Amdal untuk pendirian pabrik semen di Pidie, berkali-kali ‘ganti kulit’. Sederet kejanggalan yang ditengai pembohongan publik ditemukan dalam dokumen Amdal tersebut.
Catatan LSM Kawasan Ekosistem Mangrove Pantai Sumatera (KEMPRa) menyebutkan, perusahaan semen yang menjejaki kawasan Pidie punya sejarah beberapa kali berganti nama.
“Analisis mengenai dampak lingkungan (Amdal)-nya sudah ada sejak 2 April 2002, berdasarkan SK Menteri Lingkungan Hidup Nomor 13 Tahun 2002, tentang kelayakan industri semen PT Muara Batee Tenggara,” kata Pegiat Lingkungan dari KEMPRa, M Oki Kurniawan.
Tahun 2011, perusahaan itu berganti nama menjadi PT Samana Citra Agung (SCA). Hal itu diketahui dari penerbitan SK Gubernur Aceh Nomor 530/1003 pada 11 Januari 2011 perihal persetujuan kembali kelayakan lingkungan industri semen PT SCA.
Belakangan, PT Samana Citra Agung bekerjasama dengan PT Semen Indonesia (Persero) Tbk untuk membentuk perusahaan patungan. Ibarat gayung bersambut, pihak PT Semen Indonesia ingin membangun pabrik semen dengan memanfaatkan lahan yang telah dimiliki PT SCA seluas sekitar 1500 hektar di Pidie.
“Sangat sulit menyediakan lahan seluas itu sendiri, bisa makan waktu lima tahun,” ujar Direktur Utama Semen Indonesia, Suparni, seperti dikutip dari laman resmi Kementerian Perindustrian RI. Perusahaan patungan (Joint Venture Company) terakhir bernama PT Semen Indonesia Aceh (SIA).
Terkait AMDAL-nya, pada 11 April 2016, Gubernur Aceh telah menerbitkan SK Nomor 660/BP2T/612/2016 tentang perubahan izin lingkungan kegiatan industri dari PT SCA menjadi PT SIA.
Sejumlah hal ganjil, menurut Oki, yakni mengenai pernyataan Kadep Perluasan Bahan Baku PT Semen Indonesia, Doni Avianto pada April 2016 silam. Dalam sebuah pertamuan dengan awak media, Doni menyampaikan bahwa pabrik semen tersebut tidak menggunakan sistem pengeboman atau getaran, tapi menggunakan sistem surfaceminer atau tambang permukaan.
“Artinya kami tidak menggunakan pengeboman untuk pengambilan bahan baku,” terang Doni, seperti dikutip dari saduran csrcenterindonesia.co.id.
Sementara, isi dalam dokumen Amdal Terpadu PT SIA yang telah disetujui Bapedalda Aceh pada 29 Maret 2016. Sebagaimana tertulis dalam dokumen Analisis Dampak Lingkungan (Amdal), di beberapa halaman sangat jelas menyebutkan penambangan batu gamping yang keras melalui peledakan.
“Bahan peledak digunakan pada kegiatan penambangan batu gamping yang keras berlokasi di Gle Tungkop, Gle Ujong Sagi, dan Cot Pawod,” demikian tertulis di halaman III-10 Dokumen Amdal PT SIA.
Melihat ketidaksesuaian antara pernyataan perusahaan dengan fakta dokumen Amdal, maka kemampuan dari Tim Komisi Penilai Amdal yang dibentuk Gubernur Aceh berdasarkan SK Nomor 660/227/2013, mulai dipertanyakan.
Oki juga menjelaskan beberapa hal yang luput dari Amdal yang diubah perusahaan meski telah berulang kali ‘ganti kulit’. “Ada beberapa aspek yang menjadi catatan kami,” katanya.
Pertama, mengenai aspek hidrologis. Dari hasil amatan di lapangan, teradapat drainase kering namun muncul sumber air di hilirnya. Selain itu juga terdapat hunian kelelawar jenis Rhinolophus sp, yang merupakan predator pemakan serangga atau hama serta membantu petani setempat untuk sistem penyerbukan tanaman hingga radius 20 km dari huniannya.
Beberapa dampak yang perlu diperhatikan, kegiatan penambangan mengakibatkan terganggunya sistem air permukaan dan air tanah di 15 desa dalam dua kecamatan di Pidie. Dari data BPS diketahui bahwa masyarakat setempat umumnya menggunakan sumber air sumur yang tersebar di 1900 titik. Ancaman lainnya terhadap ketersediaan air untuk persawahan yang membentang seluas 809 hektar.
Tak kalah mengkhawatirkan, kegiatan pertambangan berpotensi menyebabkan habitat kelelawar Rhinopholus sp yang selama ini menghuni Guha Tujoh akan bermigrasi, lantaran terganggu. Kondisi ini akan berdampak pada meningkatnya risiko serangan hama pada sawah dan area perkebunan.
Terganggunya proses penyerbukan dan pembasmian hama secara alami, maka produktifitas lahan akan menurun, selanjutnya rentan terhadap merosotnya pertumbuhan ekonomi masyarkat sekitar. “Kalau kehilangan sumber air, bagaimana masa depan warga di sana? Perusahaan seharusnya memikirkan hal ini,” kata Oki.
Sementara Humas PT SIA, Marjoni memberi keterangan singkat saat dihubungi Pikiran Merdeka, Jumat pekan lalu. Ia mengatakan, PT SIA tengah dalam tahap penyiapan untuk pembangunan pabrik.
“Saat ini masih membangun fasilitas pendukung, seperti masjid, dormitory, pembersihan lahan dan kantor proyek, kalau pembangunan induk seperti pabrik dan pelabuhan sama sekali belum,” ujarnya.
Sedangkan mengenai Amdal, ia mengaku masih dalam tahap adendum, ada beberapa hal yang perlu disempurnakan. Namun ia tak menjawab rincian apa saja poin yang akan diubah dalam dokumen tersebut.
“Dalam waktu dekat juga akan kita selesaikan. Setelah ini baru pembangunan yang utama seperti pabrik dan pelabuhan. Karena kemarin kan Amdal yang dibuat PT Samana harus ada beberapa penyempurnaan lagi, harus ada yang disesuaikan dengan keadaan saat ini. Teknologi umpamanya, kemudian alat-alat yang kita gunakan, kemudian desain pabrik dan lain sebagainya. Semuanya yang ramah dengan lingkungan,” katanya.
Ia menyadari bahwa Amdal penting dicermati untuk mencegah masalah di kemudian hari. “Kita harus menyesuaikan keadaan terkini. Itu yang akan dituangkan dalam Amdal, itu akan disempurnakan secara keseluruhan. Sekarang masih tahap finalisasi,” ujarnya.
Terkait persoalan lahan, Marjoni berjanji akan selesai dengan jalan musyawarah dan mufakat. Selama ini ujarnya, perusahaan melakukan komunikasi dengan masyarakat. “Terutama dengan stakeholder yang ada disitu. Yang jelas perusahaan berkomitmen agar masalah lahan itu bisa selesai. Kita sudah membentuk Forum Musyawarah Gampong, yang difasilitasi tim CSR, semua persoalan itu dibahas disitu,” katanya.
Ia menekankan, Kehadiran perusahaan semata-mata untuk kesejahteraan masyarakat. Ia mengklaim telah mendapat dukungan penuh dari masyarakat. Mengenai maraknya protes dari warga, Marjoni menolak berkomentar.
“Saya tidak punya kapasitas untuk menjawab itu, media bisa menilai secara objektif. Saya juga tidak ingin menuduh adanya provokasi,” katanya.
Ia menambahkan, keberadaan PT SIA adalah satu dukungan terhadap keberadaan investasi yang ditargetkan Gubernur Irwandi Yusuf. Target ini butuh dukungan dari semua pihak.
“Karena komitmen pak Irwandi selaku gubernur meminta, tolong berikan kenyamanan bagi investasi. Dukungan dari masyarakat merupakan bagian dari kenyamanan investasi, yang selama ini hanya terpaku pada APBD, APBK, sekarang ada peluang seperti ini, mari dukung bersama,” tandasnya.
TANPA SENGKARUT
Secara garis besar, masyarakat menginginkan dua hal terkait keberadaan PT SIA di Pidie. Pertama, ada kejelasan tentang posisi tanah rakyat dan wilayah pertambangan. “Karena itu, HGU-nya perlu dikaji ulang,” sebut Ilyas, warga setempat.
Berikutnya, masyarakat protes dengan PT SIA karena belum ada izin apa-apa tapi sudah mendirikan bangunan. “Amdal-nya juga belum jelas, tapi failitas pendukung sudah mereka bangun di sana,” terang Ilyas.
Ke depan, pihaknya ingin perhatian dari dewan baik DPRA maupun DPRK untuk turun meninjau langsung ke lokasi perusahaan. “Bentuk Pansus, supaya bisa ditelusuri langsung bagaimana situasi sebenarnya di tempat kami,” katanya.
Baca: Pesta Kecil Berujung Penjara
Ilyas dan warga lainnya mengingatkan, kerugian yang sering terjadi di banyak lokasi tambang di tempat lain jadi pembelajaran bagi semua pihak. “Kita contohkan Arun di Lhokseumawe, kita semua tahu, siapa yang paling banyak mengambil keuntungan, perusahaan atau masyarakat, kemarin saja masih ada warga yang tuntut penyediaan rumah. Dita harus belajar, dalam industri, warga setempat jangan hanya dijadikan penonton,” katanya.
Harapan juga diutarakan warga Pidie lainnya, Tgk Adnan Ubat Kareung. Pada dasarnya, industri ada untuk kesejahteraan masyarakat. Akan tetapi, segala persoalan harus mampu dituntaskan sebelum berkembang dampak negatif dalam beberapa waktu ke depan.
“Terutama tentang lahan, banyak ketimpangan yang dilakukan oleh PT Samana Citra Agung. Sejak tahun 90-an sudah demikian. Selain itu, Amdal juga harus transparan, harus melibatkan masyarakat dalam pembahasan itu,” ujarnya.
Ia juga menyoroti hal lainnya, seperti pelibatan masyarakat setempat dalam tim pemantau Corporate Social Responsibility (CSR) yang ia lihat minim sekali. “Dari 13 anggota pemantau CSR, orang daerah hanya tiga orang yang masuk ke sana,” tutur Adnan.
Hal yang juga perlu diperhatikan, lanjutnya, adalah penyelesaian terkait lingkungan dan peluang ekonomi masyarakat. “Harus diperkirakan, berapa jumlah penghasilan masyarakat sebelum kedatangan industri dan setelah industri. Belum lagi dampak lingkungan, air bawah tanah dieksploitasi, maka perusahaan harus sediakan irigasi. Yang jelas, harus perkirakan segala dampaknya,” tegas Adnan.[]
Belum ada komentar