Adu Ego di Nasib Rakyat

Adu Ego di Nasib Rakyat
Adu Ego di Nasib Rakyat

Polemik APBA 2018 lebih mengasankan adu ego pejabat eksekutif-legislatif. Memasuki masa krusial, seluruh agenda pembahasan anggaran justru terhenti di tengah jalan.

Anggota Badan Anggaran di Parlemen Aceh mulai kehabisan akal. Mereka berulang kali mengundang Gubernur untuk membahas R-APBA (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) tahun 2018. Hingga akhir Januari lalu, gubernur tak merespon undangan itu. Bahkan beberapa pekan sebelumnya, Banggar juga telah mengundang SKPA untuk membahas secara paralel dokumen Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) tahun 2018 bersama komisi-komisi DPRA.

“SKPA yang kita undang saat itu tak dapat hadir,” kata Ketua DPRA Tgk Muharuddin, kala itu.

Semula, beberapa perwakilan dari Pemerintah Aceh sempat menghadiri pertemuan yang digelar pada Senin (29/1/2017). Mereka diwakili oleh Asisten Perekonomian dan Pembangunan Setda Aceh, Taqwallah. Lalu ada juga Asisten Administrasi Umum Setda Aceh, Saidan Nafi serta beberapa pejabat lainnya. Namun, setelah berjalan beberapa waktu, rapat itu diputuskan untuk ditunda.

“Kalau yang hadir ini utusan, kita khawatir tidak ada kata sepakat karena nantinya keputusan tetap tim serahkan ke pimpinannya di Pemerintah Aceh, meski di sini sudah ada solusi. Sehingga, kita putuskan kalau rapat ditunda sampai gubernur hadir untuk rapat bersama Banggar,” tambah Muhar yang juga pimpinan Banggar DPRA.

Muharuddin

Menurutnya, peserta yang hadir dari Pemerintah Aceh sama sekali tak representatif. Padahal, dalam sejumlah undangan sebelumnya, seperti pada tanggal 22 Januari, pihak TAPA berhalangan hadir lantaran terbentur dengan jadwal rapat pimpinan.

“Kami menerima undangan banggar pada pagi harinya,” kata jurubicara pemerintah Aceh, Wiratmadinata, kala itu. Di sisi lain, DPRA memang sempat menerima surat Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Isinya mempertanyakan legalitas pembahasan di komisi-komisi parlemen. Karena, sejak awal Irwandi mendorong agar pembahasan KUA-PPAS digelar di Banggar, bukan komisi. Selain itu, Irwandi sepenuhnya memberi mandat pembahasan RAPBA 2018 pada TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh), tak perlu lagi hadir dirinya, apalagi SKPA. Muharuddin lalu menyanggah.

“Banggar memberi mandat pembahasan di komisi, sesuai dengan aturan Kemendagri Nomor 59 Tahun 2007 bahwa Mendagri menyerahkan pembahasan itu sesuai dengan tata tertib,” kilahnya.

Ia menerangkan, dalam pasal 72 aturan itu dijelaskan bahwa Banggar dapat mendelegasikan pembahasan itu ke komisi-komisi dan AKD (Alat Kelengkapan Dewan) lainnya sesuai keperluan.

Selain itu, menurut Muhar, pembahasan ke komisi-komisi demi mempercepat proses pengesahan anggaran tahunan itu. “Karena untuk membahas dana sebesar Rp14,7 triliun ini butuh waktu berbulan-bulan sebenarnya. Sehingga kita delegasikan untuk dibahas ke komisi dan SKPA (Satuan Kerja Pemerintah Aceh),” imbuhnya.

Di sela-sela itu, DPRA menyatakan masih optimis bahwa R-APBA bakal disahkan melalui mekanisme Qanun. “Sesuai pertemuan dewan dengan Dirjen Keuangan Kementerian Dalam Negeri beberapa waktu lalu, kita sepakat jika APBA 2018 dalam bentuk Qanun,” kata Tgk Muharuddin.

Bicara deadline, DPRA berbeda pendapat dengan Pemerintah Aceh. Jika eksekutif sebelumnya telah menetapkan batas akhir penyelesaian APBA pada tanggal 5 Februari 2018, tidak demikian dengan DPRA. Menurut mereka, RAPBA yang diserahkan TAPA ke dewan pada Agustus 2017 lalu, tak sesuai dengan mekanisme penyusunan anggaran.

Dalam kacamata dewan, RAPBA diserahkan TAPA setelah ada persetujuan bersama antara Pemerintah Aceh dan Banggar mengenai KUA PPAS. Sementara belakangan dokumen RAPBA keburu disodorkan TAPA sebelum KUA PPAS selesai. Banggar sendiri telah melaporkan kejanggalan itu pada Dirjen Keuangan Kemendagri.

Secara terpisah Pikiran Merdeka mengkonfirmasi keterangan dari Pemerintah Aceh. Jurubicara Pemerintah Aceh, Wiratmadinata saat itu menyayangkan penundaan rapat oleh DPRA. Menurutnya, utusan yang hadir ke DPRA adalah wakil resmi eksekutif.

“Pemerintah Aceh meyakinkan bahwa gubernur dan wakilnya sebagai eksekutif sudah diwakili TAPA (Tim Anggaran Pemerintah Aceh) dan legislatif diwakili Banggar DPRA,” kata Wira.

Ia menambahkan, hal itu sudah layak dan representatif jika ditinjau dari prinsip legalitas, kepatutan dan administrasi pemerintahan. “Jadi sebenarnya tidak ada masalah di sini. Tidak ada keharusan gubernur atau wakil gubernur untuk hadir, apalagi itu jadi alasan pembahasan gagal. APBA 2018 tidak mungkin gagal karena jadwal sudah jelas sejak awal,” tambahnya.

Tak ada kata sepakat. Baik eksekutif dan legislatif bergeming di atas pendapatnya masing-masing.

Keesokan harinya, suasana lega nyaris merahap seisi ruang Badan Anggaran di gedung Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA). Petang itu, Selasa (30/1), Iskandar Usman Alfarlaky bersama rekan-rekan lainnya melangsungkan rapat dengan Tim Anggaran Pemerintah Aceh (TAPA).

Seusai rapat, anggota Banggar yang juga Ketua Fraksi Partai Aceh ini memberi keterangan pada awak media yang telah menunggu kabar di luar ruangan.

“Kita sudah sepakat dalam menyusun jadwal baru pembahasan R-APBA (Rancangan Anggaran Pendapatan Belanja Aceh) tahun 2018 bersama TAPA,” ujarnya sumringah.

Rapat yang mengagendakan sinkronisasi lanjutan itu kembali diskors, lantaran TAPA meminta waktu untuk bernegosiasi seraya meminta petunjuk dari gubernur terkait jadwal yang ditawarkan dalam forum tersebut. “Untuk pembahasan, mulai besok kita akan undang teman-teman SKPA (Satuan Kerja Perangkat Aceh) beserta perangkat lainnya untuk membahas Kebijakan Umum Anggaran dan Prioritas Plafon Anggaran Sementara (KUA PPAS) 2018,” kata Iskandar lagi.

Sebelum jadwal disepakati, komisi-komisi di DPRA sempat lebih dulu membahas KUA-PPAS. Ia berharap, SKPA bisa ikut bergabung membahas rincian program APBA di hari berikutnya. Kepada awak media, Iskandar merincikan jadwal pertemuan yang telah disetujui pimpinan DPRA itu.

Pada tanggal 31 Januari 2018, Banggar dan TAPA melalui SKPA menjadwalkan pembahasan KUA-PPAS dan Pra-RKA (Rencana Kerja Anggaran) di komisi-komisi beserta e-Planing. Pertemuan itu akan berlangung tiga hari. Lalu, di tanggal 3 Februari dilanjutkan dengan laporan hasil pembahasan tersebut dan sinkronisasinya, setelah itu kedua pihak bakal menyesuaikannya dalam e-Planing.

Setelah itu, baru ada penandatanganan nota kesepakatan KUA PPAS antara gubernur dan DPRA serta penerbitan Surat Edaran (SE) Gubernur Aceh. Berikutnya, pemerintah akan menginput RKA (Rencana Kerja dan Anggaran) SKPA ke Sistem Informasi Pengelolaan Keuangan Daerah (SIPKD) pada tanggal 4 Februari. Di hari yang sama Inspektorat juga dijadwalkan akan mereview RKA.

Sehari setelahnya, pada tanggal 5 Februari Banggar DPRA akan membahas RKA RAPBA, antara Komisi dan SKPA. Selanjutnya, pada tanggal 6 Februari akan ada penyesuaian e-Planing SIPKD dan penyesuaian Rancangan Qanun Aceh tentang RAPBA 2018. Terakhir, pembahasan nota keuangan dan RAPBA dalam masa persidangan I DPRA pada tanggal 7 Februari 2018.

“Sesuai dengan jadwal yang disepakati kedua belah pihak, ditargetkan APBA 2018 sudah diparipurnakan pada tanggal 7 Februari mendatang,” aku Iskandar.

Melibatkan SKPA ke komisi-komisi DPRA, sebut dia, semata untuk mempercepat proses menuju pengesahan Qanun APBA 2018. “Dalam masa yang tidak normal seperti ini kita memacu percepatan RAPBA 2018 ini, agar segera dapat menjawab tantangan dan kebutuhan masyarakat Aceh, terutama sektor ekonomi riil,” kata dia kala itu.

Tak dinyana, hari demi hari, pertemuan antara kedua pihak tak kunjung terlaksana. Pembahasan anggaran kembali buntu. Pada Rabu (31/1), eksekutif kembali mangkir karena berbenturan dengan agenda penyerahan hasil evaluasi dan laporan kinerja anggaran tahun 2017. Pihaknya diwakili TAPA menyambangi DPRA di hari berikutnya.

Namun, hari itu, Kamis (1/2), malah anggota Banggar yang tak ada di tempat. Kedatangan TAPA hanya disambut wakil Ketua DPRA, Dalimi. Anggota Banggar bahkan mengaku tidak tahu menahu perihal kedatangan eksekutif hari itu. Namun, belakangan diketahui pihak DPRA ternyata keberatan, karena mereka sebenarnya mengundang SKPA untuk hadir ke komisi dewan, bukan TAPA.

Sekda Aceh yang juga Ketua TAPA, Dermawan usai pertemuan tertutup dengan Dalimi menyebutkan, selain untuk membahas KUA dan PPAS dengan Banggar, mereka hadir untuk menjelaskan tatanan pembahasan yang harusnya menjadi kewenangan kedua pihak. “Kalau SKPA membahas kebijakan umum anggaran, itu sudah teknis sekali. Tidak ada kewenangan SKPA membahas KUA dan PPAS,” kata dia.

Dermawan dalam kesempatan itu mengajak Banggar DPRA untuk duduk kembali dengan TAPA, agar pembahasan KUA dan PPAS sebagai cikal bakal Rancangan Anggaran Pendapatan dan Belanja Aceh, bisa segera dilakukan. Hal itu, ujarnya, karena jadwal pengesahan APBA 2018 yang sudah molor terlalu lama. Padahal, TAPA sudah menyerahkan KUA dan PPAS pada tanggal 31 Juli tahun lalu.

Pada Kamis (1/2) siang, Pikiran Merdeka sempat menghubungi Ketua Fraksi Partai Aceh, Iskandar Usman Alfarlaky. Tak patah arang, ia dan rekan-rekan di Banggar mengaku masih komit mengundang SKPA untuk membahas RAPBA di komisi dewan. Perihal argumen Pemerintah Aceh bahwa SKPA tidak diperkenankan membahas kebijakan anggaran, Iskandar kembali bersikukuh.

“Itu kan pendapat versi mereka, Tatib DPRA seperti yang pernah saya sebutkan, kehadiran SKPA di komisi adalah hasil kesepakatan Banggar dan TAPA sebelumnya,” ujar dia melalui pesan Whatsapp, Kamis (1/2).
Belakangan, ucapan Iskandar seakan menandai titik penghabisan upaya DPRA untuk membahas anggaran tahunan yang penuh drama ini. Karena, keesokan harinya, DPRA memilih angkat bendera putih, alias berhenti menjadwalkan pembahasan RAPBA.

KOMUNIKASI SERET

Pengamat politik Universitas Malikul Saleh, T Kemal Fasya menyebut bahwa drama APBA yang bergulir tak berujung ditengarai pola komunikasi yang buruk, antara Pemerintah Aceh dan DPRA.

T Kemal Fasya

“Masyarakat terus menerima imbasnya, sedangkan eksekutif dan legislatif sibuk dengan kepentingannya masing-masing,” katanya pada Pikiran Merdeka, Sabtu (3/2).

Kemal menyesalkan pihak Pemerintah Aceh dan DPRA yang terkesan tak punya skala prioritas dalam menyelesaikan urusan pemerintahan. “Kalau kita lihat kemarin, aksi demo di mesjid raya, baik Irwandi maupun Tgk Muharuddin hadir di sana, tapi sayangnya untuk urusan yang kini cukup membelit rakyat yakni soal pengesahan APBA, mereka abai berkomunikasi,” tutur Kemal.

Ia menambahkan, kedua pihak sudah dilalaikan dengan urusan di luar tupoksi masing-masing. Selain itu, kemacetan pembahasan APBA menurutnya akibat ego dari masing-masing kubu pemerintahan.

“DPRA punya kepentingan soal dana aspirasi, kita bisa memaklumi yang kita lihat Irwandi berupaya memotong prilaku koruptif dari parlemen. Namun, caranya yang tak elegan, terkesan konfrontatif, di sini peran jurubicara pemerintah menjadi penting,” tambah Kemal.

Ia mengkritik pola komunikasi yang selama ini dijalankan Gubernur Irwandi. Menurut Kemal, Irwandi punya masalah serius dalam melakukan komunikasi. Di laman Facebook resminya, misalnya, orang nomor satu di Aceh ini kerap mengomentari berbagai hal secara reaktif.

“Seharusnya dalam memberi pernyataan, ia bisa berkonsultasi dulu dengan Jubirnya. Dalam hal ini dibutuhkan jubir yang komunikatif, yang tak memperlebar ruang konfrontasi, ini harus benar-benar dihindari,” kata Kemal.

Seorang pemimpin, tambah dia, perlu memberi penjelasan yang bijak dan tidak parsial kepada publik. Harus menyatukan, bukan malah memperlebar jarak dengan lawan politiknya. Karena jika terus menerus dibiarkan, bisa merembet ke perdebatan yang tidak sehat di tengah-tengah masyarakat. “Tidak perlu marah-marah, itu tidak baik, perlu komunikasi yang baik dalam menjalankan roda pemerintahan yang progresif seperti ini,” katanya.

Selanjutnya, Kemal mendesak pihak eksekutif dan legislatif untuk segera mengakhiri ego masing-masing. “Apa hal yang positif yang bisa diambil publik dari pola hubungan yang konfrontatif semacam ini? Tidak ada,” sindirnya.

Kehadiran pemerintah adalah untuk melayani masyarakat. Setiap anggaran yang direncanakan akan dipertanggunjawabkan di hadapan publik. Beban ini yang seharusnya tetap diingat oleh kedua belah pihak.

“Kalau yang selama ini, kita melihat hajat hidup masyarakat berada dalam level terendah dalam pola komunikasi para pejabat pemerintah ini. Rakyat nyaris terpinggirkan, hanya ego mereka yang dikedepankan,” kata Kemal.

Ia kembali mengingatkan, pada tanggal 13 Januari lalu, pemerintah pusat telah menyampaikan bahwa Aceh adalah salah satu provinsi yang paling telat menyelesaikan APBD. Dalam sepuluh tahun terakhir, pengesahan APBA selalu terlambat. Pemerintah perlu menyadari, semakin telat pengesahan anggaran, semakin telat pula proses pembangunan. Dengan demikian, target percepatan pembangunan daerah pun ikut terancam.

“Padahal di masa kampanyenya, misi percepatan pembangunan itu digembar-gemborkan di masyarakat. Pemerintah harus sadar hal ini, jangan sampai janji tinggal janji,” kata Kemal, mengingatkan.

Mengenai mekanisme pengesahan anggaran, Kemal secara pribadi berpendapat Pergub sebagai solusi. Hal itu berangkat dari waktu yang makin mendesak, juga kepentingan yang kian kuat di jajaran parlemen. “Kalau makin berlarut-larut, Pergubkan saja,” tandas Kemal.[]

Legislatif-Eksekutif di Jalan Buntu

DPRA menghentikan seluruh agenda pembahasan RAPBA 2018, sementara Pemerintah Aceh siapkan opsi Pergub. Seperti yang sudah diperkirakan, hingga Jumat (2/2) lalu, tak ada pertemuan antara SKPA dan DPRA seperti yang direncanakan Banggar tempo hari.

Menariknya, Gubernur Aceh Irwandi Yusuf hari itu malah terlihat bersama Ketua DPRA Tgk Muharuddin di pelataran Mesjid Raya Baiturrahman. Keduanya menghadiri aksi massa menolak LGBT bersama ratusan Ormas Islam. Irwandi tampak berdiri berdampingan dengan Tgk Muhar saat diberi kesempatan menyampaikan orasinya.

Beberapa jam kemudian, Tgk Muharuddin bertolak ke DPRA untuk menggelar rapat dengan seluruh ketua komisi. Usai rapat itu, dewan akhirnya bersepakat untuk menghentikan seluruh agenda pembahasan RAPBA 2018. Pihaknya menyerahkan sepenuhnya kepada pemerintah Aceh.

“Beberapa kali SKPA mangkir, kami rasa itu jelas menunjukkan bahwa eksekutif tak serius menyelesaikan APBA melalui mekanisme qanun,” kata Muharuddin pada awak media.

Menurutnya, Banggar dan TAPA sudah menyepakati pengesahan APBA menggunakan qanun atau peraturan daerah bukan peraturan gubernur. Pada saat itu, lanjut dia, kedua pihak juga menyepati jadwal pembahasan kebijakan umum anggaran dan plafon penggunaan anggaran sementara atau KUA PPAS yang menjadi pedoman rancangan APBA 2018.

Namun, sebut Muharuddin, pihak eksekutif tidak melaksanakan kesepakatan tersebut. Buktinya, undangan legislatif untuk pembahasan anggaran tertuang dalam KUA PPAS tidak mendapat respons positif.

“Jadwal pembahasannya sudah disepakati 31 Januari hingga 2 Februari. Tapi sampai hari ini, undangan membahas KUA PPAS tidak datang, sehingga menganggap eksekutif tidak serius mengesahkan APBA 2018 dengan qanun atau peraturan daerah,” kata Muharuddin.

Ia merasa, tak pernah ada titik temu antara eksekutif dan legislatif untuk menuntaskan RAPBA. Tarik ulur pembahasan ini disebutnya ‘memuakkan’.

“Kami muak dengan sikap TAPA, sekarang terserah gubernur ingin Pergub atau mengqanunkan APBA nantinya, yang jelas, jika dipergubkan maka DPR Aceh akan meningkatkan pengawasan terhadap kinerja pemerintah Aceh dan jajaran SKPA,” tegas dia.

SIAP IKUTI ALUR

Pemerintah Aceh tak berkomentar banyak terkait dengan keputusan DPRA ini. Pihaknya melalui jurubicara Wiratmadinata memilih untuk ‘ikut alur’. Ia menyampaikan bahwa Pemerintah Aceh selama ini telah berusaha menjelaskan mekanisme penganggaran secara tepat ke pihak DPRA.

Wiratmadinata

“Namun, seperti yang kita lihat, mereka ngotot menghadirkan SKPA, padahal sudah jelas SKPA bekerja di ranah teknis, tidak bisa dilibatkan dalam menentukan kebijakan anggaran,” katanya pada Pikiran Merdeka, Sabtu (3/2) pekan lalu.

Merujuk pada Peraturan Menteri Dalam Negeri, Wira kembali mengaskan bahwa KUA PPAS tidak bisa dibahas dengan SKPA. Kebijakan umum, sebutnya, hanya bisa dilaksanakan di antara Banggar DPRA dan TAPA.

“Kalau alasan DPRA mengundang SKPA ke komisi untuk mempercepat proses pembahasan APBA, tentu itu kurang tepat, tidak bisa semaunya saja memutuskan sesuatu. Ada regulasi yang harus diikuti, ada prosedurnya, kami harus cermat dalam hal ini,” tegas Wira.

Ia menambahkan, tak hanya DPRA, pihak Pemerintah Aceh pun sejak awal menginginkan pembahasan APBA secara cepat dan tepat waktu. Namun tentu juga harus memenuhi prosedur yang ada. “Kalau mau bicara mempercepat, seharusnya jangan sekarang bicara itu, pada tanggal 31 Juli lalu, kita sudah serahkan KUA PPAS. Kalau saat itu juga dibahas, kita tak akan telat,” kata Wira.

Ia menekankan, bahwa pemerintah harus menyusun APBA yang berkualitas. “Agenda pengentasan kemiskinan, kesejahteraan, adalah target utama Pemerintah Aceh. Ini disyaratkan dengan anggaran yang berkualitas, yakni anggaran yang prosedural, legal, dan sistematis, bukan semaunya,” ujar dia.

Soal pengesahan APBA melalui Pergub atau qanun, Wira menyatakan bahwa keduanya masih memungkinkan ke depan. Peraturan menegaskan bahwa Pergub adalah konsekuensi jika pembahasan APBA di tingkat legislatif tak mencapai kesepakatan hingga lewat batas waktu. “Pergub adalah konsekuensi, karena tanpa anggaran, pemerintahan takkan berjalan,” tegas dia.

Pada prinsipnya, lanjut dia, Pemerintah Aceh tetap terbuka dengan pembahasan APBA. Hanya saja semua musti sesuai dengan prosedur yang telah dijalankan. “Prosesnya, kita sudah serahkan RAPBA pada Desember tahun lalu. Artinya, jika diadakan pembahasan di luar koridor itu, maka pemerintah tak bisa menerima,” tandas Wira.[]

Tudingan Pemakzulan Gubernur

Gubernur Irwandi membeberkan wacana pemakzulan dirinya oleh kalangan DPRA. Fakta atau sebatas isu propaganda?

Di tengah-tengah benturan ego antara pemerintah dan parlemen di Aceh terkait APBA tahun 2018, hal yang tak kalah menarik muncul dari laman media sosial milik Gubernur Aceh Irwandi Yusuf. Pada 1 Februari lalu, Irwandi mengungkapkan adanya rencana segelintir pihak untuk melakukan pemakzulan terhadap dirinya.

“Mulai ada upaya mencari-cari alasan impeachment terhadap Gubernur dan Wakil Gubernur Aceh, oleh kalangan DPRA Fraksi PA,” tulisnya dalam status berlatar warna merah, pekan lalu.

Entah benar atau tidak, pernyataan yang dilontarkan orang nomor satu di Aceh ini sontak memancing reaksi publik. Warganet kadung berkomentar dan membagi-bagikan status tersebut. Lebih mengagetkan, Irwandi dalam kolom komentarnya ikut mengunggah cuplikan percakapan Whatsapp berisi wacana pemakzulan tersebut.

Cuplikan itu memuat komentar dari orang bernama ‘Nuruzzahari DPRA’ dan ‘@Azhari Cagei’. Dalam percakapan berbahasa Aceh itu, terungkap serangkaian wacana impeachment gubernur, seperti mengirim surat ke Mendagri dengan tembusan Presiden yang berisi penegasan bahwa mereka berhenti untuk membahas APBA 2018.

“Tidak perlu mengemis ke gubernur, kita jelaskan bahwa segala upaya telah dilakukan untuk bahas namun eksekutif tidak mau, dan dalam surat itu kita nyatakan akan melakukan pengawasan super ketat terhadap pelaksanaan Pergub APBA 2018, jika ada temuan yang mengarah pada penyelewengan aturan, kita akan meng-impeach gubernur dan wakil gubernur, dan kita minta Mendagri untuk siap-siap menegakkan aturan tentang itu,” demikian sepenggal kalimat yang tertulis dalam bahasa Aceh itu.

Pikiran Merdeka telah mencoba mengklarifikasi nama-nama yang tertera pada status Irwandi tersebut. Di antaranya anggota Komisi I DPRA, Azhari Cage. Namun, hingga pekan lalu nomor ia tak merespon panggilan telepon, sedangkan pesan Whatsapp tak kunjung dibalasnya.

Selain Azhari Cage, nama lain yang diunggah Irwandi dalam statusnya yang mengarah pada ‘Fraksi PA’ itu, adalah Ketua Komisi II DPRA, Nurzahri. Kepada Pikiran Merdeka, dirinya mengaku tengah berada di luar negeri. Saat diminta tanggapan soal tudingan Irwandi, ia menanggapi santai.

“Sementara komentar saya cuma tertawa,” kata dia disertai emoji tertawa via Whatsapp, Kamis pekan lalu. Berulang kali dipastikan tentang kebenaran status Irwandi itu, Nurzahri tetap menjawab dengan hal yang sama.

“Untuk kali ini saya mohon maaf, mohon diberitakan saja kalau saya cuma menjawab dengan emoji tertawa,” katanya singkat.

Dosen FISIP Unsyiah, Aryos Nivada menyatakan bahwa niat segelintir anggota DPRA untuk mengagalkan pemerintahan Irwandi Yusuf dengan mengeluarkan wacana pemakzulan dipastikan akan sulit dilakukan.

“Secara regulasi, pemakzulan atau impeachment kepala daerah itu sulit untuk dilaksanakan. Hal ini karena regulasi mengatur syarat ketat kepala daerah yang hendak diberhentikan ” ujar Aryos.

Merujuk pasal 48 ayat (2) UU Pemerintahan Aceh, telah diatur 6 (enam) syarat seorang kepala daerah dapat diberhentikan. Yaitu: (1) berakhir masa jabatannya dan telah dilantik pejabat yang baru; (2) tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 (enam) bulan; (3) tidak lagi memenuhi syarat sebagai Kepala daerah; (4) dinyatakan melanggar sumpah/janji jabatan; (5) tidak melaksanakan kewajibannya sebagai kepala daerah (6) melanggar larangan bagi kepala daerah.

Apabila melanggar sumpah janji jabatan atau tidak melaksanakan kewajiban sebagai gubernur, lanjut Aryos, maka pemberhentian harus berdasarkan putusan Mahkamah Agung. Kemudian pemberhentian diputuskan melalui rapat paripurna DPRA yang dihadiri oleh sekurangnya tiga perempat jumlah anggota DPRA dan putusan yang diambil minimal disetujui dua pertiga dari jumlah anggota DPRA yang hadir pada paripurna.

“Jadi, intinya tidak mudah melengserkan kepala daerah pada rezim otonomi daerah seperti saat ini,” jelas aryos.
Selanjutnya, apabila ditinjau dari latar historis, terdapat beberapa kepala daerah yang diupayakan dimakzulkan oleh legislatif. Namun itu pun kebanyakan karena kasus asusila, korupsi maupun perbuatan tercela.

“Seperti kasus Aceng Fikri pernah dilengserkan dari jabatannya sebagai Bupati Garut oleh DPRD atas dugaan pelanggaran UU Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemda dan UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, Di tahun 2017 juga ada tiga upaya pemakzulan kepala daerah. Yakni, Bupati Mimika Eltinus Omaleng diberondong kasus ijazah palsu, Bupati Katingan Ahmad Yatenglie yang tersandung kasus perselingkuhan, dan terakhir Wakil Bupati Gorontalo Fadli Hasan yang dituduh intervensi proyek dan perselisihan dengan ayahnya,” papar Aryos.

Kesemuanya berupaya dilengserkan karena kasus berat dan tercela. Sedangkan mempergubkan APBA, tegas dia, sama sekali bukanlah perbuatan melanggar hukum. “APBD dipergubkan pernah dilakukan semasa Basuki Tjahaja Purnama menjabat Gubernur DKI Jakarta pada tahun 2015. Dirinya membuat Pergub untuk pengesahan APBD DKI 2015 dan kemudian disetujui oleh Mendagri,” kata Aryos.

UCAPAN EMOSIONAL

Aryos menyatakan bahwa wacana impeachment yang dihembuskan merupakan keinginan segelintir pejabat di DPRA yang belum legowo terhadap proses pembahasan APBA 2018. “Ada segelintir anggota DPRA yang belum legowo terhadap kepemimpinan gubernur saat ini sehingga secara politik dilakukanlah berbagai cara untuk melanggengkan kepentingannya. Kalau itu karena dana aspirasi yang tidak terakomodir, maka sikap-sikap politik macam itu amat tidak dewasa,” katanya.

Terakhir Aryos menyatakan bahwa pengesahan APBA melalui Pergub perlu dilihat dalam kerangka penyelamatan uang rakyat. “Irwandi sepertinya melihat ada sesuatu yang tidak beres dalam proses pengesahan Qanun APBA 2018. Oleh karena itu, demi penyelamatan uang rakyat, gubernur memilih tidak tersandera dengan kepentingan maupun syahwat segelintir elite politik,” pungkasnya.

Sementara itu, pengamat hukum Amrizal J Prang menyatakan tindakan mempergubkan APBA sebagai suatu implikasi dalam proses politik. “Itukan proses, pembahasan bersama, pasti ada perbedaan pandangan kan, ya mestinya membangun komunikasi yang baik,” ujarnya, Sabtu pekan lalu.

Ia menjelaskan, dari wacana yang berkembang, hampir tidak ada alasan hukum yang kuat untuk DPRA memakzulkan gubernur. “Makanya, saya berpikir persoalan perbedaan pandangan dalam pembahasan RAPBA, ungkapan emosional semata. Sebenarnya bisa dikomunikasikan lebih baik, dengan mengedepankan kepentingan rakyat,” tutupnya.

Disebut-sebut sebagai fraksi yang diduga mewacanakan pemakzulan terhadap gubernur, Iskandar Usman Alfarlaky selaku Ketua Fraksi Partai Aceh tak mau ambil pusing. “Itu kan hanya isu. Mari kita semua untuk tidak terjebak dengan isu-isu sehingga meruntuhkan trust di antara pemangku pemerintahan di Aceh,” katanya singkat.[]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait