Haba: Ariadi B. Jangka
[hr]
Tujoh macam bungong, tujoh uroe tujoh malam, seunujoh, tujoh lapeh langet…
Angka tujuh memang akrab dengan adat istiadat hingga dikaitkan dengan agama. “Dalam hidup juga ada tujuh hal yang tidak dapat kita ubah,” ujar seorang teman. Menarik, batin saya.
Pertama, kata teman itu, kita tidak bisa mengubah kelamin. “Memang bisa operasi kelamin, tapi tidak bisa mengubah roh atau spirit orang tersebut.Percayalah!” ujarnya berusaha meyakinkan. “Maka, terimalah dirimu, apakah engkau perempuan atau lelaki.”
Ya, saya memang cukup lega jadi lelaki, sebuah “kebetulan” yang sangat bisa saya terima, tanpa pernah bisa memilih sebelumnya.
“Kedua, hari kelahiranmu sudah ditetapkan sebelum dunia ini diciptakan. Jangan menyesali, meski kamu hidup di lingkungan sulit, sering ditipu, dikhianati, melihat kebusukan atau bahkan tidak ada yang mencintai. Tuhan sudah punya tujuan untukmu,” papar teman itu.
Entahlah, seolah saya menjadi begitu penting (sebelum dunia diciptakan sudah ada data) tapi kemudian, disia-siakan?
Ketiga, orangtua, yang menurutnya kita tidak bisa memilih, tapi “ditentukan”. Ke empat bentuk fisik. “Kamu keriting ya keriting aja, pesek ya pesek. Banyak yang operasi plastik, tapi itu hanya membuang waktu menentang alam dan akankelihatan aneh,” ujarnya. “Bila kamu ubahpun bentuk mukamu jadi baik, kamu tidak akan pernah puas. Jadi, terimalah nasibmu.”
Okelah…Nah, yang ke lima menyangkut masa lalu, ini juga menurutnya sudah ditetapkan. “Makanya, jangan melihat ke belakang, hanya membuat jiwa ragamu beku. Lihatlah keindahan masa depan,” katanya.
“Untuk yang ini saya jelas tak setuju. Melihat ke belakang penting untuk introspeksi, bangsa kita susah intsrospeksi, dan ke depan menurut saya adalah hidup di bumi akan semakin menderita bagi ras manusia,” bantah saya.
Teman itu diam, entah menganggap saya tidak logis, atau dianggap bodoh karena tidak memiliki semangat spiritual samasekali. Ke enam, lanjutnya, tanpa menanggapi protes saya, adalah kedudukan dalam keluarga. “Bila kamu anak sulung, bungsu atau anak tengah, kamu tidak bisa mengubah itu. Nikmati sajalah itu,” ujarnya sambil tersenyum.
Dan ke tujuh, ini paling penting. “Apa kamu menyesal jadi rakyat Indonesia yang terus kesulitan hidup, atau orang Aceh yang terpaksa menerima keadaan konflik panjang hingga tsunami, lalu dijajah oleh sesama Aceh? Jangan menyesal. Tapi ubahlah perilaku hidupmu. Jaga lingkungan hidup, loyal dan beretos kerja tinggi, jangan korupsi, jangan menyakiti rakyat, tegakkan hukum dengan adil!!!,” sarannya.
Lho..lho..saya setuju, tapi saya bukan pejabat, pegawai negeri, aparatur penegak hukum, sejauh saya rakyat, saya akan patuh pada hukum dan memberi contoh pada anak dengan berbuat sesuai apa yang saya katakan. “Saya bukan penangungjawab negeri ini! Apa urusan saya dengan korupsi!” pekik saya.
Teman itu diam. Membuat saya sadar, jangan-jangan uang rupiah yang saya pegang ada hubungannya dengan korupsi. Jangan-jangan perputaran uang dan barang di sekitar saya penuh dengan manipulasi, jangan-jangan kita telah terlibat korupsi berjamaah, yang membuat nasib bangsa ini semakin parah. Saya menyesal, menyesal tujuh turunan (karena tidak korupsi yang dapat memperkaya diri hingga tujuh turunan!). Dasar burong tujoh! []
Belum ada komentar