Oleh: Khairil Miswar
Direktur POeSA Institute
Wacana dari Gubernur Aceh Irwandi Yusuf yang ingin menempatkan lokasi IPDN di Kabupaten Bireuen ditanggapi pro-kontra oleh masyarakat Aceh, khususnya via media sosial. Ada ragam argumen dikemukakan. Bahkan ada segelintir kalangan yang menyebut pemilihan Bireuen untuk lokasi IPDN sebagai bentuk “nepotisme”, sebab Irwandi sendiri berasal dari Bireuen.
Gelora kritik pun bertaburan di media sosial dalam menyikapi pro-kontra lokasi IPDN. Masing-masing kalangan menginginkan lokasi IPDN ditempatkan di daerahnya. Hal ini tentu sangat wajar, mengingat setiap orang ingin memajukan daerahnya. Ada keyakinan bahwa keberadaan IPDN di daerahnya akan turut mendongkrak pertumbuhan ekonomi masyarakat dan juga akan mengangkat kewibawaan daerah tersebut.
Media Kabar Bireuen mengabarkan bahwa Tim Survey Kajian Kesiapan Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) telah meninjau lokasi pembangunan kampus tersebut pada Kamis (30/11/17). Bahkan Bupati Bireuen berjanji akan melengkapi insfrastruktur yang dibutuhkan untuk pembangunan IPDN. Beberapa kalangan di Bireuen menyebut bahwa posisi Bireuen yang strategis sangat layak dipertimbangkan sebagai lokasi IPDN.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Aceh Besar juga menyatakan kesiapannya agar kampus IPDN dapat dibangun di Aceh Besar. Bupati Aceh Besar seperti dikutip pikiranmerdeka.co menyebut daerahnya memiliki lahan yang luas dan siap menjadi ibu kota pendidikan. Aceh Besar juga dekat dengan ibu kota provinsi sehingga dianggap patut dipertimbangkan sebagai lokasi IPDN. Bupati Aceh Besar juga menjamin kecukupan fasilitas air dan listrik.
Menyimak berbagai argumen yang diajukan terkait lokasi IPDN, secara umum masih terfokus pada persoalan insfrastruktur, luas lahan, kondisi daerah dan ketersediaan fasilitas lainnya. Memang harus diakui bahwa item-item tersebut sangat penting dan menjadi syarat utama dalam penentuan lokasi IPDN.
Namun demikian, sejauh pengamatan penulis, belum ada seorang komentator pun yang mencoba melihat keberadaan kampus tersebut dari perspektif historis. Padahal aspek ini juga penting diperhatikan sebagai bahan pertimbangan guna terciptanya kesinambungan sejarah bagi daerah yang telah berkontribusi dalam pelaksanaan pendidikan di Aceh.
KENAPA BIREUEN?
Dari beberapa literatur, dapat diketahui bahwa di masa-masa pra-kemerdekaan, Bireuen telah menjadi pusat pendidikan modern di Aceh. Tanpa menafikan peran daerah lain, Bireuen sejak awal telah tampil sebagai pelopor pendidikan modern. Keberadaan Normal Islam Institute (Normal School) yang didirikan Persatuan Ulama Seluruh Aceh (PUSA) di bawah komando Teungku Muhammad Dawud Beureueh pada 1939 adalah bukti paling otentik bahwa Bireuen di masa-masa awal telah menjadi pusat berkumpulnya para pelajar di seluruh Aceh.
Satu-satunya sekolah lanjutan di Aceh pada masa pra-kemerdekaan yang kurikulumnya ditekankan pada pendidikan keagamaan hanyalah Normal Islam School yang berlokasi di Bireuen. Lulusan Normal inilah yang kemudian menjadi tokoh-tokoh pergerakan kemerdekaan di Aceh. Mereka yang menyelesaikan pendidikan di Normal Islam Bireuen adalah kalangan intelegensia generasi awal di Aceh (Sepuluh Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan, 1969).
Baihaqi AK dalam Mattulada dkk (1983) menyebut bahwa masa belajar di Normal Islam Bireuen selama empat tahun. Baihaqi juga menceritakan bahwa sebagian besar lulusan Normal Islam Bireuen tidak hanya menjadi intelektual dalam pengertian hari ini, tetapi juga menjadi ulama yang dihormati di masanya. Keterangan Baihaqi AK ini semakin mempertegas bahwa Normal Islam Bireuen adalah lumbungnya intelektual Aceh pada masa itu.
Dari beberapa dokumen dan juga hasil wawancara penulis dengan beberapa pihak, diketahui bahwa Normal School merupakan lembaga pendidikan setingkat akademi. Artinya, Normal School adalah lembaga pendidikan tinggi modern pertama di Aceh sebelum lahirnya IAIN Djamiah Ar-Raniry dan Universitas Syiah Kuala.
