Apa Kabar Skandal Rp650 M?

Apa Kabar Skandal Rp650 M?
Demo penuntasan kasus korupsi Rp 650 Miliar (PM/IST)

Dalam konferensi pers yang digelar Kejati Aceh pekan lalu, kembali mencuat soal penanganan dugaan korupsi dana pemberdayaan mantan GAM. Perkara korupsi Rp650 miliar ini padahal pernah ditanyakan awak media tahun lalu. Lagi-lagi, Chaerul hanya mengulang jawaban yang pernah diucapkan mantan Kajati sebelumnya, Raja Nafrizal.

“Kita telah menetapkan ada 11 SKPA terlibat, tengah diperiksa secara keseluruhan, harap bersabar,” katanya.

Kadiv Advokasi Korupsi GeRAK Aceh, Hayatuddin menyayangkan pernyataan Chaerul tersebut. Menurutnya, semasa Kejati yang lama, kasus ini telah sampai ke tahap penyelidikan di lapangan. Sejak 24 Januari 2017, GeRAK secara resmi telah melaporkan dugaan penyelewengan dana bantuan untuk kesejahteraan mantan kombatan ini ke Kejati.

Hayatuddin

Laporan dugaan korupsi senilai Rp650 miliar yang dikucurkan Pemerintah Aceh sejak 2013 itu, diserahkan langsung oleh Koordinator GeRAK Askhalani ke Kajati Aceh masa itu, Raja Nafrizal.

Dalam laporannya, GeRAK mengantongi dua alat bukti sebagai pintu masuk penyelidikan. Pertama, program pemberdayaan itu tidak berjalan sehingga alokasi dana menjadi tidak efektif. Kedua, GeRAK menduga ada konflik kepentingan dalam proses pengadaan barang dan jasa proyek tersebut.

Mantan Gubernur Aceh, Zaini Abdullah pernah mengaku bahwa dana itu telah dialokasikan dalam APBA 2013. Anggaran ini akhirnya diketahui tidak tepat sasaran, pasalnya Komite Peralihan Aceh (KPA) selaku organisasi tempat bernaungnya eks pejuang GAM mengaku tak pernah menerima dana tersebut.

Berdasarkan data yang diperoleh Pikiran Merdeka, proyek senilai Rp650 miliar ini tersebar di 11 SKPA. Proyek tersebut, di antaranya ‘dititip’ di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP), Dinas Kesehatan dan Peternakan (Dinkeswannak), Dinas Sosial (Dinsos), serta Dinas Perindustrian dan Perdagangan (Disperindag).

Koordinator GeRAK, Askhalani pada Januari lalu menuturkan, bahwa tak sepenuhnya proyek Rp650 miliar tersebut ditujukan untuk pemberdayaan eks kombatan. “Opini yang terbangun sekarang, seakan-akan 100 presen dana ini diserahkan ke GAM. Padahal dana ini melalui SKPA dan dalam bentuk barang, bukan uang. Faktanya juga, tidak semua dana tersebut diterima oleh eks GAM,” katanya.

Proyek ini semula merupakan usulan anggota DPRA setelah pembahasan KUA-PPAS 2013. Dewan lalu menitipkannya di sejumlah SKPA. Namun, dana itu tak semuanya diperuntukkan bagi organisasi tempat bernaung bekas pejuang GAM tersebut. Hanya beberapa program yang dikhususkan untuk mereka, seperti di Dinas Perikanan, Peternakan, Perdagangan, dan Dinsos.

“Proyek Rp650 miliar itu bukan diusulkan atau dikelola langsung oleh Komite Peralihan Aceh. Namun dititipkan bersamaan oleh anggota dewan ke berbagai dinas yang akamulasinya mencapai Rp650 miliar,” papar Askhalani.

Hasil penelusuran GeRAK, kata Askhalani, ada yang mengambil keuntungan dari dana tersebut. “Ini hasil kongsi kepentingan banyak orang dengan mengatasnamakan GAM, tapi GAM tidak mendapatkan apapun dari sini,” katanya.

Dari 11 dinas yang mengelola dana Rp650 miliar itu, jelas dia, hanya empat dinas yang diketahui mengarahkan proyek tersebut untuk pemberdayaan ekonomi eks kombatan. “Jadi bisa dihitung, berapa jumlah anggaran untuk program di dinas tersebut, segitulah jumlah anggaran yang diperuntukkan bagi eks GAM,” sebut Askhalani.

Dari sejumlah kasus yang tertera dalam kelompok proyek Rp650 miliar tersebut, sebagiannya sudah ditangani penyidik Kejati Aceh. Di antaranya pengadaan kapal nelayan 40 GT yang menyedot anggaran Rp97,2 miliar di DKP Aceh. Belakangan, kasus ini sudah dihentikan di tengah jalan. Sementara hibah ayam petelur senilai Rp27 miliar hingga kini tak diketahui ujungnya.

Satu tahun berselang, tak ada perkembangan yang signifikan dari penanganan kasus ini. Kejati masih sebatas mengajukan surat perintah penyidikan. “Pemeriksaan terhadap 11 SKPA itu telah kami lakukan, orang-orang terkait pun kita sudah periksa. Ini harus diperiksa secara keseluruhan. Membutuhkan waktu dan kesabaran kita semua,” kata dia.

Sementara Hayatuddin menyampaikan bahwa GeRAK sampai hari ini belum menerima pemberitahuan apapun terkait kasus yang mereka laporkan ini. “Kajati lama juga sudah turunkan tim, sudah setahun yang lalu laporannya kita sampaikan. Seharusnya ini ada progres. Apalagi Kejati sudah melakukan penyelidikan ke 11 dinas itu. Kemarin itu yang kami terima hanya pemberitahuan bahwa kasus ini sudah masuk penyidikan, tapi sejauh mana perkembangannya, itu tidak disampaikan,” ujar dia.

Ia berharap Kejati lebih transparan. “Harusnya kan Kejaksaan memanggil semua pihak yang pernah melaporkan kasus tersebut, GeRAK punya dokumen-dokumen lain yang bisa membantu mereka. Data sudah pernah kita sampaikan semua ke Kejati. Tapi tetap saja kasus ini jalan di tempat,” sesalnya.

GeRAK menilai, Kejati tidak serius mengungkap skandal Rp650 miliar itu. Padahal korps adhyaksa, menurutnya punya segala sumber daya yang dibutuhkan untuk mempercapat penanganan kasus tersebut.

“Kalau serius, tidak sampai satu tahun pun kasus ini bisa terungkap. Karena Kejaksaan punya Kejari di tiap kabupaten dan kota. Kalau misalnya terkait pengadaan ayam petelur, semua nama-nama penerimanya sudah ada. Bahkan bantuan kapal boat, semua nama penerima ketua kelompoknya ada. Tinggal sekarang Kejaksaan mau atau tidak,” pungkas Hayatuddin.

Kajati Aceh Chaerul Amir sepertinya tak terlalu menghiraukan kritikan publik terhadap lembaganya. Ia bersikukuh bahwa Kejati terus bekerja berdasarkan data dan fakta yang diperolehnya.

“Tanggapan dari komponen masyarakat tidaklah menjadi dasar kita untuk melakukan penegakan hukum, karena nanti bisa apriori—berasumsi sebelum mendapat bukti langsung. Kejaksaan bekerja berdasarkan data dan fakta yang diperoleh untuk dapat menilai sebuah laporan pengaduan itu bernilai hukum,” sebutnya.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait