Sejumlah rencana program dalam APBA-P 2017 menuai kontroversi. Isu itu menjadi ‘bola panas’ yang menggelinding liar di kwartal awal pemerintahan Irwandi-Nova.
“Harapan KUA-PPAS perubahan ini dapat diselesaikan lebih cepat mengingat waktu efektif hanya tinggal kurang lebih 3 bulan pelaksanaan dalam tahun berjalan.”
Permintaan itu disampaikan Irwandi pada Kamis, 14 September lalu, di Gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Berkemeja putih, dibalut jas hitam dan dipadu dasi berwarna merah, Irwandi Yusuf menyerahkan dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Perencanaan Anggaran Sementara (KUA-PPAS) Perubahan Tahun Anggaran 2017 kepada Ketua DPR Aceh Teungku Muharuddin.
Penyerahan tersebut berlangsung dalam rapat Badan Anggaran DPR Aceh dan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA) di ruang Badan Anggaran DPR Aceh. Selain Gubernur Irwandi, rapat itu turut dihadiri Sekretaris Daerah Aceh Dermawan, Wakil Ketua DPRA Sulaiman Abda, tim asistensi gubernur, sejumlah kepala SKPA, dan para anggota badan anggaran.
Kala itu, Irwandi sempat menjelaskan, ada tiga kondisi yang mengharuskan dilakukannya penyusunan APBA Perubahan. Di antaranya perkembangan yang tidak sesuai dengan asumsi Kebijakan Umum Anggaran (KUA), keadaan yang menyebabkan harus dilakukan pergeseran anggaran antar-unit organisasi, antar-kegiatan, dan antar-jenis belanja. Selanjutnya kegiatan yang menyebabkan saldo anggaran lebih tahun sebelumnya digunakan dalam tahun berjalan.
Selain itu, Irwandi juga menjelaskan, terdapat kegiatan bantuan hibah dan bantuan sosial yang tidak dapat dilaksanakan pada APBA 2017 murni karena belum memenuhi ketentuan sebagaimana diatur dalam Peraturan Mendagri Nomor 32 Tahun 2011, Nomor 39 Tahun 2012, dan Nomor 14 Tahun 2016, sehingga perlu dilakukan perubahan.
Alasan lainnya, kata Irwandi, karena masih ada pekerjaan yang harus diselesaikan segera yaitu kesepakatan KUA PPAS Tahun 2018 dan pengesahan Qanun RPJMA Tahun 2017-2022.
Namun siapa sangka, beberapa hari kemudian, beberapa item usulan program APBA-P 2017 itu tersiar melalui media sosial dan menuai pro-kontra di masyarakat. Usulan tambahan program dan kegiatan baru berjumlah 29 program dengan total anggaran Rp254 miliar. Dalam list tersebut, tertera beberapa program unggulan Irwandi yakni penambahan beasiswa anak yatim, honorarium guru honor, serta penambahan kekurangan beasisiwa S1, S2, dan S3. Program tersebut dinilai wujud nyata dari janji Irwandi semasa kampanye dulu.
Selain program yang diapresiasi publik, juga terselip berbagai program “aneh” dan memunculkan kritikan netizen. Misalnya saja, Tsunami Cup, Tsunami Game dan Sail Sabang, serta pengadaan mobil untuk perwakilan Jakarta sebanyak 4 unit, pengembangan kelapa sawit hingga panjar untuk pembelian pesawat udara. Bukan hanya itu, program yang pendanaannya bersumber dari Dana Alokasi Khusus (DAU) dan otonomi khusus (Otsus), sebagiannya putut dipertanyakan.
Misalnya saja Tsunami Cup dengan anggaran sebesar Rp11 miliar yang “dititip” di Dispora. Lalu, Tsunami Game dan Sail Sabang sebesar Rp7,5 miliar di Dinas Pariwisata, pengadaan mobil untuk perwakilan Aceh di Jakarta Rp3 miliar, pengembangan kelapa sawit Rp3 miliar di Dinas Pertanian dan Perkebunan, serta panjar untuk pembelian pesawat udara sebesar Rp10 miliar melalui Dinas Perhubungan. Ada pula item lain seperti pelaksanaan pendukung Sail Sabang sebesar Rp2 miliar yang dipersoalkan.
Tak hanya di media sosial, pembahasan ini juga disoroti aktivis antikorupsi di Aceh. Anggota Badan Pekerja Masyarakat Transparansi Aceh (MaTA) Amel menilai rencana alokasi anggaran untuk pembayaran panjar pembelian pesawat udara senilai Rp10 miliar perlu dikaji ulang.
Pemerintah Aceh, kata Amel, harus mempertimbangkan biaya rutin yang harus dikeluarkan terhadap pemeliharaan dan biaya operasional nantinya. “Seharusnya kita bisa belajar dari kejadian masa lalu, ketika pengadaan helikopter pada masa Gubernur Abdullah Puteh yang tidak transparan lalu berujung kepada praktik korupsi. Bahkan helikopter tersebut tidak dapat digunakan oleh Pemerintah Aceh,” paparnya.
Di sisi lain, kata dia, rencana pembelian pesawat udara tersebut patut dipertanyakan. Pasalnya, berdasarkan hasil penelusuran MaTA selama ini Pemerintah Aceh memiliki tiga pesawat hibah dari Jerman di Bandara Sultan Iskandar Muda(SIM), yang penggunaannya dikhususkan untuk kegiatan pertanian, kehutanan, dan kelautan.
“Kalau memang Aceh butuh pesawat untuk kegiatan-kegiatan pemantauan tiga sektor tersebut, kenapa tidak pesawat itu saja yang tinggal mengurus izin terbang untuk digunakan. Jadi, tidak harus membeli yang baru,” bebernya.
Karena itu, kata Amel, pihaknya mendesak Pemerintah Aceh untuk mengkaji kembali usulan pembelian pesawat tersebut. Selain itu, mereka juga mendesak DPRA selaku wakil rakyat yang memiliki fungsi pengawasan untuk benar-benar menyeleksi usulan anggaran yang diajukan oleh TAPA.
Hal itu sebagai keharusan, sehingga usulan dalam anggaran perubahan yang akan disahkan nantinya benar-benar pro-rakyat. “Menurut hemat kami, alokasi anggaran tersebut cukup besar dan seharusnya bisa dialokasikan untuk kebutuhan program prorakyat, khususnya yang dapat berkontribusi bagi upaya percepatan pengentasan kemiskinan,” katanya.
Aktivis MaTA berharap, DPRA jangan sampai terjebak dalam politisasi angaran hanya karena sudah mendapatkan Rp25 miliar untuk tunjangan fasilitas. “Anggota dewan di DPRA diharapkan punya keberanian untuk menolak usulan anggaran yang memang tidak pro terhadap rakyat sesuai dengan harapan publik Aceh,” pungkasnya.
Krtikan serupa datang dari Gerakan Anti Korupsi (GeRAK) Aceh. Menurut Koordinator GeRAK Aceh Askhalani, program APBA-P 2017 terlalu bombastis dan sangat tidak sesuai dengan kebutuhan urgent masyarakat Aceh. Sebagaian besar program yang diusulkan dinilainya terkesan tanpa melalui kajian yang matang dan terlalu dipaksa.
“Pembelian pesawat, yang notabenenya merujuk pada penjelasan dari Gubernur Irwandi terkesan hanya usulan dari yang bersangkutan saja dan tanpa ada kajian yang lebih dahulu dijadikan sebagai basis argumen untuk menyebutkan bahwa program tersebut adalah kebutuhan,” kata Askhal, Sabtu pekan lalu.
Merujuk pada indikator anggaran, kata dia, program semacam itu sangat tidak tepat diusulkan secara tiba-tiba namun harus ada pembahasan yang sangat detail. “Prinsipnya, setiap sen anggaran publik harus melalui perencanaan yang tepat dan tidak boleh tiba-tiba atau sesuka hati, sebab pengelolaan anggaran harus merujuk pada UU,” kata Askhalani.
Sadar rencananya membeli pesawat jadi polemik, Irwandi yang juga telah mempunyai pesawat pribadi jenis Shark Aero pun angkat bicara. Ia menuliskan sebuah status di laman facebooknya pada Rabu (20/09) berjudul “Perlukah Aceh Menjaga Kekayaan Lautnya?” Tulisan Irwandi direspon oleh 1,9 ribu orang, dan dikomentari oleh hampir seribu orang.
Di hari yang sama, Kepala Biro Humas dan Protokol Pemerintah Aceh Mulyadi Nurdin juga mengirim siaran pers yang berisi penjelasan Irwandi di media sosial terkait alasan membeli pesawat tersebut untuk mengawal perairan Aceh.
