Oleh Indra Setia Bakti
Aceh itu plural. Ada beragam suku pribumi yang mendiami Propinsi Aceh, dan sayangnya tidak banyak orang Indonesia yang tahu. Suku yang terbesar adalah suku Aceh sendiri. Mereka mendiami hampir sebagian besar wilayah di Propinsi Aceh. Suku terbesar kedua adalah suku Gayo (sekitar 12 %). Suku ini mendiami wilayah pegunungan di Kabupaten Aceh Tengah dan Bener Meriah. Tak ketinggalan pula, masih ada suku-suku lain seperti suku Alas, Aneuk Jamee, Tamiang, Kleut, Singkil, Simelue, dan suku-suku kecil lainnya. Belum lagi ditambah dengan suku-suku pendatang, yakni suku Minangkabau, Jawa, Batak, Sunda, Etnis Tionghoa, dan sebagainya.
Problem yang ingin diangkat dari tulisan ini cukup sederhana, yakni terkait political will Pemerintah Propinsi Aceh dalam mengampanyekan Aceh yang plural. Suku pribumi di Propinsi Aceh tidak hanya suku Aceh saja. Poin ini cukup penting untuk diperhatikan oleh pemerintah propinsi, apalagi mengingat maraknya desakan pemekaran dua propinsi baru di Aceh belakangan ini, yang sedikit atau banyak dibumbui oleh isu sukuisme.
Masalahnya, ada kecenderungan dualisme kebijakan yang diciptakan oleh pemerintah propinsi terkait tema ini. Pemerintah Propinsi Aceh yang didominasi oleh suku Aceh seolah-olah berupaya memperkuat persatuan suku-suku yang ada, dengan menyatakan bahwa kita ini hidup dalam keberagaman, namun di sisi lain, kebijakan ke luar tidak demikian halnya. Nyatanya, Propinsi Aceh di mata orang Indonesia hanya sebatas suku Aceh saja. Keadaan ini diakibatkan oleh minimnya informasi yang diberikan oleh Pemerintah Propinsi Aceh kepada masyarakat Indonesia.
Masyarakat di pulau seberang hanya tahu Aceh identik dengan lagu Bungong Jeumpa. Mereka tidak pernah tahu lagu Tawar Sedenge (milik suku Gayo) yang liriknya lebih kaya makna. Begitu juga dengan tarian tradisional, mereka hanya tahu bahwa Tari Saman adalah tarian tradisional milik suku Aceh, padahal kalau mau jujur, tarian tersebut sudah lebih dahulu menjadi bagian yang tak terpisahkan dari suku Gayo-Alas.
Belum lagi jenis tarian tradisional lain, misalnya Tari Guel dan Tari Resam Berume. Atau kesenian Didong yang merupakan perpaduan seni suara, syair, dan tari. Kemungkinan tidak banyak masyarakat pulau seberang yang mengetahuinya, dan sayangnya kesenian tersebut milik suku minoritas Gayo. Contoh lain misalnya produk Kopi Aceh, ini juga sebuah kekeliruan. Kopi adalah komoditas utama yang tumbuh di Dataran Tinggi Gayo, sehingga yang sesungguhnya benar-benar ada dan nyata itu adalah produk Kopi Gayo.
Ini merupakan beberapa contoh kecil saja tentang bagaimana selama ini dualisme kebijakan Pemerintah Propinsi Aceh, telah berimbas pada minimnya informasi tentang kekayaan budaya suku-suku minoritas. Bahkan yang lebih mengenaskan lagi, kami yang tinggal di propinsi Aceh sendiri kebanyakan tidak tahu tentang kekayaan budaya suku-suku minoritas yang lebih kecil.
Lalu pertanyaannya, mengapa tema sensitif ini menjadi penting untuk dibicarakan? Penulis tidak pernah berniat sedikitpun untuk memicu perpecahan di antara suku-suku yang ada di Propinsi Aceh. Penulis hanya prihatin dengan kondisi tersebut, karena berpotensi memendam rasa kecemburuan sosial dan diskriminasi. Nyatanya bibit-bibit perpecahan sudah mulai kelihatan.
Bagi suku-suku minoritas yang ada di Propinsi Aceh, salah satu problem utama mereka adalah terkait eksistensi mereka secara nasional. Mereka juga ingin diketahui keberadaannya dan diakui sebagai bagian dari kekayaan bangsa. Mereka mungkin bangga menyatakan dirinya sebagai orang Indonesia. Tetapi ketika orang-orang pulau seberang bertanya ‘apakah saudara orang Aceh?’, hal ini menjadi problem tersendiri dan telah membebani sisi psikologis mereka selama puluhan tahun. Memang mereka berada di wilayah administratif Propinsi Aceh, tetapi mereka akan lebih bangga dengan identitas aslinya. Mereka lebih bangga disebut sebagai orang Gayo, orang Alas, orang Singkil, dan seterusnya.
Ketika Anda kebetulan lahir sebagai orang Gayo, lalu pergi merantau, dan orang-orang pun akan bertanya, ‘saudara orang mana?’ akan terasa sulit untuk memberi penjelasan, bahkan ketika akan menjawab sebagai orang Gayo. Lalu pertanyaan selanjutnya yang muncul yaitu ‘Gayo itu suku ya, ga pernah denger?’.
Ketika Anda menjawab bahwa Gayo adalah suku pribumi yang mendiami Kabupaten Aceh Tengah, maka orang-orang pun lalu menyatakan ‘ooo, saudara orang Aceh toh’. Padahal bahasa dan adat istiadatnya cukup jauh berbeda, mungkin agamanya saja yang sama. Kalau hendak dibandingkan dengan Propinsi Jawa Barat, orang-orang di pulau lain tidak lantas mengenal suku pribuminya sebagai orang Jawa, melainkan orang Sunda. Begitu pula dengan Suku Madura di Jawa Timur atau suku Dayak yang ada di Kalimantan, mereka jauh lebih dikenal keberadaannya.
Bila Pemerintah Propinsi Aceh masih berangan untuk mewujudkan persatuan suku-suku yang ada di wilayah administratifnya, maka itu dapat dimulai dari hal yang kecil ini. Pemerintah Propinsi Aceh perlu mengampanyekan ke dunia luar bahwa Aceh itu plural dan kaya budaya. Selain itu, kesenjangan ekonomi antar suku perlu terus-menerus dibenah. Semoga kedamaian senantiasa terpelihara.[kabarindonesia]
*Penulis adalah warga Kota Takengon, Aceh Tengah.
Belum ada komentar