PM, BANDA ACEH – Silaturrahmi Aktivis Aceh Lintas Generasi mengelar konferensi pers dan diskusi terkait Undang-undang Pemererintahan Aceh (UUPA) dan MoU Helsinki yang menjadi dasar lahirnya perdamaian di Aceh, di salah satu warkop di kawasan Lampineung, Senin (9/11/15).
Kegiatan yang bertema “Mengawal, Menggugat UUPA dan MoU Helsinki kepada para pihak (RI-GAM) sebagai pertanggung jawaban terhadap rakyat Aceh, di hadiri oleh sejumlah aktifis, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) dan pihak Pemerintah Aceh.
Dalam diskusi tersebut, Direktur Yayasan Advokasi Rakyat Aceh (YARA) Safaruddin membeberkan
alasannya terkait mengajukan Judisal Revew (JR) terhadap UUPA yang dilakukan beberapa waktu lalu. Ia mempertanyakan manfaat yang didapatkan masyarakat Aceh dengan adanya poin tersebut.
“Jangan sampai manfaatnya hanya untuk politik aja, untuk rakyat tidak,” katanya saat memberikan pendapat.
Ia menambahkan, dengan kebijakan tersebut, ditakutkan praktisi hukum rawan dikriminalisasikan,
seperti yang terjadi beberapa waktu lalu ada aktifis yang di kriminalisasikan.
Safaruddin juga mempertanyakan tentang poin poin lain dalam UUPA, seperti persoalan rekrutmen anggota komisi Independen Pemilihan (KIP) memalui persetujuan DPRA, aka nada kemungkinan untuk dipolitisir.
“Hal ini membuat KIP akan dominan warna DPRA nya, dan hal seperti ini apa kita pertahankan atau tidak,” tanyanya.
“Apakah kita mempertahankan sejarah atau manfaat hukumnya,” tanyanya lagi.
Begitupun dengan poin pasal Wali Nanggroe dan qanun pertanahan, menurutnya tidak bermanfaat dan sangat diskriminasi bagi kaum tertentu.
Sementara itu, Herry Maulizar yang ikut terlibat saat penyususnan UUPA mewakili unsur mahasiswa pada tahun 2005-2006, mengkhawatirkan gugatan terhadap UUPA perpotensi terhadap di kabulkannya semua gugatan.
Menurutnya untuk mencapai UUPA prosesnya sangat berat, semangat UUPA menjadi spirit perdamaian di Aceh.
“Utamakan lah kebersamaan kita, kita hindari mengedepankan hak pribadi kita, karena ini menyangkut dengan keistimewaan dan kekhususan Aceh,” katanya.
Cut Farah turut serta memberi tanggapan tentang gugatan yang di persoalkan oleh Safaruddin, harusnya melalui musyawarah dengan tim pihak yang lebih paham. Ia meminta kepada Safaruddin lain kali jangan main sendiri-sendiri.
“Jangan One Man Show lah, kan masih banyak senior untuk di dikusikan dulu, karena ada factor-faktor yang berhubungan dengan UUPA yang gak mungkin kita tinggalkan,”katanya.
Sementara itu, Amrizal J. Prang yang menjadi keynote speaker dalam acara tersebut menanggapi bahwa, Aceh memiliki dua hal yang diberikan pusat, keistimewaan dan kekhususan, berbeda dengan daerah lain. Banyak sekali pasal-pasal dalam UUPA yang diatur pemerintah pusat untuk daerah Aceh tidak untuk daerah lain.
Ia juga memberi contoh seperti di Padang yang sedang memperjuangkan kekhususannya, mereka berdiskusi dengan pihak Aceh.
“Mereka terkejut dengan hal ini, masyarakat Aceh sendiri yang menggugatnya,” katanya.
Amrizal juga menjelaskan, hak konstutional warga negara punya hak mengugat, tapi syaratnya harus memiliki legal standing. Artinya apakah undang undang tersebut merugikan warga negara.
“MK akan melihat itu, ketika nanti bertentangan, maka MK juga memiliki wewenang untuk membatalkan UUPA, dan bersifat final dan mengikat,” katanya.
Dalam paparannya, Amrizal mengajak seluruh elemen masyarakt untuk mengawal UUPA. Keberadaan UUPA tidak sempurna agar tercapai pembentukannya, harus terwujud kepastian hukum, kemanfaatan, dan keadilan untuk rakyat Aceh, maka segera diimplementasikan oleh pusat dan Aceh.
[PM006]
Belum ada komentar