Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengkategorikan Bank Aceh sebagai bank konsumtif yang hanya mengandalkan penempatan uang pemerintah daerah. “Bank Aceh masih dikategorikan sebagai bank bertahan. Untuk menghidupi bank, cuma mengandalkan dana pemerintah yakni Anggaran Pendapatan Belanja Aceh (APBA),” ujar Rizki Oddie Putro Sitompul, Manajer Pengawas Bank OJK Provinsi Aceh.
Menurut dia, hal itu dikarenakan keterbatasan Sumber Daya Manusia (SDM) yang dimiliki Aceh. “Kami melihat Bank Aceh saat ini masih ketergantungan dana dari Pemerintah Aceh, sehingga perputaran uang juga sangat lamban disertai pengembangan ekonomi lemah,” kata Rizki.
Menyangkut pemberian kredit konsumtif Bank Aceh mencapai Rp11 triliun, Rizki menduga hal itu dilakukan untuk mencegah resiko bank tersebut bangkrut. Namun, kata dia, OJK terus mendorong menyalurkan dana ke UMKM sesuai dengan kemampuan. “Kita berharap, ada perbaikan kinerja dari setiap pelaku UMKM di setiap daerah untuk terus mendongkrat ekonomi di daerahnya masing-masing,” ujarnya.
Ia menuturkan, tidak dibenarkan seorang debitur dari kalangan PNS meminjam uang dengan nilai tertentu yang kemudian setiap bulannya ia harus menyetor kredit sejumlah gaji yang diterimanya. “Sesuai aturannya, besar pemotongan kredit berkisar 30 persen dari Take Home Pay (THP),” katanya.
Berdasarkan Peraturan Bank Indonesia No.17/12/PBI/2015 tanggal 25 Juni 2015 tentang Perubahan atas Peraturan BI No.14/22/PBI/2012 tentang Pemberian Kredit atau Pembiayaan oleh Bank Umum dan Bantuan Teknis dalam rangka Pengembangan UMKM menjelaskan, mulai tahun 2015 jumlah pemberian kredit UMKM sebesar 5 persen dari jumlah alokasi kredit bank tersebut.
Pada 2016, jumlah penyaluran kredit UMKM harus 10 persen dari jumlah penyaluran kredit. Kemudian meningkat pada tahun 2017 menjadi 15 persen dan untuk 2018 itu sebesar 20 persen dari jumlah kredit yang disalurkan bank. “Artinya, pada tahun depan Bank Aceh harus menyalurkan kredit UMKM minimal 10 persen dari jumlah kredit yang disalurkan bank tersebut,” tegas Rizki.
Pria asal Sumatra Utara ini menjelaskan, peran OJK adalah untuk mengecek akuntasi bank, termasuk Bank Aceh. Sebutnya, tingkat keberhasilan pelaporan keuangan itu dapat diukur dengan pedoman yang diterapkan di bank tersebut, namun tetap harus mengacu dengan SOP yang berlaku.
“Secara keselurah, Bank Aceh termasuk bank yang bagus untuk tingkat pelaporan,” katanya. Namun, lanjut dia, aturan ini hanya berlaku di kantor pusat Bank Aceh dan pelaporannya tidak diterapkan di kantor cabang seluruh Aceh.
Dengan kewenangan OJK sesuai UU Nomor 21 Tahun 2011 tentang Otoritas Jasa Keuangan, papar Rizki, OJK bertugas melindungi uang nasabah dan melakukan pengawasan rutin serta melakukan tindak lanjut setiap permasalahan bank.
OJK juga memperhatikan praktik-praktik dijalankan bank yang dapat merugikan keuangan nasabah. “Semua masalah tersebut akan ditindaklanjuti,” pungkas Rizki.[]
Belum ada komentar