Kalangan Komisi IV DPRA menemukan sejumlah kejanggalan pada pengerjaan proyek Landscape dan Infrastruktur Masjid Raya Baiturrahman. Sebagiannya berpotensi menimbulkan masalah di kemudian hari.
Pertengahan Mei 2017, sejumlah anggota DPRA melakukan inspeksi mendadak ke Masjid Raya Baiturrahman. Tim itu dipimpin Ketua Komisi IV DPRA Anwar Ramli, didampingi Wakil Ketua Komisi IV Asrizal bersama beberapa anggota komisi yang membidangi pembangunan itu.
“Dalam pantauan kami, ada sejumlah kejanggalan dalam beberapa item proyek. Salah satunya pada payung elektrik. Kita temukan payungnya banyak sekali tempelan. Kita sudah tagih ke dinas, kenapa bisa seperti itu? Belum lagi lantai yang ubinnya tergenang air, banyak masalah,” kata Asrizal.
Asrizal lalu bercerita pengalamannya meninjau langsung Mesjid Agung Jawa Tengah (MAJT) pada 2016. Pembangunan payung elektrik telah menjadi sorotannya sejak dari masa pembuatan. Karena itu, Asrizal bersama teman-temannya dari Komisi IV DPRA mengadakan studi banding ke MAJT di Semarang. Hal itu untuk memastikan bagaimana kualitas dan ketahanan payung tersebut.
“Ternyata begitu kami sampai di sana, pengelola masjid setempat malah menyarankan sebaiknya kami tidak usah membangun payung. Kata mereka, biaya perawatannya besar sekali dan tidak sesuai dengan iklim daerah kita,” papar Asrizal.
Setelah pengerjaaannya rampung, sebut dia, hal yang perlu dipikirkan lagi menyangkut pembiayaan operasional payung. Menurut pengakuan panitia Masjid Agung Jateng, kisah Asrizal, kain payung yang terpasang sama sekali tidak memiliki garansi. “Harga pemasangan payung itu sekitar Rp260 juta. Kalau saya tidak salah, satu payung di sana mencapai sekitar Rp10,2 miliar. Di Aceh lebih mahal karena kualitas lebih baik dari MAJT,” tambahnya.
Karena itu, lanjut dia, dari sekarang Pemerintah Aceh perlu memikirkan alternatif pembiayaan yang mampu menopang operasional payung elektrik di masa mendatang. Belajar dari MAJT, di sana ada beberapa unit usaha yang keuntungannya dialokasikan untuk operasional masjid, tetapi tetap saja tidak mampu mengoperasikan payung tersebut.
“MAJT memiliki jasa penginapan dan pertokoan, serta sedekah umat yang melimpah. Namun, dengan unit usaha yang ada pun, biaya operasional sudah tidak tertanggulangi lagi. Biayanya besar sekali, sehingga payung tersebut kini terbengkalai begitu saja,” beber Asrizal.
Ia masih teringat saat berkunjung ke MAJT, tampak sebagian payung kainnya sudah pecah karena diterabas angin. Umumnya sudah tidak bisa dioperasikan lagi. “Payung lainnya jika ingin dibuka, maka perlu dipastikan kecepatan angin sejak satu jam sebelumnya, harus benar-benar stabil, karena waktu bukaannya mencapai 15-20 menit,” jelasnya.
Beberapa bulan berikutnya, Asrizal meninjau lokasi pembuatan payung elektrik MRB. Ia menyambangi langsung ke pabrik di kawasan Bekasi. Ternyata payung-payung yang didatangkan ke Aceh memang dirakit di situ. Sementara menurut pengakuan dari Quality Control (QC) PT Waskita Karya Aceh, Mulyadi, semua komponen payung—mulai penopang besi baja hingga sistem penggerak—diimpor dari Jerman. Nyatanya, hasil pantauan Komisi IV DPRA, kebanyakannya darai dalam negeri.
“Tadinya yang kita tahu juga demikian. Ternyata dari hasil pantauan, hanya beberapa item saja yang berasal dari Jerman, seperti pompa hidroliknya dan bahan kain payung. Sisanya, semua dari dalam negeri,” kata Asrizal, persis seperti yang tertera dalam dokumen kontrak kerja.
Mengenai kualitas payung tersebut, pihaknya memastikan seluruh komponen merupakan perangkat terbaru. Bahan-bahan yang diimpor dari Jerman itu merupakan barang pabrikan. Dalam kontrak juga menyebutkan spesifikasi teknis payung elektrik tersebut, misalnya sistem penggerak dengan merk Bosch Rexroth dan membran kain payung jenis hytex seberat 400 kg. “Bahan-bahan ini yang dipadu dengan besi dalam negeri, dirakit menjadi payung elektrik seperti yang kita lihat sekarang,” kata Asrizal.
Pernyataan tentang kualitas payung ini senada dengan yang disampaikan Mulyadi. QC Waskita ini sebelumnya mengatakan bahwa kualitas perangkat payung yang akan ia kerjakan ialah produk terbaru. Komponen-komponennya dinyatakan telah memenuhi syarat, setelah melalui sejumlah tahap uji. “Kita uji di Medan, di sana tersedia alat kalibrasi. Setelah itu, kita juga sudah uji di Laboratorium Unsyiah, hasilnya memenuhi syarat,” imbuh Mulyadi.
Untuk pembuatan payung sendiri, PT Waskita Karya menggandeng PT Megacipta Sentrapersada sebagai subkontraktor. Perusahaan inilah yang sebelumnya tercatat sebagai pembuat payung elektrik untuk Masjid Agung Jawa Tengah.
Namun, ada perbedaan pada ukuran kain payung. Dalam dokumen kontrak yang merincikan spesifikasi payung, terdapat dua jenis ukuran. Enam payung memiliki lebar 24×24 meter persegi dan enam payung selebar 15×15 meter persegi. Sedangkan yang kini terpasang di MRB, 12 payung itu memiliki ukuran dan lebar yang sama. “Saya juga baru tahu setelah berkunjung ke pabrik, ukurannya semua sama,” ujar Asrizal.
Sebagai pihak yang seharusnya melakukan pengawasan terhadap berbagai proyek pembangunan, kata Asrizal, Komisi IV DPRA tidak pernah menerima sepucuk surat pun dari Dinas Cipta Karya yang menyampaikan adanya perubahan lebar payung. “Padahal, perubahan ukuran payung tentu berpengaruh pada harganya, berimbas pada ketidaksesuaian dengan isi kontrak,” kata Asrizal.
Selain kualitas payung, Asrizal sempat mengkritik letak payung yang jaraknya tidak rapat. Keduanya terpisah, enam payung berada di sisi paling kanan dan enam lagi di kiri masjid. Menurutnya, semua payung tersebut seharusnya dirancang berdekatan posisinya, sehingga ketika dibentangkan mampu menutup area dan pengunjung bisa benar-benar teduh di bawahnya.
“Di masjid-masjid lain, baik di MAJT maupun Masjid Nabawi di Madinah, payung tampak terbentang rapat satu sama lain, sehingga menciptakan suasana yang benar-benar teduh,” kata Asrizal.
Terlepas dari berbagai kekurangan yang ada pada pembangunan Landscape dan Infrastruktur MRB, kata dia, pihaknya akan terus melakukan pemantauan. DPRA juga baru saja membentuk Pansus untuk masing-masing Dapil. Melalui Pansus, berbagai proyek tahun 2016 akan segera disorot ulang. “Kita lihat nanti apakah pembangunan di MRB telah transparan, tunggu saja hasil Pansus,” katanya.
Ia menyadari kritikan-kritikan terhadap pembangunan MRB sering disalahpahami sebagian orang. Kadang muncul anggapan bahwa kritikan itu ditujukan pada masjid. “Memang ini cukup sensitif.
Padahal bukan mencari kesalahan, tapi kita memang murni ingin yang terbaik untuk masyarakat. Apalagi pembangunan menyedot dana APBA cukup besar, maka harus dibangun dengan baik dan transparan,” sebut Asrizal.
Ia berharap, dengan dana yang dihabiskan ratusan miliar rupiah itu benar-benar dapat mempersembahkan produk yang terbaik dan membanggakan untuk rakyat Aceh. “Ini yang kita inginkan. Jangan sampai, dana tersebut terkuras sia-sia,” pungkasnya.[]
Belum ada komentar