PM, Banda Aceh – Aceh masuk sebagai provinsi tertinggi mengalami bencana banjir sebanyak sembilan kali selama Juli 2021. Tak hanya itu, pada saat yang bersamaan angka kebakaran hutan dan lahan di Aceh juga teridentifikasi tinggi dengan jumlah kejadian mencapai 11 kali.
Data tersebut dipaparkan Plt. Kepala Pusat Data, Informasi dan Komunikasi Kebencanaan pada Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB), Abdul Muhari, Selasa, 3 Agustus 2021.
Selain Aceh, empat daerah lain yang tercatat mengalami banjir tertinggi di bulan Juli 2021 adalah Kalimantan Barat dengan delapan kali kejadian, Sulawesi Selatan delapan kali kejadian, dan Kalimantan Tengah sebanyak lima kali kejadian.
Untuk karhutla, Aceh berada di bawah Sumatera Selatan yang tercatat 11 kejadian, Aceh 10 kejadian, disusul Kalimantan Tengah dengan 7 kejadian, Kalimantan Selatan 6 kejadian dan Riau sebanyak 4 kejadian.
“Di bulan Juli ini, beberapa provinsi mengalami kejadian bencana hidrometeorologi basah (banjir) bersamaan dengan kejadian bencana hidrometeorologi kering (karhutla). Meskipun pada kabupaten/kota yang berbeda, fenomena ini menunjukkan bahwa anomali cuaca dalam skala lokal terlihat sebagaimana terjadi di Aceh (banjir 9 kejadian dan karhutla 10 kejadian) dan Kalimantan Tengah (banjir 4 kejadian dan karhutla 7 kejadian),” tulis Abdul Muhari.
Fenomena serupa, menurut Abdul, juga terjadi di tingkat global dimana banjir dan banjir bandang terjadi hampir bersamaan dengan kejadian kebakaran hutan yang dahsyat. Dia mencontohkan kejadian banjir dan banjir bandang yang terjadi di Jerman, Turki, India dan Cina disusul oleh kejadian kebakaran hutan yang masif di Turki, Italia, Yunani dan Amerika.
“Anomali cuaca di tingkat lokal, regional dan global ini tentunya harus menjadi perhatian dalam aspek uncertainty (ketidakpastian) dalam penyusunan langkah-langkah mitigasi,” lanjut Abdul Muhari.
Intensitas curah hujan yang mulai melewati periode ulang seharusnya menjadi bencana di Jerman, Cina dan India. Hal ini tentu saja harus menjadi pembelajaran dan dasar untuk melakukan audit infrastruktur keairan di tanah air agar memiliki kapabilitas untuk mengakomodasi potensi curah hujan ekstrem yang mungkin terjadi di masa depan.
“Pembelajaran berikutnya adalah kejadian bencana hidrometeorologi basah, bisa terjadi bersamaan dengan kejadian hidrometeorologi kering. Hal ini tentu saja berimplikasi bahwa kesiapsiagaan dan tindak darurat di lokasi yang berpotensi banjir dan karhutla yang dipersiapkan lebih baik lagi dengan manajemen sumber daya yang lebih baik,” katanya.[]
Belum ada komentar