Wabah difteri menyerang warga berbagai wilayah di Indonesia. Selama 2017, sejumlah kasus difteri ditemukan di Aceh dan empat di antaranya meninggal dunia.
Siang itu, suasana lobi ruangan Respiratory High Care Unit (RHCU) Rumah Sakit Umum Zainal Abidin lama tampak sepi. Dari enam kamar RHCU, hanya empat kamar yang terisi pasien. Mereka ialah para penderita penyakit difteri.
Penyakit ini disebabkan oleh bakteri corynebacterium diphtheriae yang menyebar melalui kontak langsung dengan udara. Sepanjang tahun 2017, tercatat sebanyak 93 kasus difteri ditangani RSUZA. Dari jumlah itu, 48 kasus dialami warga Banda Aceh dan sisanya merupakan pasien rujukan dari berbagai daerah di Aceh. Bahkan, empat penderita penyakit itu merenggang nyawa dalam perawatan medis.
Kepala Bidang Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Dinas Kesehatan Aceh, dr Abdul Fathah MPPM menyebutkan, pihaknya sudah mengambil langkah-langkah pencegahan agar penyakit difteri tidak tersebar semakin luas di Aceh. Antara lain, saat ada suspek/dugaan difteri, Dinkes Aceh mengirim tim untuk melakukan investigasi ke lokasi kasus tersebut berada. Data yang dihimpun berupa alamat korban, berapa anggota keluarga yang kontak erat dengan penderita, dan juga selama menderita difteri, penderita sudah ke mana saja.
“Seperti sekolah, tempat bermain dan sebagainya. Maka tempat tersebut didatangi untuk dicari kontak eratnya. Pasien yang diduga terkena difteri, keluarga dan kontak erat di lingkungan luarnya diambil swep tenggorokannya untuk dikirim ke lab yang berada di Surabaya,” paparnya.
Selain dilakukan swep, lanjut Abdul Fathah, juga diberikan obat pencegahan. Kemudian pasien difteri dirujuk ke rumah sakit terdekat. “Sesampainya di rumah sakit, tentu dipastikan dulu apakah pasien itu benar-benar menderita difteri atau tidak,” jelasnya.
Jika memang postitif sebagai penderita difteri, tambah dia, maka anak-anak di bawah 19 tahun yang berada di sekitar tempat tinggal penderita harus diimunisasi secara lengkap. “Pemerintah juga telah menyediakan vaksin, obat provilaksis, dan juga Anti Difteri Serum (ADS). Para dokter akan memberikan kepada penderita untuk menetralisir kuman difteri agar mengeluarkan racun yang dapat menyerang jantung, ginjal dan pernafasan,” imbuhnya.
Meski begitu, Dinkes Aceh menghadapai berbagai kendala dalam menanggulangi wabah difteri. Antara lain, belakangan ini obat khusu difteri semakin langka di pasaran. “ADS ini jumlahnya sudah terbatas di dunia, tidak banyak lagi produsen yang memproduksi ini. Ini juga menjadi masalah bagi kami dari Dinkes,” jelasnya.
Menurut Abdul Fathah, hasil analisis terhadap 93 kasus yang terjadi di Aceh, hampir semua penderita difentri tidak pernah melakukan imunisasi. “Sebanyak 95 persen tidak melakukan imunisasi sama sekali, dan selebihnya 5 persen penderita melakukan imunisasi tapi tidak lengkap,” katanya.
Karena itu, Dinas Kesehatan Aceh menghimbau masyarakat untuk membawa anak-anak mereka melakukan imunisasi. “Jika belum sama sekali untuk segera membawa, dan yang masih belum lengkap agar segera dilengkapkan imunisasinya,” imbuhnya.
Ditegaskan Abdul Fathah, tidak ada cara lain untuk mencegah difteri selain melalui inmunisasi yang lengkap. “Kami tiada henti mengimbau, segera membawa anak ke Posyandu, rumah sakit dan klinik-klinik yang menyediakan layanan imunisasi sebum semuanya serba terlambat,” pintanya dengan nada tegas.
Dia menjelaskan, setiap suspek difteri harus dirawat di rumah sakit selama 14 hari atau dua minggu. Nantinya di rumah sakit akan ditangani secara intensif supaya bisa benar-benar sembuh. “Jika 14 hari sudah dinyatakan sembuh, maka akan dibenarkan pulang oleh dokter. Mereka sudah tidak berpotensi menularkan lagi kepada orang lain, jadi perlu mengucilkannya,” jelas Fathah.
GEJALA DIFTERI
Gejala awal dari suspek difteri di antaranya suara serak, sakit tenggorokan, sakit saat menelan dan beberapa gejala lainnya. Infeksi difteri tak hanya di amandel, tapi juga ternggorokan, kulit, mata dan saluran pernadasan ditambah selaput putih. “Tapi saat ini paling banyak gejala awal berupa infeksi amandel dan tenggorokan,” kata dr Raihan SpA (K), SMF Kesehatan Anak Fakultas Kedokteran Unsyiah.
Dijelaskannya, jika ada pasien yang menderita gejala-gejala yang demikian, maka dokter harus memperlakukannya seperti pasien penderita difteri. Diberikan ADS, antibiotika, dan dirawat selama 14 hari di ruangan terpisah dari pasien penyakit lain, agar bisa dimonitor secara intensif selama perawatan.
“Suspek difteri tetap harus dirawat inap, tidak boleh berobat jalan. Ketika selama dua minggu tersebut hasil lab tidak mengalami komplikasi dan negatif, maka dinyatakan sembuh dan dibenarkan pulang. Namun tetap harus dimunisasi. Setelah itu ia tidak akan menjadi penular di masyarakat,” jelas Raihan.
Menurut Raihan, kondisi pasien penderita difteri terlihat baik-baik saja apabila tidak diperiksa. “Kalau tidak diperiksa di bagian mulut, kelihatannya biasa saja. Padahal, difteri ini infeksi akut. Jika tidak sembuh, penderitanya bisa meninggal dunia,” ujarnya.
Selama proses pengobatan, pasien yang dirawat khusus di ruang RHCU tidak boleh ditemani lebih dari dua orang. “Biasanya jika pasien anak-anak, mereka ditemani oleh orang tua atau neneknya. Pasien juga tidak dibenarkan dijenguk oleh orang lain,” katanya.
Selain pendamping penderita selama dirawat yang harus dibatasi dan diberi obat agar tidak tertular, para dokter dan perawat yang ingin memeriksa kondisi pasien pun harus lebih sigap. Mereka harus memakai alat pelindung diri, masker dan yang penting selalu cuci tangan saat kontak erat dengan pasien dan keluarganya.
Difteri sangat cepat progressnya. Jika sudah menyebar ke leher akan menyebabkan bengkak dan saluran nafas tersumbat. Kalau sudah demikian, meskipun ditangani secara intensif tetap menyebabkan kematian.
Meski begitu, harapan sembuh bagi penderita penyakit difteri sangat besar apabila ditangani dengan cepat. Terbukti, dari 93 kasus yang ditangani RSUZA selama tahun 2017, hanya empat orang penderita yang meninggal dunia. Satu di antaranya selain faktor ajal, berdasarkan laporan dari tenaga dokter di RSUZA, orang tua pasen juga tidak memberikan izin kepada dokter untuk melakukan tindakan yang semestinya. Keluarga melarang dokter melubangi tenggorokan pasien, sehingga memudahkan pernafasan.
“Dokter tidak bisa berbuat apa-apa jika tidak ada izin orang tua. Karena itu, Dinkes Aceh mengimbau semua orang tua yang anaknya menderita penyakit difteri, agar menyerahkan semua keputusan penanganan kepada dokter. Mereka pasti berupaya yang terbaik untuk setiap pasien yang ditangani,” tandas Abdul Fathah.[]
Belum ada komentar