Benang Kusut Persoalan LP (Editorial)

Polisi mengamankan kerusuhan di LP Kelas II A Banda Aceh. (Mardha/ToA)
Polisi mengamankan kerusuhan di LP Kelas II A Banda Aceh. (Mardha/ToA)

Berbagai aktivitas yang memicu persoalan besar senantiasa mengiringi proses pembinaan narapidana di republik ini. Kerusuhan di berbagai Lapas dan LP pun semakin sulit dihindari.
Selain berisi beragam manusia dengan berbagai tingkat ‘kerawanan’, kondisi LP atau Rutan di negeri ini memang serba salah. Di satu sisi, ingin memasyarakatkan kembali manusia yang dianggap pernah melakukan kesalahan. Di sisi lain, cara-cara yang ditempuh terkadang sangat kurang manusiawi. Mulai maraknya aksi pungli, penyiksaan terhadap narapidana, hingga jual-beli remisi seakan sudah menjadi hal wajar yang dipraktekkan oleh petugas LP dan jajarannya hingga ke level atas.

Kenyataan ini menjadi pemicu utama kerusuhan di berbagai LP dan Rutan di Indonesia. Boleh jadi, hal serupa pula yang melatarbelakangi kerusuhan di Lembaga Pemasyarakatan Kelas IIA, Lambaro, Aceh Besar, Kamis (04/1) lalu. Dalam kerusuhan itu, para napi yang mengamuk nekat membakar sejumlah ruang LP, seperti ruang pemeriksaan tamu beserta perangkat X-Ray, ruang binapi data, ruang administrasi, ruang kepala keamanan, serta gudang LP.

Diberitakan, kerusuhan itu berawal dari rencana pihak Kemenkumham Aceh dan Polresta Banda Aceh memindah tiga napi ke LP Kelas I Tanjung Gusta, Sumatera Utara. Ketiganya yakni Bah, Muh dan Gun. Penjemputan Bah dan Muh berjalan lancar. Namun, Gun yang berada di kamar terpisah menolak dipindahkan ke Sumatera Utara, sehingga ia memprovokasi napi lainnya untuk membuat kegaduhan yang berujung pembakaran.

Tentu tidak banyak yang heran dengan kejadian ini. Hampir semua LP atau Rutan di Indonesia memang cukup rawan dengan berbagai aksi yang di luar akal sehat. Apalagi dengan kondisi LP penuh sesak. Berdasarkan data per Juni 2017, setidaknya jumlah narapidana di Indonesia mencapai 153.312 orang. Sementara kapasitas yang dapat ditampung hanya 122.114 narapidana. Secara keseluruhan Lapas di berbagai wilayah Indonesia mengalami kelebihan penghuni mencapai 84 persen.

Dengan kondisi demikian, berbagai transaksi gelap terjadi di situ, termasuk transaksi narkoba dan jual-beli remisi. Antar napi, antar napi dan penjaga, dan bahkan antar napi dengan ‘manusia rawan’ di luar LP.

Hal ini bukan saja akibat kesalahan pengelola lembaga, tapi lebih banyak dipicu ulah para napi dengan beragam tingkat kerawanannya. Kita sering mendengar dan membaca, narkoba yang diedarkan dari dalam LP, hingga napi yang leluasa lalu-lalang ke luar masuk LP. Perkelahian antar napi di juga sudah menjadi hal wajar dengan tingkat kerawanan LP yang penuh sesak.

Kondisi ini sebenarnya menggambar situasi dunia keras di luar LP itu sendiri. Kerap, LP justru menjadi ‘sekolah lanjutan’ untuk meningkatkan kualitas kerawanan, bukannya berubah menjadi manusia yang kembali bisa bermasyarakat. Maka, kita biasa mendengar keluhan polisi yang selalu menangkap orang-orang itu saja, dalam modus kejahatan yang sama. Bahkan para mantan penghuni LP banyak yang mengenal baik penangkapnya dan penjaga sel yang bakal dihuninya lagi.

Satu hal yang tidak bisa dipungkiri, bahwa persoalan LP adalah bagian dari problem besar negara ini. Ini sambung-menyambung dengan problem lainnya dan kait-berkait dengan berbagai pelayanan pemerintah terhadap masyarakat lainnya. Pangkalnya adalah persoalan penegakan hukum dan moralitas anak bangsa. Itu yang perlu dibina dan ditegakkan bersama, sehingga berbagai persoalan lain, semacam kerusuhan di LP, dapat ditekan sekecil mungkin.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait