Amnesty: Qanun KKR untuk Menangani Pelanggaran HAM Masa Lalu

Suasana sidang DPR Aceh
Amnesty: Qanun KKR untuk Menangani Pelanggaran HAM Masa Lalu

Suasana sidang DPR AcehOleh Josef Roy Benedict

PENGESAHAN Qanun tentang komisi kebenaran di provinsi Aceh pada Desember 2013 merupakan sebuah langkah bersejarah menuju upaya penyelesaian impunitas atas pelanggaran HAM masa lalu yang dilakukan selama masa konflik Aceh. Amnesty International menyerukan pemerintah pusat untuk memberikan dukungan penuh bagi pembentukan komisi semacam ini sesuai dengan standar dan hukum internasional untuk memastikan kebenaran, keadilan, dan reparasi bagi para korban konflik dan keluarganya.

Pada 27 Desember 2013, setelah delapan tahun dikampanyekan oleh kelompok-kelompok HAM dan organisasi-organisasi korban, dan juga upaya besar dari parlemen Aceh, qanun Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi Aceh disahkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Aceh. Qanun ini sudah diajukan kepada pemerintah pusat Kementerian Dalam Negeri untuk persetujuan sebelum berlaku.

Pembentukan komisi ini telah dimasukan dalam Perjanjian Damai Helsinki 2005 dan Undang-Undang No. 11/2006 tentang Pemerintahan Aceh. Namun demikian minimnya kemauan politik dan juga kegagalan pemerintah pusat untuk mengesahkan sebuah komisi kebenaran nasional, setelah yang ada dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi di tahun 2006, menunda pembentukannya hingga bertahun-tahun.

Pembentukan komisi kebenaran merupakan sebuah langkah penting menuju pemahaman akan situasi yang menyebabkan pelanggaran HAM masa lalu, belajar dari masa lalu untuk menjamin bahwa kejahatan-kejahatan semacam itu tidak akan dilakukan lagi, dan menjamin bahwa pengalaman-pengalaman berbagi bersama yang ada diakui dan dirawat. Selama kunjungan-kunjungan ke Aceh di tahun 2012 dan 2013, Amnesty International bertemu para korban dari berbagai wilayah di Aceh yang menceritakan kepada organisasi ini mereka masih menuntut untuk mengetahui kebenaran tentang pelanggaran HAM yang dialami mereka. Amnesty International juga bertemu dengan para anggota keluarga korban, khususnya mereka yang dibunuh atau dihilangkan, yang ingin mengetahui nasib dan keberadaan mereka yang dicintainya.

Amnesty International mendesak baik kepada pemerintah Aceh dan pemerintah pusat untuk menjamin qanun komisi kebenaran ini diimplementasikan pada kesempatan sesegera mungkin dan komisi ini bekerja sesuai dengan standar dan hukum internasional.

Amnesty International juga menyerukan pemerintah pusat untuk mengesahkan undang-undang tentang komisi kebenaran dan rekonsiliasi yang baru agar para korban pelanggaran HAM masa lalu yang lain seperti pada peristiwa 1965-66, kerusuhan Mei 1998, dan konflik-konflik di Papua dan Timor-Leste (dulunya Timor-Timur) juga mendapatkan kebenaran, keadilan, dan reparasi.

Upaya-upaya untuk memberikan efek kepada hak-hak korban atas kebenaran harus membentuk bagian dari kerangka pertanggungjawaban yang lebih luas di Indonesia. Upaya-upaya tersebut tidak boleh menjadi pengganti pertanggungjawaban sistem pemidanaan untuk menginvestigasi dan –jika bukti-bukti yang bisa digunakan ada- mengadili mereka yang bertanggung jawab atas pelanggaran HAM yang serius dan kejahatan-kejahatan di bawah hukum internasional, dalam peradilan yang adil tanpa penggunaan hukuman mati.

Penanganan kejahatan-kejahatan masa lalu semacam ini tidak hanya menyumbang untuk mengobati luka terbuka dari penduduk sipil, namun juga akan membantu penguatan supremasi hukum di negeri ini yang bisa membantu jaminan proses perdamaian dalam jangka panjang.

Amnesty International menyambut baik ketentuan-ketentuan di dalam qanun komisi kebenaran Aceh ini yang menjamin independensi Komisi ini dan menyediakan Komisi ini mandat yang jelas untuk menghadirkan kebenaran akan pelanggaran HAM dan untuk merekomendasikan langkah-langkah menyeluruh untuk memastikan reparasi bagi para korban.

Namun demikian, beberapa ketentuan di qanun ini ada di bawah batas standar dan hukum internasional dan harus diperkuat untuk menjamin bahwa komisi kebenaran bekerja secara efektif. Di antaranya, definisi pelanggaran HAM saat ini dibatasi hanya yang tertera di dalam Undang-Undang No. 39/ 1999 tentang Hak Asasi Manusia dan harus diperluas secara tersurat mencakup pelanggaran semua hak asasi manusia yang tercantum di dalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia dan hukum perjajian HAM internasional yang telah diratifikasi Indonesia (Pasal1.14). Lebih jauh, definisi “pelanggaran HAM yang berat” di dalam qanun tidak boleh terbatas pada kejahatan genosida, kejahatan terhadap kemanusiaan, dan kejahatan perang, tetapi harus mencakup kejahatan-kejahatan lain di bawah hukum internasional, seperti penyiksaan, pembunuhan di luar hukum, dan penghilangan paksa (Pasal 1.15). Juga harus diklarifikasi bahwa partisipasi para pelaku semua kejahatan di bawah hukum internasional, dalam proses rekonsiliasi, tidak bisa berujung pada amnesti di muka pengadilan nasional.

Qanun ini juga tidak merinci bahwa para anggota Komisi harus mencakup para individu yang telah memiliki keahlian dalam hukum HAM dan humaniter internasional dan juga para individu yang memiliki pengalaman dalam menangani para korban kejahatan-kejahatan serius, termasuk para korban yang traumatik, para korban kejahatan seksual, dan para korban anak-anak. Lebih jauh, Amnesty International juga perihatin bahwa persyaratan bahwa semua komisioner harus bisa membaca Al Quran adalah bersifat diskriminatif, dan akan membatasi partisipasi, khususnya para non-Muslim (Pasal 11.c).

Konflik Aceh antara gerakan bersenjata pro-kemerdekaan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dan pemerintah Indonesia berlangsung sejak 1976, dan memuncak selama operasi militer dari 1989 hingga 2005. Konflik ini mengambil korban jiwa penduduk sipil di sana, meninggalkan antara 10.000 dan 30.000 korban jiwa, banyak di antaranya penduduk sipil.

Sebuah laporan Amnesty International yang diterbitkan pada April 2013 menemukan bahwa para korban dan mereka yang terus bertahan dari pelanggaran HAM yang terjadi selama 29 tahun kekerasan masih menunggu pemerintah untuk menghadirkan kebenaran atas apa yang terjadi terhadap mereka dan terus menuntut keadilan dan reparasi. Amnesty International dan kelompok-kelompok HAM lainnya telah mendokumentasikan serangkaian kejahatan yang dilakukan oleh anggota pasukan keamanan dan tenaga pendukung mereka terhadap penduduk sipil, termasuk pembunuhan di luar hukum, penghilangan paksa, dan penyiksaan – kejahatan-kejahatan yang begitu saja dibiarkan tanpa penghukuman. Pelanggaran HAM yang dilakukan oleh GAM mencakup penyanderaan dan pembunuhan bersasaran pada mereka yang dituduh memiliki hubungan dengan pemerintah.

Banyak dari pelanggaran HAM yang dilakukan oleh kedua pihak dalam konteks konflik bersenjata non-internasional bisa merupakan kejahatan perang. Banyak dari pelanggaran diarahkan oleh pasukan keamanan Indonesia dan tenaga pendukungnya terhadap penduduk sipil merupakan bagian dari kebijakan untuk menekan gerakan kemerdekaan terlihat merupakan bagian dari serangan yang meluas atau sistematik dan bisa merupakan kejahatan terhadap kemanusiaan.[]

*Campaigner – Indonesia & Timor-Leste, Amnesty International Secretariat 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

WhatsApp Image 2021 03 18 at 15 32 19 660x330 1
Gubernur Aceh, Nova Iriansyah didampingi Anggota DPRA Komisi IV Ihksanuddin, Asisten II Sekda Aceh Mawardi, Kepala BPKA Bustami, Plt Kadis PUPR Aceh, Mawardi dan Plt Karo Adpem Setda Aceh, Robby saat meninjau peningkatan Jalan Jantho Batas Aceh Jaya di Kecamatan Kuta Cotglie Kabupaten Aceh Besar, Kamis (18/3/2021). [Dok. Ist]

Pelaksana Proyek Jalan Jantho–Lamno Diingatkan Patuhi Amdal