AJI Banda Aceh Adakan Pelatihan Jurnalistik Lingkungan

WhatsApp Image 2020 12 01 at 10 10 55
Foto/Ist

PM, Banda Aceh – Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Banda Aceh bersama Forum Konservasi Leuser (FKL) menggelar pelatihan jurnalistik bertema ‘Meliput Isu Lingkungan Berbasis Data’. Pelatihan tersebut diikuti belasan jurnalis muda di Aceh, bertempat di aula sekolah Muharram Journalism Collage (MJC) AJI Banda Aceh, Selasa (1/12/2020).

Ketua AJI Banda Aceh, Misdarul Ihsan mengatakan praktik jurnalisme berbasis data sangat membantu jurnalis dalam menggarap liputan tentang isu lingkungan. Jurnalis bisa memanfaatkan data resmi dari pemerintah atau pun Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM).

“Data-data terkait isu lingkungan misalnya, itu bisa diakses di situs resmi lembaga bersangkutan. Bahkan, beberapa data bisa diakses gratis untuk dijadikan bahan peliputan dan diolah menjadi karya jurnalistik,” katanya.

Pelatihan ini menghadirkan pembicara dari Kepala Subdit IV Tipiter Polda Aceh, AKBP Muliadi. Dalam pemaparannya, dia menuturkan kasus kejahatan lingkungan, seperti ilegal logging dan perburuan satwa liar, seharusnya masuk sebagai kategori extra ordinary crime (kejahatan luar biasa).

Menurutnya, pemerintah perlu membentuk lembaga khusus menangani perkara tersebut.

“Lembaga khusus ini tugas dan fungsinya nanti seperti lembaga yang menangani narkoba, ada Badan Narkotika Nasional (BNN), kalau kasus korupsi ada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), seharusnya juga ada untuk menangani kasus kejahatan lingkungan,” tuturnya.

Menurutnya lagi, lembaga itu diharapkan juga mempunyai wewenang bisa mengawal kasus yang diusut sampai ke pengadilan.

Sementara itu Direktur Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Aceh, Muhammad Nur mengungkapkan sejumlah pola kerusakan hutan di Aceh diakibatkan oleh beberapa faktor. Dia menyebut diantaranya akibat pembukaan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Di sektor perkebunan, melalui Hak Guna Usaha (HGU). Ditambah lagi proyek pertambangan, infrastruktur, dan proyek energi dalam kawasan hutan, telah memperparah kerusakan hutan di Aceh.

“Penyebab ini lah yang sering mendatangkan bencana kepada kita. Kerugian akibat bencana karena kerusakan hutan di Aceh, lebih banyak dibandingkan manfaat yang diperoleh dari industri di kawasan hutan,” ujarnya.

Di sisi lain, Tezar Pahlevie dari Forum Konservasi Leuser (FKL), di hadapan belasan peserta pelatihan memaparkan, deforestasi hutan di Kawasan Ekosistem Leuser (KEL) sepanjang 2016-2019 cenderung menurun.

Namun katanya, bukan berarti deforestasi di KEL telah berhenti. Kerusakan lingkungan masih saja terjadi setiap tahun dan ikut berdampak terhadap satwa liar di dalamnya.

“Penyebab deforestasi di KEL umumnya adalah karena pembukaan hutan untuk pertanian dan perkebunan, penebangan liar, dan pertambangan ilegal,” paparnya.

Menurut Tezar, gagasan membentuk lembaga khusus menangani tindak pidana kejahatan lingkungan, sangat mendesak dibentuk untuk memutus mata rantai kerusakan hutan di Indonesia.

“Saya rasa kasus lingkungan terutama perdagangan dan perburuan satwa liar pantas disebut extra ordinary crime. Perlu upaya yang besar dan konsen menangani kejahatan ini,” ungkapnya.

Pelatihan Jurnalistik Meliput Isu Lingkungan Berbasis Data ini, juga memberikan beasiswa liputan kepada dua peserta terpilih dengan topik lingkungan yang relevan dan menarik.(*)

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait

IMG 20230307 WA0007
Ketua DWP Aceh, Mellani Subarni, didampingi Pengurus, menyerahkan bantuan kemanusiaan kepada Kalak BPBA, Ilyas untuk korban bencana gempa Turki di Aula BPBA, Banda Aceh, Selasa (7/3/2023). [Dok. Humas]

DWP Aceh Serahkan Dana Rp137 Juta untuk Korban Gempa Turki