Konversi Bank Aceh dari konvensional ke syariah masih setengah hati. Terkesan ragu-ragu dan belum terbebas unsur riba.
Jalan panjang pembentukan Bank Aceh Syariah secara mandiri menjadi isu menarik selama beberapa tahun terakhir di Aceh. Merujuk literatur sejarah, Unit Usaha Syariah yang kemudian dikenal sebagai Bank Aceh Syariah baru didirikan pada 28 Desember 200—terpaut 43 tahun—sejak Bank Aceh berdiri. Atau setidak-tidaknya, Unit Usaha Syariah Bank Aceh terpaut sembilan tahun dari pendirian bank syariah pertama di Indonesia yaitu Bank Muamalat.
Harapan masyarakat Aceh tentang perlunya konversi Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah menjadi kenyataan dengan pencabutan Qanun Nomor 4 tahun 2014 tentang Pembentukan Bank Aceh Syariah melalui Spin Off oleh Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA).
Pada 19 September 2016, Bank Aceh yang dulunya dikenal dengan sebutan Bank Pembangunan Daerah (BPD) telah resmi bersistem syariah. Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengeluarkan izin operasional perubahan kegiatan usaha Bank Aceh menjadi Bank Aceh Syariah. Konversi ke sistem syariah ini sudah diputuskan sekira setahun lalu, tepatnya pada Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) Luar Biasa pada 25 Mei 2015. Kala itu, seluruh pemegang saham yang didukung para ulama dan tokoh masyarakat Aceh menyepakati secara bertahap PT Bank Aceh mengubah sistem manajemennya ke sistem syariah.
Namun, keputusan tersebut disebut sejumlah kalangan tak disertai dengan antisipasi yang baik. Dari sisi aturan, Bank Aceh Syariah dalam posisi terancam krisis likuiditas bila terjadi penarikan besar-besaran. Meski sebelumnya Gubernur Aceh Zaini Abdullah telah menyerahan surat jaminan penyertaan modal jika terjadi krisis likuiditas, namun surat tersebut dinilai tak memiliki kekuatan hukum. Ini dikarenakan gubernur tidak bisa serta merta megucurkan kas daerah untuk memberi talangan kepada Bank Aceh tanpa persetujuan DPRA.
Dalam hal ini, DPRA setelah mencabut qanun spin off sehingga tak ada lagi qanun yang mengatur menyangkut kinerja Bank Aceh Syariah. Pencabutan itu dinilai begitu riskan karena lemahnya antisipasi eksekutif dan legislatif memproteksi berbagai resiko yang mungkin terjadi dengan masa depan Bank Aceh Syariah.
Apalagi, jauh-jauh hari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengingatkan pelaku industri perbankan syariah tetap berhati-hati dalam menyalurkan pembiayaan dan tidak terlena dengan penurunan rasio pembiayaan bermasalah (NPF). Pasalnya, risiko kredit bermasalah meningkat seiring dengan perlambatan ekonomi global dan domestik.
NPF bruto industri perbankan syariah per Juli 2016 tercatat sebesar 4,81 persen, turun 8 basis poin jika dibandingkan dengan posisi bulan yang sama tahun lalu yakni 4,89 persen. Angka tersebut lebih tinggi jika dibandingkan dengan rasio kredit bermasalah bank umum konvensional yang hanya 3,18 persen per Juli 2016.
Selain itu, Bank Aceh yang belum menerapkan prinsip mudharabah secara murni meskipun sudah berganti baju menjadi syariah, patut disayangkan. Berbagai aktivitas bank ini masih menganut sistem konvensional yang disebut para pengamat adalah sistem Yahudi.
Meski begitu, sejumlah kalangan menaruh harapan besar pada bank ini memperbaiki diri hingga benar-benar berprinsip syariah. Bukan sekedar ganti kulit, namun masih mempraktikkan sistem pembiayaan Yahudi.[]
Belum ada komentar