Berbagi Tuah Keadilan Transisi

Berbagi Tuah Keadilan Transisi
Berbagi Tuah Keadilan Transisi

“Seandainya Anda yang jadi korban konflik, mana yang Anda pilih? Menuntut keadilan atau perdamaian terhadap pelaku?”

Pertanyaan ini diajukan seorang mahasiswa pada Lia Kent. Sesaat ia terdiam, lalu perlahan menggeleng kepala dan tersenyum simpul. “Ini sangat kompleks, saya belum berada dalam posisi korban, maka tak ada yang bisa dijawab, maaf,” ujarnya.

Forum diskusi yang digelar Aceh Institute, Rabu (10/5) lalu, mengulas balik pengalaman masyarakat di Timor Leste. Usai didera konflik berkepanjangan, negara bekas bagian Indonesia itu tertatih-tatih dalam membangun setelah porak-poranda akibat perang. Transitional Justice tau peradilan transisi adalah hal pertama yang mereka retas guna memulihkan kondisi sosial di sana.

Disebut Transitional Justice (TJ) School, forum ini mengulas hasil disertasi Lia Kent, pengajar di Australian National University. Ia meneliti proses peradilan transisi di Timor Leste, wilayah bekas pendudukan Indonesia yang secara resmi merdeka pada tahun 2002. Dalam riset tersebut, Lia mengaku mewawancarai sekitar 100 orang lebih, menelusuri pandangan masyarakat di sana terhadap proses keadilan transisi di Timor Leste.

Dalam sejarahnya, Timor Leste merupakan bekas koloni Portugis. Invansi Indonesia selama lebih dari dua dasawarsa makin memperpanjang daftar kekerasan di negara itu, di mana hampir sepertiga dari jumlah populasi penduduknya menjadi korban.

Selama kurun waktu tiga bulan perang saudara (September-November 1975) dan 24 tahun pendudukan Indonesia (1975-1999) di Timor Leste, tercatat lebih dari 200.000 orang meninggal dunia. Kemudian di masa referendum tahun 1999, sekitar 1.500 orang terbunuh dan 400.000 orang mengungsi. Laporan komisi resepsi, kebenaran dan rekonsiliasi di Timor Leste—dalam bahasa setempat dinamakan Comissao de Acolhimento Verdade e Reconciliacao (CAVR)—menyatakan, 183.000 orang mati di tangan tentara Indonesia karena keracunan bahan kimia dari bom-bom napalm dan mortir-mortir.

Hingga kini, masyarakat masih menghadapi debat yang dilematis tentang peace building yang kini belum juga tuntas. Ada jurang yang kian lebar antara perdamaian dan keadilan, soal mana yang lebih penting di antara keduanya.

Dosen pengajar Universitas Presiden, Reza AA Wattimena dalam satu artikelnya mengutip Cunliffe, bahwa pertanggungjawaban atas kejahatan-kejahatan masa lalu amat penting sebagai alat untuk menciptakan perdamaian yang berlangsung lama. “Di beberapa wilayah konflik, seperti Aceh dan Maluku, proses-proses negosiasi ternyata masih belum memenuhi rasa keadilan, terutama bagi korban kejahatan berat,” katanya.

Proses negosiasi seperti ini dianggap hanya sementara, tidak menyentuh dimensi keadilan yang lebih dalam, yakni keadilan untuk para korban, dan para pelaku kejahatan selama masa konflik. “Dengan kata lain, proses negosiasi tidak menciptakan perdamaian yang sejati, yang abadi, melainkan hanya untuk meredam konflik sementara, namun membuka peluang cukup besar untuk terjadinya konflik di masa datang,” tulisnya.

Dalam hal ini, seperti disampaikan Lia Kent, berkembang pula kompromi terhadap pelaku pelanggaran HAM. Muncul persepsi bahwa menuntut keadilan, sama halnya memancing destabilitas demokrasi.

“Akan ada konflik baru jika prosekusi terhadap pelaku kejahatan HAM dilakukan, ancaman semacam ini muncul saat konflik itu usai. Perbincangan ini makin nyaring pada tahun 1990-an, terutama saat KKR di Afrika Selatan terbentuk,” ujarnya.

Hal inilah yang dikritik dari komisi pengungkapan kebenaran. Sebagian korban pelanggaran HAM masa konflik merasa ada hak mereka yang terabaikan, ketika keadilan dianggap berpotensi menciptakan destabilisasi bagi perdamaian. Sehingga, pengungkapan kebenaran untuk kejahatan berat kian tak tersentuh. “Sulit membayangkan sebuah perdamaian tanpa keadilan,” simpul Lia.

Afrika Selatan, sebagai salah satu negara yang pernah terjebak dalam konflik rasial berkepanjangan, mendirikan Komisi Kebenaran pasca rezim Apartheid. Dalam prosesnya ditawarkan Blanket Amnesty. Mereka, terutama para pelaku pelanggaran serius di era pemisahan warna kulit itu, secara terbuka harus mengakui kejahatan yang telah mereka perbuat.m“Pengakuan tersebut agar mendapat amnesti,” kata Lia. Keadilan versus perdamaian kemudian mulai berkembang lebih jauh. Muncul pula persepsi bahwa keduanya bisa saling mendukung satu sama lain untuk perdamaian yang berkelanjutan.

Lia Kent dalam diskusi TJ School di Aceh Institute. (PM/Fuadi Mardhatillah)

KONSEP TJ SCHOOL
Konsep TJ School lahir di Aceh Institute dengan berkaca pada jeda yang begitu panjang antara masa perdamaian dan pembentukan KKR di Aceh. Berbeda dengan Timor Leste yang lebih sigap usai merdeka, Aceh perlu 11 tahun sebelum akhirnya berhasil mendirikan komisi rekonsiliasi melalui Qanun Nomor 17 Tahun 2003. Jeda tersebut dinilai secara perlahan turut menggerus ingatan masyarakat tentang konflik. Karenanya, program TJ School dianggap sebagai cara tepat mengembalikan isu keadilan transisi ke arus utama.

“Dalam TJ School ini kita punya beberapa program. Ada diskusi bersama para jurnalis di Aceh, untuk melihat bagaimana perspektif media dalam menanggapi isu soal transitional justice,” ujar Peneliti Aceh Insititute, Ismar Ramadhani.

Kemudian dalam TJ School juga ada workshop untuk para psikolog yang akan bekerja dengan KKR dalam upaya pendampingan pada korban.
Sebagai lembaga yang dibentuk pemerintah, KKR Aceh akan mendata kembali jumlah korban dan kerusakan yang pernah terjadi di Aceh semasa konflik. Kurun waktunya sejak 1976-2005. Adapun program terdekat yang bakal dikerjakan para komisioner KKR adalah sosialisasi ke pelbagai pihak. Sayangnya, selama ini agenda tersebut masih difasilitasi oleh kalangan non-pemerintah.

“Mereka, secara swadaya, baik dari CSO dan kampus-kampus yang selama ini memfasilitasi sosialisasi KKR. Sementara pemerintah kurang memperhatikan lembaga ini,” ujar komisioner KKR Aceh, Evi Zain di sela-sela diskusi TJ School For Journalists, Kamis (18/5) pekan lalu.

Minimnya dukungan pemerintah diakui komisioner KKR lainnya, Fajran Zain. Setelah dilantik pada 24 Oktober tahun lalu, para komisioner berharap bisa segera bekerja.
“Kami menyadari bahwa memang dalam tahun 2016 sulit bekerja karena tidak ada alokasi dana. Dari awal Abu Doto (Zaini Abdullah) juga telah mengingatkan belum ada alokasi dana di tahun itu. Pun tidak diakomodir dalam APBA-P. Kalau mau kerja ya dipersilakan, tapi mengandalkan swadaya,” tutur Fajran.

Pada Januari 2017, dana untuk KKR mulai digelontorkan. Dari usulan Rp21 miliar, alokasi yang disetujui hanya sebesar Rp3 miliar. “Terakhir, KKR mendapat Rp5 miliar. Kami harus memenggal banyak sekali anggaran operasional,” lanjutnya.

Dana operasional KKR dititip di Dinas Sosial Provinsi Aceh. Namun, beberapa waktu kemudian, dana tersebut tak juga dapat digunakan. Pihak dinas mengaku belum menerima nomenklatur mengenai KKR.

“Mereka tidak berani mengeksekusi anggaran itu, karena khawatir akan jadi temuan ke depan. Dana itu bisa dicairkan jika ada dua rekomendasi: Pergub (Peraturan Gubernur) atau perintah dari tim TAPA. Ini masalahnya kemudian,” beber Fajran.

Aral yang melintang di depan KKR tak hanya sampai disitu. Hingga kini masih ada pihak yang menyangsikan keberadaan KKR. Ditengarai, KKR Aceh tidak memiliki kepastian hukum.
Beberapa pekan lalu, Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) meminta Pemerintah Aceh untuk membubarkan KKR. Alasannya, dalam Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA) telah ditegaskan bahwa pebentukan KKR Aceh harus mengacu pada Undang-Undang KKR Nasional.

“Sedangkan secara nasional, UU Nomor 27 Tahun 2004 tentang KKR telah dicabut Mahkamah Konstitusi, maka KKR Aceh tidak sah, tidak ada rujukannya,” kata Direktur YARA, Safaruddin.
Sementara itu, pengamat politik dan keamanan Aceh Aryos Nivada tak sependapat dengan YARA. Menurutnya, meski payung hukum nasional yaitu UU Nomor 27 Tahun 2004 telah dibatalkan, tetapi Aceh tetap dapat mengacu kepada tiga instrumen hukum nasional yakni TAP MPR No.IV/1999, TAP MPR No.V/2000, dan UU Pengadilan HAM.

“Ini lembaga untuk mewadahi para korban konflik, meminta KKR dibubarkan sama saja melukai perasaan korban. Jangan ada wacana pelemahan KKR oleh pihak manapun,” imbuh Aryos.
Dilemahkan di sana-sini, komisioner KKR Aceh tak patah arang. Fajran Zain mengaku, generasi awal komisioner KKR memang berhadapan dengan banyak persoalan. “Kami akui budget kurang, begitupun dukungan. Banyak orang minta dibubarkan, tapi kami tak terganggu, kami terus bekerja dengan segala keterbatasan. Ini semua kerja kemanusiaan bagi kami,” terangnya.

PERAN ADAT
Seiring waktu, Lia merasa aspek legalistik dari proses keadilan transisi di Timor Leste semakin bergeser, perkembangannya makin luas. Masyarakat setempat mulai melibatkan konsep adat dalam upaya menyelesaikan konflik yang pernah mereka alami.

“Usaha dari masyarakat, seperti membuat memorialisasi, penuntutan permintaan maaf, dan kurikulum pendidikan lokal adalah cara yang lebih partisipatif untuk memunculkan kesadaran dalam mencari kebenaran. Seluruh mekanisme itu bermuara pada asumsi yang sama, yakni perlunya penyelesaian terhadap konflik di masa lalu,” kata Lia.

Dari sekian mekanisme tersebut, yang paling populer adalah pengadilan dan pencarian kebenaran, yang selama ini disebut Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi (KKR). Pengadilan ini digolongkan dalam dua pola; domestik dan internasional. Sedangkan kombinasi antara keduanya yang disebut pengadilan hibrida muncul belakangan.

Arie Siswanto dalam jurnalnya yang berjudul Pengadilan Hibrida Sebagai Alternatif Penanganan Kejahatan Internasional (2016) menyebutkan, pengadilan hibrida merupakan pengadilan internasional generasi tiga, setelah Mahkamah Internasional Nurnberg dan Tokyo (pertama) dan International Criminal Tribunal for Rwanda/ICTR (dua).

Di Rwanda, dikenal Gacaca Courts, satu cara penyelesaian berbasis lokal terhadap pelanggaran HAM di negara tersebut. Sedang komisi kebenaran di Afrika Selatan—selama ini menjadi rujukan bagi tegaknya peradilan transisi di banyak negara—dikenal pula istilah ‘pengadilan hibrida’, penekanan terhadap peradilan di tingkat lokal melalui mekanisme adat (law pluralism). “Pola ini (pengadilan hibrida) yang diterapkan di Timor Leste,” papar Lia.

Pengadilan hibrida melibatkan unsur nasional dan internasional dalam perangkat lembaganya. Salah satu faktor yang melatarbelakangi pembentukannya, seperti dituliskan Arie, adalah situasi tertentu di mana pengadilan nasional tidak lagi dapat diandalkan untuk merespon kejahatan internasional secara patut. Situasi ini juga tampak jelas di Tmor Leste, ketika negara itu mengalami kerusakan struktur dan sistem akibat konflik berkepanjangan.

“Usai konflik, TNI pergi. Aparat tak berfungsi, pengadilan tak berjalan karena tak ada hakim yang terlatih. Masyarakat yang mulai tak percaya pada penegakan hukum formal, memilih jalur adat untuk menyelesaikan persoalan,” ucap Lia.

Pada Juni 2002, perwakilan masyarakat sipil dan tokoh masyarakat adat Timor Leste berkumpul. Mereka sepakat membentuk komisi pencari kebenaran. Proposal yang mereka ajukan ke kongres nasional pertama CNRT (Conselho Nacional da Resistencia Timorense). Dua bulan setelahnya, membuahkan hasil. Komite pengarah lalu dibentuk. Mereka beranggotakan perwakilan dari CNRT, organisasi HAM, pemuda, perempuan, perwakilan gereja katolik, asosiasi tahanan politik dan narapidana politik. Mereka menyebar ke seluruh wilayah Timor Leste, berkonsultasi, dan mengumpulkan informasi mengenai apa yang dipahami masyarakat tentang rekonsiliasi.

“Setelah melalui sebuah proses nominasi publik di masing-masing distrik, Administrator Transisi, Sérgio Vieira de Mello, mengambil sumpah 29 komisaris regional pada 15 Mei 2002. Sepuluh di antaranya adalah perempuan,” demikian dikutip dari laman cavr-timorleste.org.

Komisi CAVR lalu diberi mandat, yakni menyelidiki dan menetapkan kebenaran yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia yang terjadi sehubungan dengan konflik di Timor-Leste dari tanggal 25 April 1974 sampai dengan 25 April 1999.

“Komisi Kebenaran ini berperan mencari fakta untuk kasus pelanggaran HAM berat, juga menggelar testimoni publik, lalu ada laporan yang dipublikasikan secara luas untuk rekomendasi bagi kebijakan,” jelas Lia.

CAVR di Timor Leste berhasil menyatukan kembali 1.400 pelaku pelanggaran HAM ringan ke tengah-tengah masyarakat, dan banyak dari masyarakat memberikan testimoni mengenai apa yang mereka alami di masa konflik. Proses ini diselesaikan melalui mekanisme adat yang berlaku di tingkat lokal.

Di Aceh, adat sebenarnya mengambil peran besar. Namun, sejak pemerintah memberlakukan hukum positif, peran adat pun terlupakan. Kini, pemerintah mulai melakukan revitalisasi. Adat makin dipercaya mampu menyelesaikan perkara dengan lebih bermartabat.

“Ada yang dikenal dengan aspek deterence, keberulangan sebuah kasus kriminal kalau dilakukan pendekatan restoratif maka akan turun intensitasnya. Tapi dengan pendekatan legalistik atau hukuman, maka potensi terulangnya kejahatan tersebut tinggi,” ujar Fajran Zain.

Selain itu, dalam ruang legalistik, korban biasanya tak punya ruang untuk bercerita tentang kesakitan yang ia alami. “Pengadilan hanya berorientasi pada pelaku. Sementara dalam restorative justice yang dianut KKR, orientasinya korban. Upaya pemulihan diprioritaskan,” tambahnya.

Namun, Lia Kent mengaku ada kendala yang melintang dalam CAVR, yakni tidak ada mekanisme dalam pengusutan kejahatan berat, yang lambat laun membentuk anggapan masyarakat tentang masa depan penyelesaian konflik secara menyeluruh. “Masyarakat Timor Leste banyak yang bertanya ke saya, ‘kenapa para pelaku kejahatan ringan saja yang diungkap’?” ujar Lia Kent.
Memang tak ada ketentuan dalam peraturan KKR yang membahas pelanggaran HAM berat. Fajran Zain menyampaikan bahwa mandat KKR Aceh hanya sebatas pelanggaran ringan. Namun, tak menutup kemungkinan, dalam proses mendata, para pelaku kejahatan berat akan terungkap. Ini disebutnya sebagai inconvenience truth atau kebenaran yang membuat para pelaku merasa tak nyaman.

“Kita sejak awal telah menjelaskan mandat KKR adalah non-judicial process. Kita tak masuk wilayah prosekusi. Jika belakangan ditemui pelanggaran HAM berat, maka kami akan rekomendasi untuk ditindaklanjuti Komnas HAM dan kKejaksaan. Jika terbuka, akan mengungkit masa lalu. Dan ini bukan mengkhawatirkan bagi pihak TNI saja, tapi juga GAM dan siapa saja,” tandas Fajran.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait