Kejati Aceh memainkan ‘akrobat hukum’ dalam menangani kasus tunjangan ganda pegawai Sekretariat KIP Aceh. Proses hukum dihentikan dengan dalih pengembalian kerugian negara.
Sepertinya Kejaksaan Tinggi Aceh sedang mengampanyekan adagium ‘ayo korupsi, kalau ketahuan ya balikin’. Paling tidak, hal itu tercermin dalam penanganan kasus tunjangan ganda puluhan pegawai Sekretariat Komisi Independen Pemilihan (KIP) Aceh yang merugikan keuangan negara Rp1,1 miliar.
“Uang tersebut telah dikembalikan ke negara, maka kasusnya kami hentikan,” kata Kajati Aceh Raja Nafrizal, menjawab pertanyaaan wartawan terkait perkembangan kasus yang sempat heboh beberapa waktu lalu itu.
Penghentian proses hukum kasus tersebut disampai Raja Nafrizal dalam pertemuan mengulas capaian kinerja Kejati Aceh, Jumat (21/7/2017). Pernyataan itu tentu berbanding terbalik dengan semangat pemberantasan korupsi yang selama ini digembar-gemborkan pjajaran Kejati Aceh.
Asisten Bidang Pidana Khusus Kejati Aceh, Teuku Rahmatsyah menjelaskan, tunjangan ganda yang diterima para pegawai Sekretariat KIP Aceh sudah dikembalikan dengan jumlah sesuai perhitungan Aparat Pengawasan Intern Pemerintah (APIP) Inspektorat Aceh.
Kasus yang terjadi sejak 2014-2016 tersebut melibatkan 22 PNS di Sekretariat KIP Aceh. Mereka meneria dua tunjangan sekaligus, yakni dari Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI dan Pemerintah Aceh. Setiap pegawai menerima tunjangan itu antara Rp1,5 juta sampai Rp3 juta per bulan, dengan membuat pernyataan palsu. Dalam kasus itu, negara dirugikan sekira Rp1,1 miliar.
“Unsur kerugian keuangan negara tidak terbukti, karena sudah dikembalikan semua. Kalau ada bukti baru, maka dibuka kembali penyelidikannya,” ujar Rahmatsyah.
Dia beralasan, kasus tersebut dihentikan karena pengembalian kerugian negara dilakukan di saat proses penyelidikan. “Berbeda jika sudah tahap penyidikan, maka pengembalian itu tidak menghapus tindak pidana. Ini sesuai Pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, uang tersebut bahkan bisa jadi barang bukti,” tambahnya.
Dalam kasus itu, 22 PNS yang diperbantukan di Sekretariat KIP Aceh menerima tunjangan ganda, yakni Tunjangan Prestasi Kerja (TPK) dari Pemerintah Aceh dan Tunjangan Kinerja (Tukin) dari Komisi Pemilihan Umum.
Tukin dari KPU mulai diberikan kepada pegawai di KIP Aceh, baik pegawai organik maupun pegawai yang diperbantukan dari Pemerintah Aceh, sejak Juli 2014. Namun, setelah proses pencairan Tukin 2014, beredar kabar bahwa para PNS Pemda di KIP Aceh mendapatkan tunjangan ganda, yaitu TPK dan Tukin.
Kabar itu sampai ke KPU Pusat, sehingga diterbitkan surat edaran dari KPU kepada PNS Pemerintah Aceh yang diperbantukan di Sekretariat KIP Aceh untuk memilih salah satu tunjangan. KPU RI memperingatkan agar PNS tidak boleh menerima tunjangan ganda. Jika PNS Pemda sudah menerima TPK, berarti tidak mendapatkan Tukin lagi.
Menindaklanjuti surat edaran tersebut, PNS yang diperbantukan di KIP Aceh, termasuk Sekretaris KIP Aceh Darmansyah, membuat surat pernyataan dengan membubuhkan tanda tangan dan materai enam ribu.
Setelah adanya surat pernyataan tidak menerima TPK dari Pemda yang dibuat serentak pada 9 November 2015, KPU menyalurkan Tukin kepada para PNS tersebut dengan cara dirapel atau dibayarkan seluruhnya di akhir tahun.
Belakangan diketahui, pernyataan itu hanya akal-akalan mereka agar memperoleh tunjangan ganda. Pasalnya, selama itu pula mereka terus menerima TPK dari Pemerintah Aceh sekaligus Tukin dari KPU.
Menurut perhitungan awal, kerugian negara dalam kasus itu mencapai Rp1,5 miliar lebih. Dengan rincian, tahun 2014 tunjangan 21 orang selama 6 bulan (Juli–Desember) Rp368.082.000, tahun 2015 (Januari–Desember) Rp736.164.000, dan 2016 (Januari–Agustus) Rp490.776.000.
Surat pernyataan tidak menerima TPK guna mendapatkan Tukin dari KPU Pusat dinilai hanya sebagai modus dalam menggerogoti uang negara. “Itu tindak pidana korupsi. Modusnya dengan pemalsuan administrasi untuk mendapat tunjangan ganda,” ujar Alfian.
Dia menegaskan, pengembalian uang TPK yang diterima para PNS di KIP Aceh itu tidak serta merta menghapuskan tidak pidana yang mereka lakukan. “Ini bagian dari praktik yang merugikan negara, harus diproses hukum sampai tuntas,“ tegasnya.
TREN BARU
Berkaca dari penghentian kasus tunjangan ganda pegawai KIP Aceh, Koordinator Badan MaTA Alfian melihat inkonsistensi di tubuh Kejati Aceh. Pasalnya, ada tindakan berbeda yang diterapkan jajaran korps Adhyaksa ini saat penanganan kasus yang lain.
Alfian mencontohkan, kasus yang menimpa mantan Sekda Kota Lhokseumawe, Dasni Yuzar. Kasus korupsi anggaran Yayasan Cakradonya ini sampai ke tahap kasasi oleh Jaksa Penuntut Umum. Hasil akhirnya, Dasni divonis 2 tahun oleh hakim Mahkamah Agung.
“Pada awal kasus, ia juga mengembalikan uang negara dengan menitipkan uang Rp1 miliar kepada pihak Kejati Aceh. Namun kasusnya tetap berjalan hingga ke persidangan hingga vonis. Tapi kasus KIP Aceh berhenti begitu saja, ini kan tidak konsisten,” kata Alfian.
MaTA khawatir pengembalian kerugian negara menjadi tren baru bagi pelaku korupsi untuk menghindari jeratan hukum. Kebijakan semacam ini menurutnya bisa membahayakan langkah pemberantasan korupsi ke depan. “Publik akan berasumsi ‘ayo korupsi nanti kalau ketahuan kan tinggal kembalikan sedikit, dan itu tidak akan dijerat’. Tren semacam ini tidak pernah ada dulunya,” ujar Alfian.
Merujuk pada pasal 4 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang tindak pidana korupsi, dengan tegas dinyatakan bahwa pengembalian kerugian keuangan atau perekonomian negara tidak menghapuskan tindak pidana. “Selagi unsur-unsur pelaku tindak pidana korupsi telah dipenuhi sebagaimana pasal 2 dan 3, maka pelaku dapat dijerat hukum. Dalam bab penjelasan pasal tersebut ditegaskan, pengembalian kerugian keuangan negara hanya salah satu faktor yang dapat meringankan hukuman bagi pelaku,” paparnya.
“Seutuh apapun pengembalian keuangan negara, tindak pidana tersebut tidak bisa dihapuskan atau dimaafkan,” tambah Sari Yulis, peneliti MaTA bidang hukum dan politik.
Karena itu, lanjut Yulis, pernyataan pihak Kejati tentang penghentian kasus tunjangan ganda tersebut bisa menyesatkan pemahaman publik. Dalam aturan tersebut, sambung Yulis, tidak menjelaskan pengungkapan tindak pidana oleh penegak hukum sebelum atau setelah proses penyidikan.
“Pengembalian kerugian negara dilakukan setelah kasus itu kami laporkan dan sudah ditangani penyidik Kejati. Artinya, semua unsur telah terpenuhi, ada indikasi kerugian negara. Menjadi aneh kalau kasus itu dihentikan karena pengembalian tersebut, ini bisa menyesatkan publik,” katanya.
Pihaknya menilai, kebijakan penghentian kasus itu sebagai lelucon penegakan hukum. Kuat dugaan, pengembalian keuangan negara ketika proses lidik dibarengi dengan kepentingan lainnya. “Kami menduga ada ‘negosiasi’ antara pelaku dan penegak hukum. Bahkan berembus isu, dalam menangani kasus KIP ini, Kejati mengalami intervensi secara politik,” ungkap Alfian.
LAPOR KE KEJAGUNG
Menurut Alfian, saat ini pihaknya tengah mempersiapkan laporan hasil telaah mengenai penghentian kasus tunjangan ganda pegawai KIP Aceh. Laporan tersebuti nantinya akan disampaikan ke Kejaksaan Agung.
“Proses kronologis termasuk tahapan-tahapan lidik yang dilakukan oleh kejaksaan terhadap kasus ini, semua akan kita laporkan ke Jamwas (Jaksa Agung Muda Pengawasan) Kejagung. Mereka yang punya kewenangan untuk memeriksa kenapa kasus ini dihentikan,” imbuhnya.
Bagi MaTA, penanganan kasus tunjangan ganda itu mengindikasikan ketidakjujuran penyidik dalam menangani perkara hukum secara utuh. Adanya kesan pemutarbalikan kebenaran materil tanpa menerapkan ketentuan hukum secara jujur dan tepat.
“Kita melihat, selama ini memang belum ada komitmen penuh dari jajaran kejaksaan dan kepolisian dalam mengungkap kasus korupsi di Aceh. Tidak saja kasus tunjangan ganda itu, kasus-kasus lain pun banyak yang tidak jelas penanganannnya. Sebagaian kasus malah sengaja didiamkan oleh aparat penegak hukum,” katanya.
Untuk itu, Alfian juga meminta anggota Komisi III DPR RI asal Aceh ikut memberi respon pola penegakan hukum di Aceh yang kerap mencederai supremasi hukum itu sendiri. “Kita berharap, wakil Aceh di Komisi III DPR RI merespon hal ini. Apa yang dilakukan Kejati hari ini sudah merupakan kekacauan hukum. Kita berharap, mereka jangan diam saja dengan pola penegakan hukum semacam ini,” tandas Alfian.[]
Belum ada komentar