Belajar English di Gampong Inggreh Aceh

Belajar English di Gampong Inggreh Aceh
Belajar English di Gampong Inggreh Aceh

Ingin memperdalam Bahasa Inggris atau belajar dari dasar? Gampong Inggreh Aceh menjadi lembaga alternatif yang patut menjadi referensi warga Banda Aceh. 

Bahasa Inggris atau English adalah bahasa Jermanik yang yang paling umum digunakan di seluruh dunia. Sejak awal abad pertengahan, Bahasa Inggris dituturkan sebagai bahasa pertama oleh mayoritas penduduk di berbagai negara, termasuk Britania Raya, Irlandia, Amerika Serikat, Kanada, Australia, Selandia Baru, dan sejumlah negara-negara Karibia, serta menjadi bahasa resmi di hampir 60 negara berdaulat.

Munculnya Amerika Serikat sebagai nkekuatan ekonomi terbesar di dunia, memaksa negara lain untuk menggunakan Dollar dan berkomunikasi dalam Bahasa Inggris. Tak hanya itu, fenomena globalisasi juga ikut memperkokoh posisi Bahasa Inggris sebagai Bahasa Internasional.

Karena itu pula, perguruan tinggi di Indonesia telah lama membuat peraturan terkait dengan syarat lulus setiap mahasiswa harus memiliki skor nilai tes Bahasa Inggris sesuai standar internasional. Dari sana, muncul lembaga-lembaga yang dapat menunjang dan mempermudah mahasiswa dan masyarakat untuk belajar Bahasa Inggris.

Di Banda Aceh, sejak lama bermunculan lembaga formal dan nonformal yang khusus menyelenggarakan pendidikan Bahasa Inggris. Belakangan juga muncul lembaga pendidikan bertajuk Gampong Inggreh Aceh (GIA). Tempat belajar bahasa nonformal ini dibentuk oleh Fahrurrazi bersama dua rekannya, Alfiyan Muhiddin dan Erlanda Juliansyah.

Diluncurkan pada 1 Oktober 2015, Gampong Inggreh Aceh saat ini bermarkas di Jalan Tanggu Desa Miruek, Krueng Barona Jaya, Aceh Besar. Lokasi itu bisa ditempuh melalui lintasan bawah Jembatan Pango, Ulee Kareng, Banda Aceh.

Fahrurrazi, Pengelola GIA.

Menurut Fahrurrazi, inisiatif membangun GIA termotivasi dari Kampung Inggris di Pare, Kediri, Jawa Timur. “Kami bertiga memang alumni yang telah belajar di sana selama beberapa bulan,” katanya.

Sebelum mendirikan GIA, lanjut Fahrurrazi, dirinya telah terlebih dahulu membentuk Fun English School. Sama halnya seperti kursus bahasa lainnya, Fun English School juga mengajarkan dan melatih berbahasa Inggris bagi peserta didik. “Setelah dua tahun berjalan, Alfian dan Erlanda berangkat ke Pare untuk belajar bahasa ke sana. Sepulang dari sana, baru kami bertiga berinisiatif untuk mengembangkan Fun English School menjadi Gampong Inggreh Aceh,” ujar laki-laki yang biasa disapa Razi ini.

GIA yang telah berjalan selama dua tahun lebih tersebut memiliki tiga program unggulan yang mereka tawarkan yaitu English Camp, TOEFL, dan Conversation. Menurut Razi, peserta program tersebut umumnya adalah mereka yang ingin mendapatkan beasiswa luar negeri dan sejenisnya.

Konsep yang digunakan GIA sama seperti di Kampung Inggris Pare. Setiap bulannya ada dua periode masuk kelas berjalan, yaitu periode 10 dan 25. “Bagi pelajar yang ingin diperiode 10, maka daftarnya sebelum tanggal 10. Jika ingin diperiode 25, maka daftarnya sebelum tanggal 25,” ungka pria alumni Akutansi Unsyiah ini.

Tak hanya itu, GIA juga memberikan kemudahan bagi mereka yang ingin belajar dalam waktu singkat. GIA mempunyai program belajar dua mingguan dan program belajar satu bulanan bagi yang ingin belajar jangka waktu lama. “Setiap peserta didik bisa memilih kelas pagi ataupun sore. Program dua mingguan itu belajarnya secara intensif dari Senin hingga Jumat selama tiga jam.

Sementara program satu bulanan belajarnya selama satu setengah jam, juga secara intensif,” jelas pria kelahiran Sigli ini.
Selain kelas intensif, GIA juga membuka kelas weekend. “Kelas ini kami buka bagi mereka yang tidak bisa ikut di kelas intensif karena kerja, jadwal kuliah dan lainnya. Jadwalnya Sabtu-Minggu selama bulan,” katanya.

Untuk kelas akhir pekan itu, peserta didik juga bisa memilih kelas pagi ataupun sore. ”Jika tidak bisa juga mengikuti kelas intensif dan kelas weekend, maka mereka bisa mengikuti kelas request. Kelas ini dibuka minimal enam orang pelajar dan berlangsung pada malam hari dari Senin-Jumat,” jelas Razi.

Dalam membangun dan mengembangkan GIA, Razi dan rekannya menghadapi berbagai tantangan. Terlebih soal pendanaan yang memang sangat terbatas. “Kami sudah beberapa kali masukan proposal ke beberapa instansi untuk membangun GIA, tapi belum tembus. Untuk operasionalnya, selama ini kami gunakan dari uang pendaftaran pelajar,” jelas Razi yang sekarang pegawai di Garuda Indonesia Kantor Cabang Aceh.

Untuk metode pembelajaran, lanjut Razi, pihaknya harus mengupgred silabus pembelajaran dan harus disesuaikan dengan kondisi zaman. “Tidak bisa pakai silabus yang lama-lama. Jadi, setiap tahun harus ganti silabus dengan meng-update materi-materinya,” ungkap Razi.

Namun, upaya dan kerja keras Razi beserta rekan sudah memperlihatkan hasil. Ia mengatakan bahwa dulu hanya dapat satu atau dua kelas, kini sudah samapi empat dan lima kelas. Ia berharap, ke depan dapat terus berkembang dan ikut andil dalam memajukan anak bangsa.

Selama dua tahun operasionalnya, papar Razi, GIA telah melahirkan kurang lebih 2000 alumni. Kebanyakan mereka sudah keluar negeri untuk kembali melanjutkan studi dengan bekal Bahasa Inggris yang mereka peroleh di GIA. “Alhamdulillah, sudah banyak yang ke luar negeri juga, seperti ke Polandia, Wuhan, Australia. Lapasan dari sini juga banyak yang tersebar di dalam negeri,” ungkap Razi.

Sebagai tenaga pelajar, GIA mempekerjakan tuto-tutor berpengalaman di bidang Bahasa Ingris. “Beberapa dari tenaga pengajar juga ada yang alumni S2 dan S3 dari Australia, ada juga Exchange Student, dan ada juga dari FKIP Bahasa Inggris Unsyiah dan Bahasa Inggris UIN Ar-Raniry,” jelas Razi.

Saat ini, lanjutnya, GIA memiliki 13 pengajar/tutor. Mereka bekerja sesuai jadwal dan kelas yang telah ditetapkan.
Ia berharap, GIA semakin banyak melahirkan pelajar yang dapat bersaing di dunia global, serta semakin banyak anak Aceh yang melanjutkan studi ke luar negeri. “Harapan lainnya, pemerintah mendukung GIA. Dengan semakin banyak kursus di Aceh, semakin meningkatkan kemajuan Aceh ke depan,” sebutnya.

PROSES BELAJAR
Proses belajar yang tidak kaku dan friendly membuat peserta didik betah dan bersemangat untuk terus meningkatkan mutu dan skill Bahasa Inggris mereka. “Ya, peserta didik merasa nyaman belajar di GIA,” sebut Nurchalis, tenaga pengajar di GIA.

Mahasiswa FKIP Bahasa Inggris yang juga alumni Pertukaran Pemuda Antara Negara (PPAN) ke Malaysia di tahun 2016 ini memegang kelas english camp dan speaking. Sistem belajar yang ia terapkan yakni memeberi kesibukan untuk peserta didik agar terus berbahasa Inggris dalam kesehariannya. “Kita tidak kasih banyak materi, tapi kita kasih mereka kegiatan yang mewajibkan mereka untuk terus berbicara dalam Bahasa Inggris,” ujar Nurchalis.

Selama di english camp, lanjut dia, semua peserta diwajibkan berbicara Bahasa Inggris 24 jam. Di dalam kelas juga harus berbicara Bahasa Inggris, agar mereka terbiasa. “Jika mereka tidak bisa mengatakan sesuatu dalam Bahasa Inggris, mereka harus bilang password How to Say untuk menanyakan bagaimana cara mengucapkan sesuatu tersebut. Sampai mau tidur juga mereka harus berbahasa Inggris,” jelas Nurchalis.

Disebutkannya, jumlah peserta english camp itu berubah-ubah. Pada periode awal ia sempat mengajar sampai 18 peserta didik. Namun pada periode akhir hinga ada delapan orang. “Awalnya ada perempuan dan laki-laki, tapi karena susah diberi izin oleh orang tua, jadi kini hanya laki-laki saja yang mengikuti kelas camp,” katanya.

Untuk kelas english camp itu, minimal pesertanya berjumlah enam orang. “Usianya bebas, minimal anak SMA dan kami pernah terima dosen yang berumur 57 tahun di English Camp,” jelas pria kelahiran 1993 ini.

Selama proses pembelajaran, kata Nurchalis, ada sebagian mereka yang terus sambung program belajar Bahasa Inggris dan ada juga sampai bertahun-tahun di English Camp. “Ada yang ambil periode, karena merasa nyaman dan fun. Rame yang sambung. Ada juga yang sambung langsung jadi tiga bulan ke depan, bahkan ada yang samapai bertahun-tahun,” jelasnya.

Di English Camp, semula Nurkhalis mengajar bersama rekannya. Namun, karena rekannya berangkat keluar negeri, kini ia mengajar sendiri. “Insya Allah, walau sendiri juga bisa tertangani dengan baik. Semua peserta didik juga merasa nyaman,” tandasnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait