Oleh Mustafa A Glanggang
Mantan wartawan, pemerhati masalah sosial budaya di Banda Aceh.
Selepas jalan-jalan pagi, saya singgah di Caffee Solong Lamnyong yang baru dibuka sebelum Ramadhan lalu. Pelanggan warung ini kabanyakan kalangan mahasiswa, dosen, dan para eksekutif muda. Selebihnya merupakan personel Polda Aceh dan warga komplek di seputaran Lamnyong, Kecamatan Syiah Kuala, Banda Aceh. Banyaknya kalangan mahasiswa dan polisi di warung itu lebih dikarenakan keberadaannnya di Jalan T Nyak Arief, diapit oleh pintu masuk Kopelma Darussalam dan Mapolda Aceh.
Bagi warga yang sudah lama menetap di Banda Aceh, tentu sudah tidak asing dengan Warkop Solong. Begitu disebut ‘Solong’ langsung terbayang induk kopinya milik Abu Solong di Ulee Kareng. Bahkan, dalam perjalanan kisah kopi ulee kareng, seolah-olah memang Abu Solong saja yang memonopoli merek ‘kopi ulee kareng’. Padahal di sana banyak Warkop lain yang mutu kopinya tidak kalah dengan Solong. Sebut saja Warkop Cut Nun yang berhadap-hadapan dengan Solong di Pasar Ulee Kareng.
Anehnya juga, kopi kemasan merek Ulekareng sama sekali tidak ada hubungan dengan pemilik Warkop di Ulee Kareng. Kopi kemasan tersebut berawal setelah tsunami. Asnawi selaku pengagas dan pemilik hak paten kopi kemasan ulekareng berhasil mendominasi pasar kopi siap saji, tidak hanya di Aceh tapi sudah menembus pasar nasional. Tidak mengherankan, saat ini dengan mudah bisa dijumpai kopi kemasan ulee kareng, mulai di kios-kios, pasar tradisonal, mini market hingga swalayan dan mall besar di seluruh Indonesia.
Dalam dunia bisnis kopi dan Warkop di Aceh, khususnya Banda Aceh, memang kopi milik Abu Solong tetap menjadi standar. Kini trademark Caffee Solong sudah lahir beberapa gerei atau unit baru, antara lain di kawasan Lamnyong dan belasan cabang lainnya di Banda Aceh.
TAUFIK KOPI
Selain Solong, Warkop Taufik juga bisa dijumpai di setiap sudut Banda Aceh. Terutama setelah tsunami melanda Aceh. Taufik, sama halnya dengan Abu Solong, merupakan nama pemiliknya yang dipopulerkan sebagai merek dagangannya. Konon, Taufik memang berguru pada Abu Solong sejak umur sekolah dasar. Ia bersama tiga saudaranya bekerja di Warung Solong Ulee Kareng sekitar tahun 1990-an. Kemudian Taufik bersama dua adiknya (Dek Mie dan Si Chek), atas seizin Abu Solong membuka warung kopi secara mandiri. Taufik dengan nama Taufik Kopi memulai di Jalan Pocut Baren, persisnya di samping Gereja Metodis Banda Aceh.
Dari Pocut Baren, kini Warkop Taufik sudah tumbuh lebih 20 unit di Banda Aceh dan luar Banda Aceh, termasuk di Sigli, Lhokseumawe, dan beberapa kota lain di Aceh.
Lain Taufik, lain pula Si Chek—nama pangilanya sejak kecil. Pemilik nama asli Iskandar ini mempopulerkan nama kecilnya dengan dibumbuhi gaya barat- kebaratan, jadilah Caffee Chek Yukee yang setiap hari dipadati kaulamuda. Iskandar memulai usahanya di depan Mesjid Raya Baiturrahman, bersebelahan dengan Apotik Kimia Farma atau tepatnya kini sudah menjadi Mini Market Indomaret.
Saat Chek Yukee pertama kali dibuka di depan Masjid Raya, konflik Aceh sedang panas-panasnya. Namun , Iskandar mampu melawati berbagai rintangan sehingga bisnisnya terus berkembang. Peramah dan murah senyum menjadi ciri khasnya saat menghadapi pelanggan. Ditambah lagi keahliannya meracik kupi, membuat Warkop Chek Yukee selalu ramai pelanggan.
Soal meracik kopi, Iskandar memang tergolong maha guru bagi anak buahnya yang mencapai lebih 200 orang. Menurut pengakuan keluarga Abu Solong, Chek merupakan orang pertama direkrut bekerja di Warkop Solong. Semula Iskandar kecil yang akrab dipanggil Chek hanya bertugas mengantar kue milik keluarganya di Kampung Berawe ke Warkop Solong di Ulee Kareeng. Karena sikap dan penampilan Chek menarik bagi Abu Solong, ditawarilah bekerja pada Warkop Abu Solong. Padahal saat itu Chek belum tamat SD. Bagaikan gayung bersambut, Chek langsung menerima tawaran itu. Dalam perjalanannya, Chek mengajak Taufik (abangnya) dan Helmi alias Dek Mie (adiknya) untuk sama-sama bekerja di Warkop Solong.
Bagi Chek, situasi konflik Aceh, termasuk masa Darurat Militer (DM), bukan penghalang untuk mengambangkan usahanya. Justru situasi itu dimanfaatkannya dengan baik. Ketika orang mulai takut pergi ke Ulee Kareng karena faktor keamanan, Chek membuka Warkop di pusat kota Banda Aceh. “Awal pembukaan waruang itu menggunakan sistem bagi hasil dengan pemilik modal,” kata Chek suatu ketika kepada penulis.
Tiga dari enam bersaudara inilah kemudian merajai berbagai sudut Kota Banda Aceh dengan mendirikan Warkop dan gerai-gerai kopi. Kabarnya, tiga bersaudara ini tatap saling tukar informasi. Bahkan, beberapa jenis kue untuk Warkop Taufik, Chek Yuke dan Dek Mie diproduksi di tempat yang sama.
Untuk bubuk kupi, sebelumnya Taufik Cs mengandalkan kopi yang produksi Abu Solong. Tapi sejak beberapa tahun terakhir, Chek Yukee sudah memproduksi bubuk kopi yang juga distribusikan untuk kebutuhan Taufik Kopi dan Dek Mie Kopi. “Bahan dasar tidak sepenuhnya dari kebun kopi di Gayo. Ada juga kopi rakyat dari Lamno dan daerah lain di Aceh. Yang penting, cara meraciknya. Pasti enak juga kupinya,” kata Chek Yukee.
Bukan hanya itu, Iskandar juga menjadikan Warkop Chek Yukee sebagai ‘sekolah’ meracik kopi. Ia membuka kesempatan bagi anak muda untuk magang hingga bisa meracik kopi dengan baik. Setelah dinyatakan lulus, boleh membuka Warkop sendiri atau menggunakan merk Chek Yukee dengan membayar royalti. “Boleh juga ambil bubuk kopi saja sama saya. Terserah mau jual di mana,” kata Iskandar.
PEMAIN BARU
Selain kelompok Abu Solong dan Taufik, ada juga grup warkop Cut Nun. Dalam lima tahun terakhir, juga muncul pemain baru grup Zakir Kopi. Baik Cut Nun maupun Zakir, kedua kekuatan ini membidik lokasi yang strategis dengan menata warungnya minimal dua pintu toko. Dekorasi warung juga dibuat deng gaya modern, sehingga para penikmat kopi semakin memikat. Dan, cerita Cut Nun dengan Zakir Kopi juga hampir sama dengan kelompok Taufik.
Menurut pengakuan beberapa teman yang sering ngopi di Warkop Zakir, bahwa Cut Nun dengan Zakir masih ada hubungan keluarga. Antara Group Abu Solong dengan keluarga Taufik dan Cun Nun sepertinya juga terikat tali. Sehingga, bila diperhatikan, cara meracik kopi pun beda-beda tipis.
Ada juga Warkop yang tidak kalah populernya di Banda Aceh, yaitu Dhapoekoepi yang berlokasi persis di Simpang Surabaya dan dibuka 24 jam. Di Dhapoekopi, selain nikmat kopinya juga racikan mie goreng dan mie rebus yang selalu menggugah selera. Sejauh ini, Dhapoekupi baru membuka cabang di kawawasan Punge Ujoeng, lintasan ke pelabuhan Ulee Lheu Banda Aceh.
Bisnis warug kopi di Banda Aceh memang semakin menjajikan. Warkop yang sudah punya nama, hasil penjualan kopi dan minuman ringan lainnya rata-rata mencapai Rp7-Rp 15 juta per hari. Namun bukan sedikit juga Warkop musiman yang hanya bertahan antara 1 sampai 2 tahun. Bahkan ada yang baru buka satu semester, sudah harus gulung tikar. Ini dikarenakan omset penjualan tidak sesuai target, sehingga tidak mencukupi sewa tempat dan gaji pekerja.
Belakangan ini, lokasi yang diburu pembisnis Warkop di Banda Aceh adalah kawasan Jalan T Nyak Makam, mulai depan kantor Gubernur Aceh hingga jalan baru di kawasan Pango. Di kawasan ini tidak hanya berjejer Warkop yang menawarkan kopi ala Solong (robusta), tapi juga tumbuh subur warung yang menawarkan kopi arabica (ekspreso).
Kawasan lain yang diburu pembisnis kopi, namanya ring road. Mulai Simpang Surabaya sampai Terminal Bus Batoh, berjejer warung kopi dengan menawarkan beragam rasa, baik robusta maupun arabica.
Menjamurnya warung kopi di Aceh tentu tidak terlepas dari kebiasaan masyrakatnya. Dalam sebuah penelitian disebutkan, masyarakat Aceh satu hari tidak duduk di warung kopi atau keude kopi seperti ada sesuatu yang janggal. Suatu kebahagiaan bagi orang Aceh bila dapat menikmati satu gelas kopi hitam atau kopi pancong sambil membahas berbagai isu yang sedang berkembang , mulai masalah sosial, bisnis, pendidikan sampai persoalan politik dan keamanan.
Dalam hal-hal tertentu, warung kupi berfungsi sebagai media penyampain informasi. Tidak rahasia lagi bila sudah duduk di meja kopi, antara satu meja dengan meja lain topik pembahasan berda-beda, namun tidak saling menguping antara meja A dengan meja B. Bagi para politisi, komunitas warung kopi di Aceh selalu dikelola dengan baik. Sebab, media ini sangat murah tapi pesan politik yang disampaikan mampu menereobos jantung hati masyarakat.
Soal gosip, fitnah dan intrik politik yang beredar antara satu warung kopi ke warung lain di Aceh sudah lumrah. Namun, bila isu atau gosip politik sudah masuk warung kopi, bisanya sulit dibuktikan kebenarannya. Bila pun benar, bukan tidak mungkin keputusan-kepetusan yang telah ditetapkan pemerintah bisa dibatalkan kalau isunya sudah duluan beredar di warung kopi.[]
Belum ada komentar