“Hari ini, dengan bangga saya umumkan, bahwa perubahan PT Bank Aceh dari bank konvensional menjadi Bank Aceh Syariah, telah resmi mendapat persetujuan dari Otoritas Jasa Keuangan.”
Statmen itu disampaikan Gubernur Aceh pada Sabtu, 6 Agustus 2016. Seluruh unsur pimpinan dan karyawan PT Bank Aceh Syari’ah, serta para undangan yang memadati sisi barat halaman depan Meuligoe Gubernur Aceh, langsung menyambut dengan tepuk tangan suka cita atas pengumuman perubahan sistem operasional PT Bank Aceh dari sistem konvensional menjadi sistem syar’iah.
Dalam soft launching tersebut, Gubernur Aceh sempat memuji kinerja direksi Bank Aceh yang disebutnya telah mampu menjadi yang terdepan dalam mendukung aktivitas pemberdayaan ekonomi masyarakat di Aceh. Bahkan, di tengah perekonomian nasional yang melambat pada tahun lalu, PT Bank Aceh tetap mampu meningkatkan kinerjanya dalam mendukung perekonomian daerah.
Menurut gubernur, bukan tanpa alasan ia menyatakan bahwa Bank Aceh berkontribusi bagi pembangunan perekonomian nasional. Data yang disampaikan oleh Direktur Utama PT Bank Aceh, Busra Abdullah, telah menercerminkan kinerja bank yang cukup baik.
“Hingga periode Juni 2016, pencapaian aset PT Bank Aceh sudah mencapai Rp20,78 triliun. Sementara perolehan laba sebelum pajak untuk semester pertama tahun 2016 telah mencapai Rp308 miliar, dan realisasi penyaluran kredit kepada sektor usaha pada semester pertama Juni 2016 sudah meningkat menjadi sebesar Rp12,89 triliun,” ungkap Busra dalam rilis yang dikirim Humas Pemerintah Aceh, 7 Agustus lalu.
Namun, benarkah Bank Aceh ikut mendukung menggerakkan perekonomian dengan menyalurkan kredit kepada sektor usaha mencapai Rp12 triliun? Berdasarkan neraca keuangan Bank Aceh hingga semester pertama tahun ini, kredit UMKM hanya mendapat kucuran sebesar Rp732.713 miliar. Sedangkan kredit properti hanya Rp214,154 miliar. Angka tersebut tak lebih dari Rp1 triliun.
Jumlah kredit UMKM 2016 juga menurun dari tahun 2015, dimana per Juni tahun lalu mencapai Rp763,4 miliar. Begitu pula kredit properti yang juga turun dari sebelumnya Rp316,7 miliar.
Hal ini berbanding terbalik dengan kredit konsumtif atau kredit pegawai. Bila dibandingkan dengan pemberian kredit UMKM, kredit konsumtif mengalami kenaikan. Pada periode semester pertama 2015 lalu, kredit konsumtif “hanya” Rp10,4 triliun. Sementara pada tahun ini, mencapai Rp11,2 triliun.
Minimnya perhatian Bank Aceh kepada sektor usaha menjadi sorotan Lembaga Kajian Institute for Development of Acehnese Society (IDeAS), sebuah lembaga kajian anak muda Aceh yang concern pada kajian seputar dinamika sosial, ekonomi, dan politik.
Menurut Direktur IDeAS Munzami Hs, sebagai bank plat merah yang sahamnya dimiliki oleh Pemerintah Aceh beserta 23 kabupaten/kota, seharusnya Bank Aceh memposisikan diri sebagai motor penggerak ekonomi masyarakat Aceh. “Namun, yang dijalankan Bank Aceh tidak sesuai harapan,” katanya.
Sementara realita di masyarakat Aceh, terutama masyarakat menengah ke bawah, banyak masyarakat terjerat dengan kredit bank, baik itu pedagang, petani, nelayan, dan profesi lainnnya. Mulai dari kredit rumah, modal usaha, hingga kredit sepeda motor.
“Terkait dengan kredit modal usaha masyarakat untuk sektor mikro atau UMKM, kita melihat kebanyakan masyarakat saat ini banyak yang terjerat dengan kredit dari Lembaga Pembiayaan Non Bank, seperti Adira Finance, Mandala Finance, FIF, PNM, dan sejenisnya,” beber Munzami.
Dia menerangkan, suku bunga yang ditawarkan oleh lembaga finance sangat tinggi, bahkan ada yang sampai 30 persen lebih per tahunnya. Namun masyarakat lebih akrab dengan lembaga finance, terutama karena proses kreditnya mudah dan cepat, walaupun akan meninggalkan banyak masalah di kemudian hari.
“Di sinilah seharusnya peran Bank Aceh sebagai bank milik rakyat untuk menggenjot roda ekonomi masyarakat Aceh, mempermudah akses bagi masyarakat yang ingin mengajukan kredit usaha. Bukan malah memperbesar penyaluran kredit konsumtif untuk PNS,” sebut Munzami.
Diakuinya, pengucuran kredit konsumtif kepada para PNS memang tidak salah secara aturan. Namun, kebijakan ini terkesan mengambil posisi aman ketimbang mengambil peran dalam mendongkrak perekonomian Aceh. Sementara Bank Aceh yang notabene Bank Pembangunan Daerah malah tidak berani bermain di sektor UMKM.
Para pemegang saham juga dinilainya tak pernah bersuara melihat kondisi tersebut. Sepertinya Gubernur Aceh dan para bupati/walikota di Aceh memang ‘tutup mata’ atas praktik-praktik yang dijalankan direksi bank plat merah tersebut.
“Meningkatkan komposisi kredit untuk modal usaha sektor UMKM harus menjadi perhatian serius dari pihak manajemen Bank. Bila perlu, para stakeholder pemegang saham, gubernur dan bupati/walikota membuat kebijakan terkait alokasi kredit bantuan modal usaha bagi masyarakat Aceh yang penyalurannya melalui Bank Aceh,” terangnya.
Kondisi ini, disebut Munzami, menunjukkan direksi Bank Aceh mengabaikan tujuan utama pembentukan bank itu. Dalam Peraturan Daerah No.12 Tahun 1963 sebagai landasan hukum berdirinya Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh ditegaskan, maksud pendirian Bank Pembangunan Daerah Istimewa Aceh adalah untuk menyediakan pembiayaan bagi pelaksanaan usaha-usaha pembangunan daerah dalam rangka pembangunan nasional semesta berencana.
“Kondisi sosial ekonomi masyarakat Aceh saat ini sangat lesu dan roda ekonomi masyarakat stagnan, ditambah lagi harus terjerat dengan kredit dengan suku bunga tinggi dari lembaga pembiayaan,” ujar jebolan Fakultas Ekonomi Unsyiah ini.
Kondisi tingginya angka kemiskinan dan pengangguran di Aceh, lanjut dia, seharusnya mendapat perhatian serius dari pemerintah. “Dibutuhkan pembinaan dan pemberdayaan untuk peningkatan ekonomi masyarakat, salah satunya dengan merangsang masyarakat untuk berwirausaha, bertani, berkebun, dan sebagainya. Tentunya harus didorong dengan adanya support bantuan modal usaha,” sebutnya.
Sebagai pemegang saham Bank Aceh, kata dia, Pemerintah Aceh dan pemerintah kab/kota harus melakukan evaluasi kinerja manajemen Bank Aceh agar menjadi motor penggerak ekonomi rakyat. “Alokasi penyaluran kredit untuk sektor UMKM harus ditingkatkan. Tentunya dibarengi dengan adanya pembinaan UMKM oleh pemerintah agar persoalan kredit macet dapat diminimalisir dan tidak lagi menjadi alasan bagi manajemen bank kalau kredit modal usaha untuk UMKM rawan macet,” sebut Munzami.
Menurut dia, kondisi saat ini Bank Aceh sama sekali tidak mengambil peran dalam mendongkrak perekonomian masyarakat Aceh. Sebagai bank milik pemerintah daerah, seharusnya berdiri di garda depan mendukung pertumbuhan ekonomi Aceh dengan memperbesar porsi kredit di sektor UMKM.
“Sederhananya, Bank Aceh didirikan dengan tujuan mengumpulkan dana dari masyarakat dan disalurkan kembali dalam bentuk kredit kepada pelaku usaha di Aceh. Namun, yang dipraktikan sekarang justru sebaliknya,” tandasnya.[]
Belum ada komentar