Tolak-tarik kepentingan antara Pemerintah Aceh dan DPRA semakin memperlambat pengesahan APBA 2018. Lagi-lagi, kepentingan publik dikorbankan.
Nasib Rancangan Anggaran Pendapatan Aceh (RAPBA) 2018 tidak jauh-jauh dari prediksi banyak pihak. Untuk kesekian kalinya, pengesahan anggaran tahunan Aceh ini terlambat seperti tahun-tahun sebelumnya. Hingga di penghujung akhir 2017, pembahasan Kebijakan Umum Anggaran (KUA) dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (PPAS) 2018 sebagai salah satu tahap dalam penyelesaian RAPBA, masih belum juga tuntas.
Molornya pembahasan RAPBA 2018 ini disinyalir akibat kuatnya tarik ulur kepentingan, baik eksekutif maupun legislatif. Saat disorot publik, kedua pihak hanya ‘berbalas pantun’ di media massa. Akhir Desember lalu, Jumat (29/12), lembaga IDeAS bekerjasama dengan Jurusan Ekonomi Pembangunan Unsyiah berhasil mempertemukan pihak Pemerintah Aceh dan DPRA dalam sebuah diskusi publik di balai sidang Fakultas Ekonomi dan Bisnis Unsyiah.
Secara regulasi, pembahasan anggaran tahunan ini tentu tak lepas dari sejumlah peraturan yang melandasinya. Selain Undang-Undang Nomor 25 Tahun 2004 mengenai sistem perencanaan nasional, juga memiliki Undang- Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah dan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah. Bahkan secara khusus, Aceh melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) juga mengatur acuan dalam penanganan anggaran.
Setiap regulasi tersebut mengatur mekanisme pangaggaran dan pembangunan daerah secara komprehensif, yang kemudian diturunkan dalam Peraturan Pemerintah Nomor 8 Tahun 2008 tentang Tahapan, Tata Cara Penyusunan, Pengendalian dan Evaluasi Pelaksanaan Rencana Pembangunan Daerah. Kementerian Dalam Negeri saban tahun menerbitkan peraturan tentang ini.
Untuk tahun ini, Mendagri menerbitkan Permendagri Nomor 32 Tahun 2017 perihal Penyusunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah (RKPD) Tahun 2018. RKPD merupakan dokumen perencanaan daerah untuk periode 1 (satu) tahun. Regulasi ini jadi petunjuk teknis untuk penyusunan RAPBA di Aceh. Dalam aturan tersebut ditetapkan bahwa RKP Nasional seharusnya sudah disahkan bulan Mei.
![](https://www.pikiranmerdeka.co/wp-content/uploads/2018/01/IMG-20170724-WA0004.jpg)
Masalahnya kemudian, menurut Sekretaris Bappeda Aceh Zulkifli, Permendagri ini sendiri baru terbit pada bulan Juni 2017. Sementara itu Pemerintah Aceh telah menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) satu bulan sebelumnya. Kala itu, Bappeda tengah menyusun rancangan akhir RKPA untuk segera di-Pergub-kan pada bulan Mei.
Menurut dia, yang membuat pengesahan RKP Aceh molor, lantaran RKP Nasional nyatanya baru ditetapkan pada 8 Agustus. “Sedangkan RKP untuk daerah baru bisa ditetapkan setelah RKP Nasional rampung, artinya rencana untuk mem-pergubkan pada bulan Mei, jadi molor karena saat itu kita harus menunggu RKP Nasional,” katanya dalam diskusi bertema ‘Mendorong Percepatan Pembahasan RAPBA 2018’ itu.
Pihaknya pun mengambil jalan tengah, yakni dengan mempedomani pasal 3 ayat (1) bahwa jika RKP nasional belum ditetapkan, daerah diperbolehkan mengacu pada arah kebijakan pembangunan nasional Tahun 2018 yang dimuat dalam rancangan RKP nasional tahun 2018 dari Bappenas. “Sebenarnya bisa seperti itu, hanya saja karena di pusat belum selesai RKP, daerah pun sempat tergiring seperti itu,” katanya.