Normal School yang saat itu dipimpin oleh seorang intelektual lulusan Mesir, M Nur El-Ibrahmiy telah melahirkan sejumlah intelektual generasi awal di Aceh. Para inteletual punggawa Darussalam generasi pertama sebagian besarnya juga pernah mengecap pendidikan di Normal School Bireuen. Demikian juga dengan para pejuang kemerdekaan di Aceh pada masa-masa revolusi juga lulusan Normal. Bahkan Hasan Tiro, deklarator Gerakan Aceh Merdeka pun pernah menjadi siswa Normal School.
Normal Islam Institut di Bireuen terus bertahan sampai Indonesia merdeka. Pada tahun 1946, Normal Islam diambil alih oleh Pemerintah Daerah dan dipindahkan ke Banda Aceh dengan nama Sekolah Guru Islam (SGI). Di samping SGI juga dibangun SMI sebagai lanjutan bagi tamatan SRI. Pada tahun 1947, di Bireuen kembali dibangun SMI yang merupakan perkembangan dari Normal Islam. Pada tahun 1949, di Koetaradja juga dibangun SMIA sebagai kelanjutan dari SMI. Dari sini dapat dipahami bahwa Normal School adalah cikal bakal lembaga pendidikan tinggi modern.
Dalam buku Sepuluh Tahun IAIN Djamiah Ar-Raniry (1974), disebutkan bahwa Normal Islam Institut Bireun setelah kemerdekaan diubah menjadi Sekolah Menengah Islam (SMI). Menurut Jakobi (1992), SMI yang merupakan perubahan nama dari Normal Islam Bireuen adalah sekolah Islam tertinggi yang ada di Aceh.
Tidak hanya Normal School, seperti di daerah lain, di Bireuen juga pernah didirikan Taman Siswa yang berlokasi di Jeunib. Setelah Jepang mendarat di Aceh, Taman Siswa dan Normal Islam tersebut terpaksa ditutup (Sjamaun Gaharu, 1995).
Bukan hanya lembaga pendidikan agama dan pendidikan modern, pada masa-masa revolusi fisik mempertahankan kemerdekaan RI, Bireuen juga sempat dijadikan sebagai Markas Komando pergerakan para pejuang di Aceh. Di Bireuen saat itu juga didirikan pusat pendidikan calon perwira dan bintara yang dikenal dengan Komando Militer Akademi Bireuen (KMA). Bustanil Arifin yang sempat menjadi Menteri pada era Soeharto adalah salah seorang lulusan KMA Bireuen.
Pasca kemerdekaan, pada tahun 1964, seperti dicatat dalam buku Sepuluh Tahun Darussalam dan Hari Pendidikan, di Bireuen juga telah dibuka perkampungan pelajar yang diberi nama Badrussalam. Dalam buku Sepuluh Tahun Daerah Istiewa Atjeh, Talsya (1969), menyebut bahwa di Bireuen dahulu juga pernah berdiri Fakultas Hukum (swasta). Hal ini menandakan bahwa geliat pendidikan di Bireuen tidak pernah berhenti, pasca “hilangnya” Normal.
Penting juga dicatat bahwa jauh sebelum Indonesia merdeka, di Bireuen, tepatnya Matangglumpangdua juga telah berdiri sebuah madrasah yang dikenal dengan Al-Muslim yang didirikan oleh Teungku Abdurrahman Meunasah Meucap dengan dukungan penuh dari Teuku Chik Muhammad Djohan Alamsjah (Ampon Chik Peusangan).
Namun perjalanan sejarah tidak bisa ditebak. Pasca berdirinya IAIN dan Unsyiah di Banda Aceh, keberadaan Bireuen sebagai pusat pendidikan telah mulai melemah. Namun jika merujuk pada keberadaan Normal Islam Bireuen sebagai sekolah agama tertinggi di Aceh pada masa-masa awal, maka tidak berlebihan jika IAIN Ar-Raniry seharusnya berlokasi di Bireuen sebagai kelanjutan dari Normal School. Dengan kata lain, Darussalam seharusnya terletak di Bireuen.
Beberapa ulasan historis yang dikemukakan di atas tentunya penting diperhatikan dalam penentuan lokasi IPDN. “Marwah” Bireuen sebagai kota pendidikan paling awal di Aceh harus dikembalikan.
Pembangunan IPDN di Kabupaten Bireuen adalah salah satu jalan mengembalikan Bireuen sebagai kota pendidikan. Masyarakat Bireuen, sebagaimana diakui Amran Zamzami (1990) adalah masyarakat yang hiterogen dan kosmopolit sehingga siap menerima siapa saja tamu yang akan bertandang. Dan yang terpenting, istilah aso lhoek (penduduk asli) tidak pernah berkembang di Bireuen. Wallahu A’lam.[]
Belum ada komentar