Jakarta – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Indonesia merespon pengaduan yang dilayangkan Direktur Utama PT Imza Rizky Jaya, Rizayati terhadap Pemimpin Redaksi Metro Aceh, Bahrul Walidin pada 24 Agustus lalu. Laporan atas dugaan pencemaran nama baik itu disebabkan pemberitaan di media.
Sebelumnya, Rizayati melalui penerima kuasa Rizaldi telah melaporkan Bahrul Walidin dengan nomor laporan: STTLP/228/VIII/YAN.2.5/2020 SPKT. Selain ke polisi, Bahrul juga dilaporkan PT Imza Rizky Jaya ke Dewan Pers sesuai surat tanda terima dari Dewan Pers tertanggal 24 Agustus 2020.
Tudingan pencemaran nama baik ini bermula dari pemberitaan Metro Aceh yang berjudul ‘Hj Rizayati Dituding Wanita Penipu Ulung‘ pada 20 Agustus 2020. Berita ini berisi tentang dugaan aksi penipuan yang dilakukan oleh Rizayati di sejumlah wilayah Indonesia.
“Pemberitaan tersebut diterbitkan berdasarkan keterangan para korban Rizayati dan sejumlah narasumber yang bertanggungjawab. Namun beberapa saat setelah berita ini tayang di media online itu, Rizayati menghubungi Bahrul Walidin melalui pesan aplikasi WhatsApp dan mengaku keberatan diberitakan. Dia mengaku, muatan berita itu tidak sesuai dengan fakta sebenarnya, meski sudah memuat hak jawab hasil konfirmasi via seluler,” ujar Koordinator Bidang Advokasi AJI Indonesia, Sasmito Madrim dalam pernyataan resmi, Selasa (25/8/2020).
Atas kisruh pemberitaan ini, AJI menyampaikan beberapa sikapnya. Pertama, meminta Kepolisian Aceh untuk melimpahkan kasus sengketa pemberitaan antara Direktur Utama PT Imza Rizky Jaya Rizayati dengan Pemimpin Redaksi Metro Aceh Bahrul Walidin ke Dewan Pers.
“Hal ini sesuai dengan Nota Kesepahaman antara Dewan Pers dengan Kepolisian Negara Republik Indonesia tentang Koordinasi Dalam Perlindungan Kemerdekaan Pers pada 2017,” jelas Sasmito.
Ia juga mengingatkan, jurnalis dalam melaksanakan profesinya mendapat perlindungan hukum sesuai yang tercantum dalam Pasal 8 Undang-undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, orang yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis baik fisik maupun verbal dapat dijerat pasal pidana yang diatur dalam Pasal 18 UU Pers dengan ancaman dua tahun penjara atau denda Rp500 juta rupiah.
“Bagi yang merasa dirugikan oleh pemberitaan dapat menempuh mekanisme penyelesaian sesuai yang diatur dalam UU Pers. Antara lain meminta hak jawab, hak koreksi atau melapor ke Dewan Pers,” kata dia. [*]
Belum ada komentar