Kelemahan regulasi pengelolaan infak di Baitul Mal Aceh terus dipertahankan. Upaya mengelabui harta agama?
“Saya sudah ingatkan Pak Armiadi melalui surat, tetapi tidak digubrisnya.” Suara Drs H Amrullah (73) meninggi, seraya menunjukkan kopian selembar surat kepada Pikiran Merdeka.
Surat bersifat penting/segera tertanggal pada 22 Februari 2016 yang dipegangnya itu ditujukan kepada Kepala Baitul Mal Aceh Dr Armiadi Musa MA dengan perihal “Selamatkan Baitul Mal Aceh dari manipulasi hukum akibat penafsiran sesat”, yang ditembuskan kepada Gubernur Aceh, pimpinan DPRA, Sekda Aceh dan sejumlah instansi terkait lainnya.
Dari rumahnya di Jalan Pari No.20, Lampriet, Banda Aceh, mantan Kepala Baitul Mal Aceh era Plt Gubernur Azwar Abu Bakar dan Irwandi Yusuf itu mengungkapkan kejanggalan di lembaga pengelolaan zakat Aceh saat ini.
Pada pendahuluan surat itu, Amrullah mempertanyakan hasil audit laporan keuangan Zakat Infak Sedekah (ZIS) pada 2014. Kemudian realisasi pengeluaran zakat oleh Baitul Mal Aceh per 22 Desember 2015 yang dimuat satu halaman penuh di salah satu koran harian lokal di Aceh pada 23 Desember 2015.
“Saya pertanyakan apa sudah sesuai ketentuan yang berlaku atau tidak, begitu juga pernyataan Pak Armiadi yang menyebutkan, infaq bukan PAD sehingga mudah disalurkan karena tidak memerlukan pembahasan DPRA,” jelasnya.
Amrullah memahami betul landasan hukum dan tata cara pengelolaan infak, karena ia termasuk orang yang meletakkan dasar bagi perkembangan Baitul Mal di seluruh Aceh. Sangat wajar baginya menyoroti ketika ada kebijakan pengelolaan zakat yang mulai melenceng dari jalur sesungguhnya.
Amrullah menjabat Kepala Badan Baitul Mal Aceh sejak 2005 hingga awal 2011 yang digantikan dengan Martin Deski. Ia pensiunan Asisten IV Setda NAD pada masa Gubernur Abdullah Puteh dan pernah menjabat Kepala Dispenda (Dinas Pendapatan Daerah) Aceh di era Gubernur Syamsuddin Mahmud, sehingga membuatnya sangat menguasai aturan pengelolaan keuangan dan strategi menggenjot pendapatan daerah.
Bahkan Plt Gubernur Aceh Azwar Abubakar saat Aceh porak-poranda akibat tsunami, langsung menunjuk Amrullah menahkodai Badan Baitul Mal Aceh. Saat itulah perjuangan badan amil zakat Aceh dimulai.
Amrullah secara suka rela menyulap dua pintu ruko miliknya di kawasan Peurada sebagai Kantor Badan Baitul Mal Aceh. Dari eks ruko itu, badan pengelola zakat Aceh perlahan merangkak dan bangkit dalam mengumpulkan zakat. Sejumlah pemuda pun direkrut menjadi staf untuk mendongkrak pengumpulan harta agama.
Amrullah juga berhasil meyakinkan Azwar Abubakar menggolkan gagasannya mengutip infak setengah persen dari setiap proyek pemerintah bernilai di atas Rp20 juta.
“Setelah dikeluarkan Ingub 13/2015, pada akhir 2015 infak langsung terkumpul Rp5 miliar, padahal zakat saat itu tidak sampai Rp2 miliar,” jelasnya.
Belum ada komentar