Dalam penjelasannya, Irwandi menyebutkan selama ini ikan yang ada di laut Aceh “habis” bukan karena ditangkap oleh nelayan Aceh. Namun, karena dicuri oleh nelayan ilegal dari mancanegara. Kondisi ini membuat Aceh mengalami kerugian mencapai puluhan triliun rupiah setiap tahun.
“Kamla (Keamanan Laut) dan Angkatan Laut tidak mampu mengawal laut kita, makanya kita memerlukan patroli laut yang masif, cepat, dan murah,” jelas Irwandi.
Untuk mengawal laut Aceh, tulis dia, memerlukan paling sedikit enam unit pesawat udara yang dilengkapi dengan alat penjejak kapal penangkap ikan illegal. Adapun harga dari pesawat itu, kata Irwandi, adalah Rp2 miliar per unit. Artinya, jika pemerintah membeli enam unit pesawat, maka anggaran yang harus dikeluarkan adalah Rp12 miliar.
Namun, kata Irwandi, untuk membuat pesawat terbang tidak akan selesai dalam satu tahun. “Jadi kalau kita order tahun ini, kita harus bayar panjar sekitar Rp4, 5 miliar untuk 6 pesawat. Pilot yang kita sekolahkan ada 15 orang. Alat VMS ada pada Ibu Susi (Menteri Kelautan dan Perikanan),” tambahnya.
Menurutnya, jika Aceh berhasil menghalau separuh saja dari kapal pencuri ikan maka triliunan rupiah kekayaan laut Aceh terselamatkan oleh kegiatan patroli 6 unit pesawat terbang Aceh yang total harganya Rp12 miliar. “Pesawat-pesawat ini juga bisa dipakai untuk melacak perahu penyeludup sabu di Selat Malaka,” katanya.
Di samping itu, pengadaan boat patroli cepat bersenjata juga perlu dilakukan untuk bertindak langsung di lautan setelah menerima info dari patroli udara. “Tetapi anggota DPRA mengkritiknya,” tulis Irwandi di akhir penjelasannya.
Sayangnya, Irwandi tak menjelaskan mekanisme pemanfaatan pesawat tersebut nantinya. Ia juga tak menjelasakan saran beberapa pihak terkait pemanfaatan tiga pesawat hibah World Bank yang saat ini masih terparkir di Bandara SIM. Tak diketahui pasti, apakah pesawat tersebut akan dihibahkan ataupun dioperasikan oleh Dinas Perhubungan?
Sejatinya, tugas pengawasan laut adalah tanggung jawab polisi perairan, TNI Angkatan Laut maupun Badan Keamanan Laut (Bakamla). Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2004 tentang TNI memberikan lima tugas kepada Angkatan Laut. Salah satu tugas itu, menurut Pasal 9 huruf b UU tersebut, adalah menegakkan hukum dan menjaga keamanan wilayah laut nasional sesuai ketentuan hukum nasional dan hukum internasional yang telah diratifikasi.
Sedangkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2008 tentang Pelayaran mengamanatkan pembentukan sebuah lembaga penjaga laut dan pantai. Pasal 276 beleid tersebut menyatakan lembaga itu perlu dibentuk untuk menjamin terselenggaranya keselamatan dan keamanan di laut.
Desember tahun lalu, bertepatan dengan Hari Nusantara, Presiden Jokowi secara resmi mengumumkan pembentukan Bakamla untuk menggenapi perintah UU Pelayaran.
Pembentukan Bakamla diatur dalam Peraturan Presiden Nomor 178 Tahun 2014. Bakamla dikoordinasikan oleh Menteri Koordinator Politik Hukum dan Keamanan. Dalam konteks pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya laut, Bakamla akan berkoordinasi dengan Menteri Koordinator Kemaritiman.
Di sisi lain, pengakuan Irwandi telah memnyekolahkan 15 orang pilot yang diproyeksikan untuk pengoperasiannya juga menjadi tanda tanya. Pasalnya, Irwandi sendiri baru beberapa bulan menjabat gubernur. Selain itu, pemanfaatan pesawat yang dijelaskan Irwandi akan dipiloti oleh 15 orang calon pilot yang kini tengah menyelesaikan sekolahnya juga menjadi tanda tanya publik.
MEMANAS DI BANGGAR
Benar saja, penjelasan Irwandi tetap saja tidak mampu meredam kritik yang dialamatkan kepadanya. Apalagi dasar penjelasan tersebut tidak cukup menyeluruh. Karena itu, pembahasan di Banggar DPRA pun semakin memanas, terutama terkait rencana pengadaan pesawat dan tsunami cup.
Polemik terhadap beberapa usulan Pemerintah Aceh ini pertama kali mencuat dalam rapat antara TAPA dengan Banggar DPRA pada Selasa (19/9) malam. Perdebatan hebat sempat terjadi dalam rapat tahap II tersebut.
Rapat yang dimulai dimulai pukul 17.00 WIB dan berakhir jelang salat magrib ini dibuka oleh Wakil Ketua II Irwan Djohan. Dari TAPA hadir Kepala Bappeda Azhari Hasan, Asisten III Kamaruddin Andalah, Kadis Perhubungan Zulkarnaen, Inspektur Aceh Muhammad.
Dalam rapat tersebut, beberapa anggota Banggar mengkritik sejumlah usulan Pemerintah Aceh yang dinilai kurang bermanfaat. Salah satunya adalah pembelian pesawat. Untuk program itu, Pemerintah Aceh mengusulkan anggaran Rp10 miliar sebagai panjar pembelian pesawat yang dialokasikan di Dinas Perhubungan Aceh.
Usulan itu langsung mendapat penolakan dari beberapa angota Banggar DPRA. Sejumlah anggota Banggar berasumsi, beberapa item usulan TAPA yang mereka sorot bukan program wajib dan tidak mendesak, bahkan disebut sebagai program aneh.
“Ada hal lain yang lebih mendesak seperti gaji guru honorer yang harus dibayar sesuai dengan ketentuan,” kata anggota Banggar DPRA Nurzahri.
Dalam rapat tersebut, kata Nurzahri, anggota Banggar meminta tim TAPA untuk menjelaskan proses perencanaan, studi kelayakan, spesifikasi, proses tender dan beberapa penjelasan lainnya terhadap wacana pembelian pesawat.
Namun, TAPA kebingungan dalam menjelaskan. Mereka mengaku tidak paham dengan panjar pesawat yang tetera dalam anggaran perubahan tersebut. “Mereka tidak bisa menjelaskan apa yang kita tanyakan. Karena program itu diusulkan langsung oleh gubernur, dan tanpa penjelasan yang cukup dari gubernur,” ujar Nurzahri yang juga ketua Komisi II DPRA.
“Baik Kepala Bapeda Azhari Hasan maupun Kadis Perhubungan Aceh Zulkarnaen tak mampu menjelaskan berbagai pertanyaan anggota Banggar DPRA,” sambungnya.
Menurut dia, apabila belum ada studi kelayakan yang memadai dan mekanisme pengadaan yang sesuai dengan aturan pengadaan barang dan jasa, sebaiknya TAPA menunda dahulu program pengadaan pesawat tersebut. “Kalau usulan yang diajukan tidak bisa dijelaskan secara rasional tentu menjadi aneh. Karena belum mendesak, akhirnya TAPA setuju dengan pendapat saya dan pengadaan pesawat tidak jadi dianggarkan dalam perubahan kali ini. Diharapkan, tahun depan baru bisa diadakan,” tambahnya.
Usulan lain yang menjadi sorotan dewan dalam rapat tersebut, antara kegiatan Tsunami Cup (Rp11 miliar), Sabang Sail (Rp9,7 miliar), pengadaan mobil di Jakarta bagi Wagub (Rp3 miliar), pengembangan kelapa sawit dan beberapa program lainnya.
Terkait program Tsunami Cup yang dianggarkan di Dispora Aceh, kata Nurzahri, pendapat anggota Banggar tepecah. Dirinya dan sebagian anggota lainnya menolak total kegiatan senilai Rp11 miliar tersebut. “Sebagian lainnya setuju tapi dengan anggaran yang dikurangi dan selebihnya setuju dengan diubah nama selain Tsunami Cup,” ucapnya.
Sejatinya, tegas dia, untuk APBA Perubahan ada baiknya Pemerintah Aceh memprioritaskan program wajib dahulu yang belum cukup anggarannya di APBA murni. “Apabila ada sisa dana, baru bisa membuat program pilihan dan program baru,” kata politisi Partai Aceh ini.[]
Belum ada komentar