Tiap ada yang lalu-lalang di jalan Kota Meureudu menuju Kota Ulim di Pidie Jaya, Monalisa seakan ingin tahu banyak hal tentang orang itu. Sayang ia tak berjilbab, pikir beberapa orang yang melintas barangkali. Seandainya ia berjilbab. Tentunya . . .
Ah, tapi bukankah Monalisa karya Leonardo da Vinci memang tak berjilbab. Kalau pun mengenakan jilbab pastinya ia bukanlah Monalisa. Ya, patutnya kalau berjilbab bernama Maimunah atau Munawarah yang bisa jadi kemudian disapa, ”Mona”.
“Mana ada Monalisa pakek jilbab,” timpal sang pelukis, Ibrahim A Wahab seraya tersenyum ketika ia ditanya Pikiran Merdeka.
Monalisa masih juga terdiam dan seolah ingin tahu banyak hal tentang orang-orang yang lalu-lalang di jalan. ”Ini saya jual Rp400 ribu. Ukurannya 1 m x 40 cm,” tukas lelaki kelahiran Kota Meureudu.
“Kalau yang itu, itu, itu lagi, pokoknya ukuran 40cm x 30 cm harganya Rp150.” Kali ini Rahim, begitu ia biasa disapa, bangun dari kursi cepernya menunjuk lukisan-lukisan yang disampirkan di dinding DP Studio miliknya.
”Kalau sketsa cuma Rp35 ribu,” katanya yang seakan menangkap gerak mata saya yang menatap lekat pada sebentuk wajah polos anak-anak ukuran 40 cm x 30 cm.
Ibrahim baru dua minggu buka DP Studio di Gampong Teupin Pukat, Kecamatan Meurah Dua. Usaha periklanan tersebut pernah dirintisnya di Banda Aceh sejak tahun 2003. Setelah printer hadir di Banda Aceh dan spanduk lukis tergantikan spanduk digital, usaha Rahim dan usaha-usaha sejenis mulai mengalami penurunan omset dan kemudian banyak harus gulung tikar.
”Butuh modal besar,” jelasnya, “kalau buka biro periklanan yang ada printer.”
Dari dulu ia sadar benar bahwa melukis hanyalah sekadar hobi. Setamat SMA 1 Meureudu tahun 1991 ia meninggalkan kampung halaman menetap di Banda Aceh. Di kota provinsi itu Rahim kemudian berprofesi sebagai penulis spanduk, tapi hobi lukisnya tetap jalan.
”Waktu banyak NGO di Aceh, lukisan-lukisan saya banyak dibeli sama bule. Rezeki sampingan sebenarnya,” ujarnya sambil tersenyum.
”Usaha saya, ya, spanduk, baliho, (sambil menunjuk kain yang dibentang di atas rang kayu), buat papan nama, floris.”
Ditanya perihal dukungan pemerintah, Rahim menerawang jauh. ”Pemerintah maunya bisa buat satu tempat khusus, contohnya seperti Taman Budaya Banda Aceh. Memang harus diakui gak mungkin dibuat pameran lukisan. Banda Aceh pun belum pernah. Ini karena faktor budaya. Lukisan dalam Islam ibarat anak tiri. Nah, faktor inilah mengapa banyak rumah gak dihiasi dengan lukisan. Inilah mengapa lukisan dianggap kebutuhan luks (mewah-red), bukan sekunder apalagi primer bagi orang-orang kita.”
Kata Rahim, Pemda tiap kabupaten di Aceh selama ini lebih peduli kepada seni tari semata, sebab tarian bisa digunakan dalam acara-acara pemerintahan.
“Saya setuju, seni tari, apalagi tari-tarian tradisional harus dilestarikan. Tapi kalau sebatas sebagai pelepas kejenuhan, hanya sebatas pelengkap seremonial, hanya dianggap sebagai acara selingan atau hiburan di antara acara-acara utama, itulah suatu kekeliruan.”
Menurut Rahim, Meureudu sebagai Ibukota Pidie Jaya seharusnya memiliki Taman Budaya seperti di Takengon ataupun Rangkang Sastra seperti di Bireuen.
”Di Pidie Jaya banyak seniman. Seni sastra misalnya, orang Aceh satu-satunya yang pernah meraih penghargaan sebagai novelis nasional 2010 di Jakarta, siapa? Arafat Nur. Orang Rhieng Blang, awak Meureudu. Di Koran Tempo ada redaktur dest daerah yaitu Mustafa Islam, orang Bheu, Trienggadeng, yang sering menulis cerpen di koran-koran nasional. Seni musik, baik tradisional maupun modern. Yang sering tampil di TVRI Banda Aceh pada acara Damai Kreasi yang difasilitasi Aceh Institute, yang baca hikayat sambil main biola ’kan anak Meureudu juga?!” terangnya penuh semangat.
Lebih lanjut Rahim menegaskan, jika Pidie Jaya ingin dikenal di tingkat Aceh ataupun tingkat nasional, salah satu jalannya melalui seni di samping kue adèe, Nasi Marjani Komunitas Keturunan India, Pantai Manohara, Jalan Layang, dan lainnya. Pemerintah dapat memfasilitasi seni sastra, seni musik, seni rupa, dan seni tari. Ada satu gedung khusus yang peruntukkannya dapat diisi oleh para seniman.
Disinggung mengenai pelukis tenar Aceh seperti Mahdi Abdullah atau Said Akram, Rahim terdiam sejenak dan beberapa detik kemudian baru bicara. ”Mereka adalah orang-orang yang beruntung disupport pemerintah. Mereka diberi dukungan untuk ikut pameran kalau ada pemeran di Jakarta atau Yogya ataupun di kota-kota besar lainnya di pulau Jawa. Dari sana mereka dikenal dan kemudian dapat ikut memamerkan lukisan-lukisan mereka di Amerika, Jepang, Australia, Eropa.”
Monalisa di dinding masih saja diam terpaku. Ia mungkin bingung juga mendengar komentar pelukisnya. Apakah ia juga berharap seperti tuannya; sebuah gedung seni dan di sana Monalisa terpelihara dari pandangan tak senonoh para laki-laki. Di sana ia akan menunggu pagelaran Pekan Kebudayaan Pidie Jaya (PKPJ) yang diselanggarakan tiap tahun, menyesakmai para seniman Pidie Jaya menyiapkan pertunjukkan demi pertunjukkan yang akan diselenggaran di Pidie Jaya, di tingkat provinsi, nasional maupun internasional.[]
Belum ada komentar