Tak kalah menarik, mengenai visi-misi Gubernur Aceh yang sempat disebut-sebut belum tertera dalam RKPA. Karena itu pula sejumlah pihak menyebut dokumen KUA PPAS yang pernah diserahkan Pemerintah Aceh ke DPRA 1 Agustus lalu ilegal. Pasalnya, dokumen KUA PPAS 2018 dianggap sama sekali belum memuat visi-misi Irwandi-Nova.
“Ini yang bikin kita berbalas pantun di media, padahal KUA PPAS adalah turunan dari RKP,” sebut Zulkifli.
Menurutnya, di akhir masa kepemimpinan Zaini Abdullah sebagai Gubernur Aceh, pada bulan Juni RKP Aceh sudah ditetapkan. Saat itu Irwandi belum dilantik. Namun dia sudah berdiskusi membahas hal ini dengan Zaini dan memberi sejumlah masukan berkenaan dengan 15 program unggulannya. Irwandi pun menyarankan agar RKP tersebut segera dipergubkan meski pemerintah belum melantiknya.
“Sebelum Irwandi dilantik, tim TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh) dimana saya sendiri termasuk di dalamnya ikut dengan pak gubernur, kita menyampaikan RKP ini dan berdiskusi panjang dengan pak Irwandi,” tambahnya.
Tak lama setelah itu, Zaini Abdullah sempat menerbitkan Pergub Nomor 40 tahun 2017 tentang RKPA 2018. Namun, seperti yang pernah Irwandi janjikan saat pertemuan dengan Zaini, belakangan setelah pelantikan gubernur baru, Irwandi merevisi RKPA tersebut menjadi Pergub Nomor 44 Tahun 2017.
Dalam penyusunan RKP Aceh, Zulkifli melanjutkan, jika Rencana Pembangunan Jangka Menengah (RPJM) belum ada, bukan berarti RKP dan KUA PPAS 2018 tidak bisa digunakan. Dia lalu merincikan, ada sekurang-kurangnya empat peraturan yang mengatur kewenangan ini. Salah satunya Qanun Nomor 13 tentang RPJM Aceh periode 2012-2017.
“Dalam aturan jelas disebutkan jika RPJM belum selesai, RPJM 2012-2017 bisa dijadikan landasan untuk menyusun RAPBA 2018,” katanya menguatkan.
Ditambah lagi, dalam Pasal 8 ayat (1) Permendagri Nomor 32 Tahun 2017 dijelaskan, penyusunan RKPD Tahun 2018 bisa mempedomani arah kebijakan dan sasaran pokok RPJP, program prioritas nasional dalam RKP, serta program strategis nasional yang ditetapkan oleh Pemerintah dan memperhatikan visi, misi, serta program kepala daerah terpilih.
Pergub 44 Tahun 2017 ini kemudian menjadi acuan dokumen KUA PPAS 2018. “KUA PPAS pun yang menandatangani kan Gubernur Irwandi sendiri, jadi kalau dikatakan belum mengakomodir visi misi nya tentu secara logis Irwandi tidak akan tandatangan. Apalagi yang menyerahkannya ke Banggar saat itu adalah Wagub Nova Iriansyah,” papar Zulkifli.
TUNGGU PENYESUAIAN
Meski Pemerintah Aceh meyakinkan bahwa KUA PPAS 2018 telah mengakomodir visi-misi Gubernur Irwandi dan Wakil Gubernur Nova Iriansyah, lain halnya dengan DPRA. Dalam diskusi publik, Jumat (29/12) lalu, anggota Badan Anggaran DPRA Murdani Yusuf mengatakan pihaknya sama sekali tidak menolak dokumen KUA PPAS yang pernah diserahkan wakil gubernur pada Agustus lalu. Hanya saja, banyak hal mendasar yang bahkan belum tertera di dokumen itu sehingga TAPA perlu menyesuaikannya kembali.
![](https://www.pikiranmerdeka.co/wp-content/uploads/2018/01/unnamed-5.jpg)
“Kalau kita dikatakan menolak karena tidak ada RPJM, tentu tidak. Lha, di APBA-Perubahan tahun 2017 saja kita mengakomodir visi-misi pak gubernur. Coba lihat Aceh Teuga, belum ada RPJM-nya, hanya bermodal visi misi kampanye saja, tapi perhelatan Solidarity Cup tetap terlaksana,” kata Murdani.
Dokumen RPJM hingga kini masih berbentuk rancangan akhir. Murdani pun menyadari bahwa menunggu pengesahan Qanun RPJM butuh waktu lama. Namun, ia menyayangkan jika gubernur merujuk pada RPJM pemerintahan sebelumnya. Menurut dia, rancangan akhir RPJM yang telah diserahkan ke DPRA sudah mengakomodir visi-misi dan program pemerintahan yang baru.
“Kita sebenarnya tak terlalu masalah merujuk RPJM yang mana, tapi pemerintah sebenarnya bisa menyesuaikan KUA PPAS dengan rancangan akhir RPJM yang baru ini, meski belum jadi qanun,” tambah Wakil Ketua Komisi III DPRA ini.
DPRA semula telah membahas dokumen KUA PPAS yang diserahkan Pemerintah Aceh. Namun, di bulan Oktober saat dokumen itu dibahas, ia mendapati isinya masih belum memenuhi standar. “Kami tidak jadi bahas, karena KUA PPAS 2018 itu banyak hal tidak terakomodir, maka kita berkomunikasi dengan TAPA, minta langung ke gubernur untuk diperbaiki. Tapi sepertinya tidak jalan komunikasi dengan orang-orang di bawah beliau,” ujarnya.
Adapun sejumlah hal yang tidak terakomodir dalam dokumen KUA PPAS 2018, ia menguraikan beberapa contoh, seperti Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 18 Tahun 2017 tentang tunjangan transportasi dewan dan Peraturan Menteri Keuangan terkait kelayakan gaji pegawai negeri. Kedua aturan ini belum ada di dokumen KUA PPAS 2018.
“Yang rutin ini saja belum termaktub di dalam dokumen tersebut, ada beberapa aturan baru maka perlu penyesuaian, kami terus menunggu,” kata dia.
Awal tahun 2018, keterlambatan APBA ditanggapi dengan aksi demo. Puluhan mahasiswa yang tergabung dalam Pengurus Wilayah Kesatuan Aksi Mahasiswa Muslim Indonesia (PW KAMMI) Provinsi Aceh, Kamis (4/1), menggelar demonstrasi di depan gedung DPR Aceh. Mereka mendesak pihak Pemerintah Aceh dan DPRA segera membahas Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh (APBA) tahun 2018.
Koordinator aksi Ridho Rinaldi mengatakan, terlambatnya pengesahan APBA 2018 kian menjadi catatan buruk yang diwariskan pemerintah setiap tahunnya kepada rakyat Aceh. “Ini menunjukkan eksekutif dan legislatif tidak mampu membahas dan menetapkan APBA 2018 sebesar Rp14 triliun sesuai waktu yang telah ditetapkan,” kata Ridho.
Jika dilihat ke belakang, lanjutnya, keterlambatan pengesahan APBA bukan yang pertama kalinya. Tahun 2004 saja, misalnya, APBA disahkan pada bulan April. Untuk tahun 2007 pengesahan dilakukan pada akhir Juni, sedangkan APBA untuk tahun 2016 dan 2017 baru disahkan pada akhir Januari. “Tahun ini, warisan keterlambatan APBA kembali terulang. Ironisnya, belum diketahui sampai kapan ini terlambat,” ujarnya.
Molornya pengesahan APBA ini berakibat pada telatnya pelaksanaan program pembangunan selama satu tahun ke depan. Hal ini, kata Ridho, jelas merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 17 tahun 2003, di mana telah diamanahkan bahwa pengesahan APBA paling lambat satu bulan sebelum tahun anggaran berjalan.
Dalam aksi tersebut, KAMMI menuntut pihak DPRA dan Pemerintah Aceh segera membahas dan mengesahkan APBA 2018 secepatnya paling telat sebelum 15 Januari 2017.
“Harus segera, kami minta kedua pihak hilangkan segala kepentingan pribadi dan kelompok,” tambahnya. Selain itu, KAMMI mendesak agar Pemerintah Aceh dan DPRA meminta maaf secara terbuka kepada rakyat Aceh atas keterlambatan ini, baik melaui lisan maupun tulisan.
Jika tuntutan ini tak diindahkan, KAMMI mengancam akan menggelar aksi dengan jumlah massa yang lebih besar. Mereka akan mengajak masyarakat agar tidak lagi memilih anggota DPRA periode ini untuk tahun berikutnya. KAMMI juga mengancam akan mengajak masyarakat agar tidak lagi berperan aktif dalam setiap program pemerintahan Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, Irwandi-Nova.
Tak lama setelah itu, mahasiswa diterima oleh Ketua Komisi II DPRA, Nurzahri. Saat demo berlangsung, dirinya mendatangi mahasiswa. “Kami menerima aspirasi dari siapapun yang datang ke DPRA,” katanya.
Terkait dengan keterlambatan APBA 2018, Nurzahri di hadapan mahasiswa menyampaikan, hingga kini Badan Anggaran (Banggar) DPRA belum menerima dokumen perbaikan Kebijakan Umum Anggaran dan Plafon Prioritas Anggaran Sementara (KUA PPAS) tahun 2018 dari Pemerintah Aceh. “Karena ini pula, kami belum bisa membahas apapun,” ujar dia.
Ia menambahkan, pihak Banggar telah beberapa kali memanggil Pemerintah Aceh untuk segera menyerahkan dokumen tersebut. Nurzahri mengaku bahwa DPRA tidak memiliki ego atau kepentingan apapun.
“Kami masih menunggu, kalau menuruti ego, pasti kami setuju dengan keputusan agar APBA ini melalui Peraturan Gubernur (Pergub) saja, tapi ini akan rugi rakyat Aceh, karena dalam Pergub banyak sekali program yang tak bisa dianggarkan,” tambah Nurzahri.
Pergub, lanjutnya, mengakibatkan adanya pemotongan Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK). “Karena itu, kami masih membuka pintu gubernur untuk serahkan dokumen KUA PPAS tersebut. Kalau hari ini pun diserahkan, malamnya akan segera kami bahas,” janjinya.
Pembahasan KUA PPAS barulah tahap awal dari proses pembahasan APBA 2018. Seharusnya, sebut anggota Fraksi Partai Aceh ini, masa penyerahan hingga pembahasan dokumen tersebut memakan waktu hingga sekitar satu bulan. “Kalau sampai hari ini belum diserahkan, teman-teman bisa bayangkan kapan APBA akan disahkan,” imbuhnya.
SIBUK URUSAN LAIN
Di akhir penjelasan, Murdani Yusuf juga sempat menyampaikan pandangan pribadinya. Salah satu penyebab keterlambatan pembahasan RAPBA tahun 2018, menurutnya juga dipengaruhi oleh proses fit and proper test untuk calon kepala SKPA yang sedang berjalan.
“Saya pikir keterlambatan ini juga dipengaruhi adanya uji kelayakan dan kepatutan calon Kepala Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA),” katanya dalam diskusi di FEB Unsyiah.
Ia menyesalkan, seharusnya gubernur tidak membuka seleksi SKPA terlebih dahulu sampai pengesahan APBA 2018 selesai. “Tunggu setelah diketok palu dulu, baru kemudian dibuka fit and proper test, setelah APBA sah silahkan,” tambah dia.
Menurut Ketua Fraksi Partai Persatuan Pembangunan (PPP) di DPRA ini, proses seleksi itu telah mengalihkan prioritas para kepala SKPA. Mereka sepertinya sudah disibukkan dengan proses seleksi itu, karena serangkain proses yang musti dilewati, seperti menjalani tes kesehatan, tes tulis serta syarat lainnya. “Makanya mereka tak punya waktu membahas APBA,” tutupnya.[]
Belum ada komentar