Aceh Mini di Pasar Minggu

Fuad merapikan jajanannya. (Foto Makmur Dimila)
Fuad merapikan jajanannya. (Foto Makmur Dimila)

Jakarta – SUARA Rahmawati AR menyeruak di lantai dua Pasar Inpress Pasar Minggu, Jakarta Selatan. Sumbernya dari sebuah warung bertuliskan “mia aceh” pada bagian depan rak kaca. Rak itu terhalang tumpukan berbagai sayuran yang dijaja pedagang lainnya. Tak jauh dari tempat Fuad jual nasi di ujung lantai.

Fuad, pemuda asal Meureudu, Pidie Jaya. Dia berniaga di sini sejak 2001. Menu-menu khas Aceh seperti kuah lumak, asam keu-eueng, kuah ulee syure, terpampang jelas dari balik kaca bening bertuliskan “Masakan Aceh Fuad”.

Mangat-mangat han,” tutur Fuad. Jualan di negeri orang menurutnya ada saat-saat yang menyenangkan dan kadang pula sebaliknya.

“Yang penting bergaul,” tutur Ahmad, lelaki beruban asal Indra Jaya, Pidie. Dia tinggal di Jakarta sejak 1973 bersama keluarga. Pasar Minggu merupakan salah satu tempat yang membuatnya betah. “Meunyo le ngon peh tem, mangat sinoe/kalau banyak kawan bercanda, enaklah disini,” ucapnya.

Adi bilang, “Pak Ahmad memang sering makan di warung Si Fuad.” Pria satu anak ini jualan sembako di basement atau lantai dasar, pasarnya sembako dan alat-alat rumah tangga.

Sebelum mencapai lapak Adi, lagu Rafly terdengar dari los milik Ramadhan. Di belakang rak nasi mininya, lagu khas Aceh itu mengalir ke saf sebelah, menyaingi lagu pop barat yang berdesis dari speaker di langit-langit lapak Dani. Adi sedang di sana, akhir pekan ketiga Desember itu.

Ketika memutuskan hengkang dari Medan sepuluh tahun lalu, Adi lebih memilih Jakarta dibanding daerah lain. “Di sini sudah ada dasarnya,” kata pria asal Lhokseumawe ini, bahwa sudah banyak warga Aceh mencari biaya hidup di Pasar Minggu.

Saking nyamannya, Adi sampai dapat jodoh sesama penjual sembako. Dia resmi mempersunting gadis Klaten, Jawa Tengah, pada 2008. Keluargnya itu dibawa ke Aceh saat lebaran untuk memperkenalkan kepada orang-orang di kampung. “Paling sekali dalam dua atau tiga tahun,” beber pria yang kelahiran 1980.

Ruas antara lapak dengan lapak (Foto Makmur Dimila)
Ruas antara lapak dengan lapak (Foto Makmur Dimila)

Lapak Adi berdekatan dengan Dani dan beberapa pedagang asal Aceh lainnya. Dani jual beras. “Mangat tawoe u gampong trep-trep sigo, jadi kana perubahan watee takalon/Enaknya jarang-jarang pulang kampung, sehingga ada perubahan waktu kita lihat,” tutur pedagang kelahiran 1992.

Mereka sewa lapak Rp 5 juta per tahun. “Muhai chit,” nilai pemuda asal Krueng Raya, Aceh Besar. Namun mereka cukup betah karena seperti berjualan di kampung sendiri meskipun tidak menjaja produk dari daerah sendiri.

Hiruk-pikuk lebih terlihat mulai jam 2 pagi. “Jika ingin melihat keramaian Pasar Minggu,” sebut Adi, “datanglah dini hari.”

Warga berbelanja di Pasar Minggu ketika angka di kalender telah berganti. Sudut-sudut los pedagang dipenuhi ibu-ibu. Keramaian menghidupkan suasana, mengusir kantuk Dani dan kawan-kawan.

Pedagang Pasar Minggu tidak tidur malam. Mereka buka lapak mulai jam 1 pagi dan tutup biasanya menjelang siang hari. “Atau tergantung sampai mata tidak sanggup lagi kita buka,” ujar Herman; lekasi ia pamit setelah menyalupi lapaknya dengan terpal biru. Sementara lagu Rafly masih sayup-sayup dari kedai nasi mini Ramadhan.[Makmur Dimila]

Belum ada komentar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

Berita Terkait