Adendum Ragu-ragu PT SIA

Adendum Ragu-ragu PT SIA
Adendum Ragu-ragu PT SIA

Adendum Amdal Semen Indonesia Aceh ditolak warga karena dinilai cacat hukum. Komisi Penilai Amdal memberikan tenggat 21 hari untuk memperbaikinya.

 

UNTUK kesekian kalinya, Muhamad Jawahir menyanggah. Di hadapan para peserta rapat, Warga Kecamatan Muara Tiga, Pidie, itu bicara lantang. Ia menuding ketua Komisi Penilai Amdal Aceh, Saminuddin yang juga Kepala Dinas Lingkungan Hidup dan Kehutanan (DLHK) Aceh telah menggiring pembahasan rapat itu secara sepihak. “Kenapa bapak ambil kesimpulan sendiri, sedangkan kami kan belum menerima. Seharusnya kita pending dulu ini. Kalau langsung diterima buat apa kami di sini,” ujar pria yang akrab disapa Cekmad itu dengan ketus.

Kalimat itu terucap usai Saminuddin mengatakan bahwa dokumen adendum PT Semen Indonesia Aceh telah sesuai dengan peraturan perundang-undangan.  “Dokumennya akan disempurnakan atau dibuat dengan lebih baik lagi. Sesuai dengan saran tim teknis maupun masukan dari masyarakat, saran yang disampaikan ini merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dokumen Amdal yang hari ini kita bahas,” ujar Saminuddin. Selanjutnya, ia memberi tenggat 21 hari untuk perbaikan Amdal tersebut.

Sejatinya, rapat yang berlangsung pada Rabu pekan lalu di Gedung C DLHK Aceh itu merupakan sidang Komisi Penilai Amdal untuk pendirian pabrik semen PT Semen Indonesia Aceh (SIA) di Kecamatan Muara Tiga dan Batee. Namun, sejak pertama dibuka pertemuan berjalan alot tanpa hasil memuaskan hingga berakhir menjelang sore. Bupati Pidie Roni Ahmad alias Abusyik yang ikut hadir dua kali angkat bicara untuk meredam tensi yang meninggi di antara peserta rapat.

Baca: Gejolak Semen Laweung

Sidang Rabu itu merupakan rapat ketiga pembahasan adendum. Sejak senin, rapat telah digelar tapi hanya untuk tim teknis Amdal. Barulah pada hari ketiga, sejumlah perwakilan masyarakat Muara Tiga dan Batee boleh menyampaikan uneg-uneg. Duduk berseberangan dengan anggota komisi dan perwakilan PT SIA, perwakilan masyarakat berkali-kali meragukan pemaparan adendum Amdal tersebut.

Protes tak berkesudahan terus mengalir terhadap pendirian pabrik semen PT SIA di Pidie. Warga merasa sengkarut di balik pendirian pabrik itu hingga kini banyak yang belum tuntas. Beberapa di antaranya mengenai keabsahan Amdal dan pembebasan lahan masyarakat.

Seperti yang disampaikan salah seorang warga dari Batee, Tarmizi. Saat diberi kesempatan menyampaikan pendapat, dengan gamblang ia menjelaskan potensi alam dan ekonomi masyarakat yang tengah terancam akibat pendirian pabrik. “Selain masjid kuno dan makam-makam ulama, potensi alam yang selama ini mendatangkan manfaat ekonomi pada masyarakat, ikut terancam,” terang Tarmizi. Masjid kuno dan makam ulama yang disebut Tarmizi berada di dekat areal proyek pabrik.

Adapun kawasan pabrik PT SIA yang tengah didirikan sekarang, sebut Tarmizi, dulunya merupakan kawasan Hutan Tanaman Industri (HTI). Di masa pemerintahan Wakil Gubernur Aceh Zainuddin AG, kawasan tersebut lalu dikapling oleh pemerintah. “Dari pengkaplingan itu, dibagilah 317 hektare ke warga Muara Tiga, 250 hektare kecamatan Batee, 100 hektare untuk Guha Tujoh, dan untuk perusahaan PT Samana Citra Agung (SCA) sebesar 1.000 hektare,” beber Tarmizi.

Sayangnya, kala itu masyarakat tak serta merta sepakat tanah itu dikapling. Meskipun dimungkinkan penyelesaian secara musyawarah apabila dalam kawasan seluas 1000 hektare milik perusahaan itu terdapat lahan milik warga. Namun mereka tak mampu berbuat banyak, karena situasi keamanan yang amat mangancam kala itu. “Administrasi pun tak semua berjalan normal, kita masih dalam tekanan-tekanan. Itu sedang masa DOM (Daerah Operasi Militer),” ujarnya.

Baca: Sengkarut Dana Kerahiman Semen Laweung

Warga lainnya juga mengutarakan hal senada. Keberadaan HTI dinilai telah merampas hak masyarakat di masa itu. Meski DOM telah berakhir, penderitaan masyarakat tak juga berhenti karena digerus lagi dengan kehadiran PT SIA. Buruknya hubungan antara perusahaan dengan warga setempat dalam setahun terakhir, sempat memunculkan aksi anarkis. Dalam rapat itu, warga juga kembali mengingatkan hal tersebut. “Kalau ingin selesaikan masalah, turunlah ke masyarakat. Jika tidak mau turun, masyarakat tetap akan melawan. Sekarang saja warga masih memblokade jalan, saya yakin, jika tidak turun, ini tak akan pernah selesai,” ujar seorang warga Batee.

Sementara, Anggota DPRK Pidie Fraksi Partai Aceh Mahfuddin Ismail menilai blokade jalan semata-mata buah kekesalan masyarakat atas ketidakpedulian perusahaan. Karena itu ia mendesak Pemkab Pidie untuk turun tangan. “Kalau tidak maka saya yakin ini bakal jadi bom waktu dan bumerang bagi pemerintah daerah dan perusahaan sendiri di kemudian hari,” ujarnya. Dari dulu, kata Mahfuddin, ia mendorong dan mengingatkan pemerintah untuk segera menuntaskan masalah pertanahan dan ganti rugi lahan warga oleh perusahaan.

 

Perlu Ditelaah

Sementara itu, pegiat lingkungan dari LSM KEMPRa, M Oki Kurniawan mengurai beberapa hal terkait adendum Amdal PT SIA yang dibahas di dalam rapat. Mengenai kegiatan penambangan, misalnya, PT SIA pernah menyatakan bahwa kegiatan menambang perusahaan tidak akan menggunakan metode peledakan. Hal ini diulangi kembali oleh Ketua Tim Penyusun Adendum Amdal PT SIA, Edy Wiyono di dalam rapat tersebut. “Kegiatan menambang dengan peledakan itu kan hanya cerita historis. Itu Amdal PT Samana Citra Agung. Kita sudah sepakat itu dihilangkan,” ujar Ketua Tim Penyusun Adendum Amdal PT SIA, Edy Wiyono.

Namun, hal itu disanggah Oki. Di dalam dokumen adendum Amdal ternyata masih terdapat metode peledakan. “Apa benar pada adendum kegiatan penambangan tidak menggunakan bahan peledak? Dalam Sub judul 2.4.4.5 Hal 2-44, didapati penjelasan adanya metode peledakan. Begitu pun pada Tabel 2.21 Hal 2-62, dan halaman lainnya,” rinci Oki.

Hal lain yang juga disoroti Oki, terkait kesesuaian lokasi rencana kegiatan penambangan dengan tata ruang hasil kajian dari Badan Koordinasi Penataan Ruang Daerah (BKPRD) Pidie. Meski Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Pidie telah menetapkan kawasan pendirian pabrik itu sebagai wilayah industri, namun hal itu terbentur dengan aturan lain, yakni Keputusan Presiden RI Nomor 26 Tahun 2011 tentang Cekungan Air Tanah (CAT) dan diatur dalam Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2017 tentang CAT di Indonesia.

Baca: Rekomendasi Sebelum Pabrik Semen Berdiri

Dari hasil tumpang susun (overlay) peta yang dilakukan oleh KEMPRa terhadap Izin Usaha Pertambangan dan Operasional Produksi (IUP OP) Komoditas Batugamping, sebagaimana termuat dalam Lampiran II SK Gubernur Aceh Nomor 545/BP2T/1592/IUP-OP./2016 seluas 985 hektar, diketahui IUP OP itu berada dalam CAT Sigli sebesar 100 persen. Sementara IUP OP lainnya, yakni Komoditas Pasir Tufaan berada dalam CAT Sigli sebesar 88,2 persen. Hal ini didasarkan pada Lampiran II SK Gubernur Aceh Nomor 545/BP2T/1593/IUP-OP./2016 seluas 445 hektar terhadap Peta Cekungan Air Tanah berdasarkan Lampiran I dan II Peraturan Menteri ESDM Nomor 2 Tahun 2017 tentang Cekungan Air Tanah di Indonesia. “Sedangkan pada dokumen AMDAL PT SIA terdahulu belum dimasukkan kesesuaian lokasi PT SIA dengan CAT Sigli sebagaimana Keppres tersebut,” ungkap Oki. Untuk itu ia menyarankan perlu dilakukan kajian teknis terlebih dahulu oleh instansi terkait guna memastikan zonasi sebagaimana termuat pada Peraturan Menteri tersebut.

Menanggapi hal tersebut, Edy Wiyono mengatakan persoalan tata ruang telah dikaji di dalam Amdal sebelumnya. “Karena di dalam Permen ESDM Nomor 16 tahun 2012, pemrakarsa wajib mengajukan rekomendasi kesesuaian tata ruang. Tapi, menurut kami tidak dibutuhkan lagi,” katanya.

 

Menolak Tegas

Lantaran dianggap tidak sesuai dengan Peraturan Menteri Nomor 17 tahun 2012 tentang keterlibatan masyarakat dalam proses analisis dampak lingkungan hidup dan izin lingkungan, Jawahir secara tegas menyatakan menolak semua dokumen Andal, RKL, dan RPL industri semen PT SIA. “Kami menilai dokumen adendum Amdal ini cacat hukum,” tegasnya. Terlebih lagi, lanjut Jawahir, kegiatan penambangan PT SIA tidak menjelaskan sama sekali dampak yang timbul akibat peledakan. “Risiko lingkungannya sama sekali tak disebutkan, bagaimana terjadi pencemaran udara nantinya serta pengaruh pada sawah dan kebun masyarakat,” ujarnya.

Selain itu, pada 19 Oktober 2015 masyarakat Muara Tiga telah bersepakat menolak pemindahan beberapa kilometer jalan provinsi Krueng Raya-Laweung, tepatnya antara Gampong Cot (Muara Tiga) dan Kulee (Batee). Penolakan itu telah mereka sampaikan secara tertulis kepada Gubernur Zaini Abdullah kala itu. Jawahir juga menolak kegiatan mobilisasi pada tahap pembangunan pabrik yang melintasi jalan Simpang Beutong, lokasi yang menjadi akses PT SIA selama ini. “Jalan tersebut tak cocok dilewati truk besar yang melebihi kapasitas, karena jalan bisa rusak dan itu mengganggu aktivitas warga nantinya,” imbuh Jawahir.

Baca: Bara di Lahan Pabrik

Adapun Bupati Pidie Roni Ahmad dalam pertemuan itu mengingatkan bahwa segala permasalahan yang muncul dari pendirian PT SIA adalah tanggung jawab semua pihak. Ia juga meminta PT SIA mendengar masukan dari masyarakat.

“Jangan sampai terulang, yang telah dirasakan oleh keluarga besar kita juga masyarakat, seperti  di Lhoksemawe ada berapa banyak investor yang menanam saham, tapi masyarakat hanya bisa melihat dan mendengar tidak lebih dari itu. Di Aceh Timur juga demikian, dan di Lhok Nga Aceh Besar juga sama,” ujar Abusyik.

Ia juga meminta perusahaan baik SIA maupun Samana duduk bersama Pemerintah Pidie. “Sebelumnya mungkin PT SCA tidak pernah duduk bersama dengan Pemerintah Pidie. Cuma Direktur PT SIA yang ada di Aceh baru dua kali jumpa dengan saya sendiri dan belum ada keputusan apa pun mau dikemanakan pabrik semen tersebut tidak ada penjelasan. Jadi, tolong duduk untuk menyelesaikan masalah yang ada di Pidie hari ini.”[]

 

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait