Beberapa keluarga di Gampong Alue Dua Muka 0, Aceh Timur, menetap di rumah tak layak huni. Mereka menanti uluran tangan pemerintah.
Pintu rumah panggung setinggi setengah meter itu menghadap ke laut. Ada dua anak tangga dari balok kayu berdiri miring di depan pintu. Di dekatnya, ada sepeda anak-anak warna hijau muda. Di sisi kanan rumah, dua tong air tertutup plastik.
Dinding depan rumah ukuran 5×4 meter itu hanya memakai tepas bambu. Kontras dengan dinding sisi kanan yang tertutup papan. Sementara atapnya menggunakan anyaman daun rumbia.
Masuk ke dalam rumah, suara cericit terdengar ketika memijak lantai yang terbuat dari bilah-bilah bambu. Rak piring yang berdiri tak jauh dari pintu ikut bergoyang ketika lantai tersebut dipijak.
Tata letak rumah mungil itu tak rumit. Bahkan sejak pintu depan dibuka, hampir seluruh isi rumah kelihatan hingga ke pintu belakang. Termasuk, dapur mungil yang hanya dibatasi selembar kain usang. Fungsi kain itu seperti menjadi pembatas dengan kamar tidur dan meja makan.
Itu, terdapat juga sebuah kamar berukuran sekitar 3×3 meter. Kamar ini dipisahkan dinding dari anyaman bambu yang telah usang. Celah-celah dinding bambu itu kian membesar dan mulai lapuk.
Rumah sederhana yang reot itu jaraknya sekitar 15 menit dari Idi, ibu kota Kabupaten Aceh Timur. Berdiri di atas sebidang tanah dengan pohon-pohon yang teduh, untuk sampai di tempat tersebut, mesti melewati hektaran tambak. Jika melihat dari jauh, rumah itu seperti berada di oase yang dikepung lahan tambak.
rumah itulah, Nasruddin, 33 tahun, telah lima tahun tinggal. Di situ, ia melanjutkan hidup menghidupi istrinya, Darmiati, 25 tahun, serta kedua buah hati mereka yang masih balita, Muhammad Al Fahri dan Safriya Nurhaliza.
Saat Pikiran Merdeka menyambangi rumah tersebut, Rabu pekan lalu, Nasruddin terlihat sedang bergegas. Rupanya, ia hendak mengecek tambak. Sehari-hari, ia menjaga tambak milik seorang warga setempat. Tambak itu letaknya hanya 10 meter dari rumah.
Begitu melihat ada tamu datang, langkahnya terhenti. Spontan ia menjawab salam dari Pikiran Merdeka yang didampingi Keuchik Gampong Alue Dua Muka 0, Tarmizi. Ia lalu menyilakan masuk. Tak lama, istri dan kedua anak Nasruddin ikut datang menemani.
Secara administratif, rumah tersebut berada di Dusun Setia Budi, Gampong Alue Dua Muka O, Kecamatan Idi Rayeuk. Nasruddin bercerita, bertahun-tahun ia dan keluarganya mengalami beragam tantangan saat menghuni rumah tersebut.
Bila angin kencang datang, rumah yang telah miring tersebut akan bergoyang. Jika hujan mengguyur, Nasruddin dan istrinya harus selalu menyediakan timba untuk menampung air yang dengan gampang masuk lewat atap bocor.
Walaupun kondisi rumah kian memburuk, Nasruddin dan keluarganya harus tetap bertahan. Mereka tidak punya rumah lain. Setidaknya, kata Nasruddin, ia dan keluarganya bisa beristirahat dan berlindung dari dinginnya angin pantai. “Menjalani hidup sajalah, ngapain kita mengeluh. Meski begitu, kami selalu mengharapkan adanya bantuan, minimal bedah rumah,” ujar Nasruddin.
Harapan itu dilontarkan Nasruddin karena upahnya sebagai penjaga tambak tak cukup untuk memperbaiki rumah tersebut. Upahnya pun dihitung dengan persentase hasil panen bandeng. Setelah dikurangi modal oleh pemilik tambak, barulah dari keuntungan bersih itu Nasruddin mendapat penghasilan sekitar 30 persen.
Panen biasanya lima atau enam bulan sekali. Jika dihitung, sebulan Nasruddin memang bisa mengantongi sejuta rupiah. Upah itu digunakan untuk membeli air tawar karena di tempat itu airnya asin dan tak bisa dikonsumsi. “Belum lagi habis untuk kebutuhan sehari-hari seperti membeli susu anak, popok dan bahan pangan lainnya. Mana mungkin dengan jumlah segitu mampu membangun rumah layak huni seperti warga lainnya,” ujar Nasruddin.
Kendati demikian ia dan istrinya tak pernah putus asa mengais rejeki. Itu semua dilakukannya untuk membesarkan anak-anaknya tumbuh layaknya anak-anak lain. “Hingga mereka bisa bersekolah dan mengaji dan menggapai cita-cita nanti,” ujarnya.
Nasruddin berharap Pemerintah Aceh Timur tergerak hati untuk membantunya mewujudkan rumah layak huni. Apalagi, setahu Nasruddin, di gampong-gampong lain, Pemerintah Aceh Timur telah membantu warga miskin seperti dirinya untuk mendapatkan rumah layak huni. Jika pun ada masyarakat yang mau membantu, ia akan senang hati menerimanya. “Siapa yang tidak mau hidup layak, semua pasti menginginkan hal itu. Termasuk kami sekeluarga. Setidaknya bisa lebih nyaman untuk masa pertumbuhan anak-anak kami,” ujar Nasruddin pilu.
Kini, di tengah terpaan angin yang datang menyusup dari celah dinding rumah, sembari meninabobokkan anaknya, Nasruddin tetap tak putus menjalani hari-harinya. “Meski sekarang hidup kami sangat memprihatikan, namun selalu bersyukur atas nikmat yang telah diberikan Allah.”
Pencari Kepiting Dambakan Rumah Layak
Di Gampong Alue Dua Muka O, selain Nasruddin, ada juga Ibrahim yang tinggal di rumah tak layak huni. Pria 42 tahun ini hidup sebatang kara di sebuah rumah berdinding papan. Ia tak punya anak dan istri.
Rumah Ibrahim berada di sepetak lahanyang ditumbuhi kelapa, pisang dan pinang. Rumahnya yang berukuran sekitar 5×6 meter memang beratap seng. Namun, kata Ibrahim, sebagian atapnya telah bocor.
Ibrahim berharap bisa mendapatkan bantuan rumah layak huni. Ia tak mampu membangun sendiri. Saban hari, ia bekerja sebagai pencari kepiting untuk mencukupi kebutuhan hidupnya. Pendapatannya bervariasi. Kadang ia memperoleh Rp15 ribu dari pekerjaannya itu. Di lain hari, jika hasil banyak bisa mengantongi Rp35 ribu dari hasil menjual kepiting.
Ibrahim tidak bisa bekerja layaknya orang kebanyakan. Tangan kanannya lumpuh saat konflik Aceh dulu. Tidak jelas penyebabnya.
Saat dijumpai Rabu pekan lalu, Ibrahim sedang mencuci pakaian di sumur milik meunasah gampong. Lantaran tangan kanannya tidak berfungsi maksimal berfungsi, ia menyikat pakaian dengan tangan kiri. “Penghasilan saya pas-pasan, kadang untuk kebutuhan makan saja tidak ada. Hanya beras raskin bantuan pemerintah. Bantuan lain belum pernah saya dapatkan,” ungkapnya.
Keuchik Alue Dua Muka 0, Tarmizi mengatakan sebenarnya di gampong itu masih ada beberapa warga lagi yang tinggal dalam rumah tak layak huni. Sementara, jumlah penduduk gampong hanya 68 Kepala Keluarga. Mayoritas warga bekerja sebagai nelayan dan buruh tambak.
Harapan serupa juga diungkapkan Tarmizi. Ia sebenarnya telah mengusulkan bantuan rehabilitasi maupun pembuatan rumah layak huni kepada pemerintah kabupaten. “Sebagian sudah saya usulkan melalui TKSK, bahkan Sekdes bersama TKSK sudah melakukan survei ke gampong. Belum ada realisasi dari Pemerintah sampai saat ini,” ungkap Tarmizi.[]