlah ini cukup signifikan berperan sebagai penyeimbang yang menentukan arah kebijakan politik anggaran.

Catatan GeRAK selanjutnya adalah mengenai daya lobi anggaran oleh TAPA. Selama ini, menurut Askhalani, tim TAPA saat ini tengah terkendala dalam melakukan lobi.

“Karena ada masa transisi antara pemerintah yang lama dan yang baru, begitu usulan disampaikan di awal, akan cenderung ditolak. Ini dikarenakan tidak sesuai dengan apa yang dijanjikan dalam kampanye pemerintahan yang baru,” ujarnya.

Memperhatikan dinamika yang terjadi di internal Badan Anggaran DPRA, Askhal tertarik dengan mekanisme penganggaran yang diatur dalam sistem elektronik saat ini. Hal ini membuat setiap rencana anggaran dapat diawasi secara otomatis.

“E-Planing dan E-Budgeting itu sudah terkoneksi dengan perencanaan penganggaran yang sudah sesuai dengan UU, juga diawasi oleh KPK. Kalau pemerintah keluar dari itu, maka akan ada catatan, setidaknya ini efektif pernah menjaring sejumlah pejabat di Jambi yang ujungnya terkena operasi tangkap tangan KPK,” paparnya.

Terlepas dari itu, GeRAK mencermati pola komunikasi antara eksekutif dan legislatif. Melihat Gubernur Irwandi Yusuf yang hingga kini belum bertemu dengan seluruh pimpinan Parpol non-pendukung, tentu ini bukan pertanda baik. Askhalani menyebutkan, parpol memiliki kemampuan untuk mendorong pengambilan sikap anggotanya di DPRA.

“Membangun komunikasi dengan partai non-pendukung ini penting, untuk menjaga ritme lobi oleh tim TAPA ini agar berjalan mulus,” kata dia.

Catatan GeRAK yang terakhir adalah mengenai harmonisasi kebijakan anggaran. Ia membeberkan, proporsi anggaran aspirasi DPRA sebagai salah satu ‘biang’ perbedaan sikap antara eksekutif dan legislatif.

“Ada sekitar Rp20 miliar diusulkan DPRA untuk masing-masing anggotanya, wajar jika Bappeda menolak karena dalam sistem E-Planing dan E-Budgeting tidak boleh ada usulan anggaran itu di saat-saat akhir. Harusnya diusulkan sejak awal, ini yang jadi problem,” jelasnya.

Program-program ‘dadakan’ lainnya, seperti pengadaan pesawat terbang, tak kalah bikin gaduh. Selain itu juga Dana Kerja Gubernur (DKG) yang besarannya sekitar Rp120 miliar. “Ini menjadi perdebatan tajam antara Banggar dan eksekutif.”

Analis Aceh Institute, Rizkika Lhena Darwin secara terpisah menyampaikan, penyebab utama terlambatnya pengesahan APBA Aceh tahun ini adalah gagalnya kompromi politik antara eksekutif dengan legislatif. “Hampir setiap tahun menjelang pembahasan APBA terdapat problem komunikasi antara DPR Aceh dengan Pemerintah Aceh,” katanya kepada Pikiran Merdeka, Sabtu (6/1).

Rizkika Lhena Darwin

Ia menambahkan, APBA mengalami lima fungsi, yaitu fungsi otorisasi, fungsi perencanaan, fungsi pengawasan, fungsi alokasi dan fungsi distribusi dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Sehingga keterlambatan pembahasan APBA akan berdampak kepada kehidupan sosial ekonomi di masyarakat, karena selama ini terkait urusan publik di Aceh bergantung kepada APBA.

“Kunci utama dalam politik penganggaran adalah kompromi yg sudah dipersiapkan jauh-jauh hari antara Eksekutif dan Legislatif sebelum APBA dibahas oleh dua lembaga tersebut. Jika urusan kompromi mencapai titik temu, keterlambatan akan tidak terjadi seperti sekarang ini,” katanya.

Sedangkan dampak utama ada di sektor sosial ekonomi, selain juga di bidang pembangunan infrastruktur dan program pengentasan kemiskinan melalui peningkatan efisiensi dan efektivitas perekonomian.

“Lebih baik diadakan kompromi untuk melaksanakan program gubernur terpilih hasil Pilkada 2017, seperti Aceh Sejahtera, Aceh Caroeng, Aceh Meuadab, Aceh Teuga, Aceh Green, Aceh Energi dan lainnya. Untuk menjalankan program tersebut, pondasi utamanya adalah APBA yang sampai saat ini belum disahkan,” ujarnya.

Rizkika tak terlalu mempersoalkan polemik perbedaan pandangan antara eksekutif dan legislatif. Ia mengatakan, tidak ada oposisi dalam struktur politik di Aceh. “Kalaupun ada yang berbeda pendapat hanya bersifat sementara. Sejauh kepentinganya sudah diakomodir, maka akan pro kembali kepada pemerintah,” tambah dia.

Untuk menyudahi kebuntuan ini, menurutnya, Gubernur Irwandi perlu membangun komunikasi dengan ketua partai yang memperoleh kursi mayoritas di DPR Aceh. Jika komunikasi dengan ketua partai mencapai titik temu maka anggota DPR Aceh pasti segera ketok palu untuk APBA.

“Mungkin gubernur bisa mencontoh gaya Presiden Jokowi dalam berkomunikasi dengan ketua-ketua partai,” sebutnya. Kemampuan merangkul merupakan seni yang harus dikuasai pemimpin politik.
Rizkika juga berharap, ke depan Pemerintah Aceh dan DPRA bisa belajar dari pengalaman di tahun-tahun sebelumnya menyangkut jadwal pembahasan APBA.

“Jangan jadikan kepentingan golongan untuk mengorbankan kepentingan publik. Perjuangkan saja kepentingan yang sehat dan logis menurut keadaan dan ketentuan yang berlaku,” pungkasnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait