Oleh Zulfadli Kawom
PADA tanggal 20 September 2013 lalu, Presiden RI, Susilo Bambang Yudhoyono diberitakan akan melantik Pemangku Wali Nanggroe Aceh, Malik Mahmud Al-Haytar sebagai Wali Nanggroe, namun jadwal yang dinanti-nanti oleh Partai Aceh dan para anggota DPRA khususnya asal Fraksi Partai Aceh tersebut, terpaksa tertunda akibat permohonan surat pengukuhan Wali Nanggroe terlambat diserahkan kepada protokol negara untuk dijadwalkan.
Meskipun keberadaan Lembaga Wali Nanggroe, selanjutya disebut, “WN” masih terjadi kontroversi, dan mendapat penolakan dari sejumlah warga di Aceh. Dewan Perwakilan Rakyat Aceh (DPRA) tetap tak bergeming dan akan melaksanakan pengukuhan Wali Nanggroe sebelum akhir tahun.
Menurut penjelasan yang disampaikan oleh Sekretaris Dewan (Sekwan) DPRA, Hamid Zein saat diminta tanggapan oleh merdeka.com, Minggu (8/12) menyebutkan, pengukuhan Wali Nanggroe telah diagendakan pada tanggal 16 Desember 2013.
“Sesuai hasil rapat Badan Musyawarah (Banmus) DPRA, tanggal 16 Desember 2013 rencana dikukuhkan,” kata Hamid Zein.
Sebelumnya Ketua Komisi A DPRA, Adnan Beuransyah pernah menyebutkan pengukuhan Wali Nanggroe diselenggarakan kenduri selama 7 hari. Akan tetapi, Hamid Zein menampiknya, ia menyatakan pengukuhan tetap dilakukan dalam sidang paripurna di DPRA.
Pada acara pengukuhan tersebut, Hamid Zein menjelaskan yang menjadi ketua panitia adalah Wakil Gubernur Aceh, Muzakir Manaf yang akrap disapa Muallem. Kata Hamid, pada hari Senin besok akan dilakukan pertemuan untuk membicarakan teknis acaranya.
Wali Nanggroe dalam Lintasan Sejarah
Saat itu prang teungoeh tanggouh that di Bandar Aceh, maka seluruh anggota parlemen, ketua adat, Sultan sementara (sebab saat itu Sultan Muhammad Daud Syah baru berumur 11 tahun), Malikul Adil hijrah ke Pidie, sebagai bagian dari strategi perang. Setelah tiga hari perjalanan, pada 28 Januari 1874 sampailah di Keumala, Pidie dan parlemen langsung menarik semua kekuasaan adat, undang-undang ke hadapan parlemen. Anggota parlemen pada saat itu adalah Tuanku Raja Keumala, Tuanku Banta Hasyem, dan Teuku Panglima Polem, serta Teungku Tjhik di Tanoh Abee Syeh Abdul Wahab. Pada saat itu Tuanku Raja Keumala di hadapan Majelis bertitah memberikan kekuasaan kerajaan Aceh kepada Teungku Chik di Tiro pada 28 Januari 1874.
Sejak saat itulah secara legitimasi Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman sah selaku penanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Mudabbirul Muluk atau Wali Nanggroe Aceh Pertama. Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman memimpin negara Aceh selama 17 tahun dan beliau mangkat pada 21 Januari 1891. Setelah itu, kekuasaan dan perjuangan negara Aceh dilanjutkan oleh anak lelakinya yang tua, Teungku Muhammad Amin Bin Muhammad Saman yang syahid pada 1896, disusul Teungku Abdussalam Bin Muhammad Saman (syahid 1898), Teungku Sulaiman Bin Muhammad Saman (syahid 1902), Teungku Ubaidillah Bin Muhammad Saman (syahid 1905), Teungku Mahyiddin Bin Muhammad Saman (syahid 1910), dan Teungku Mu’az Bin Muhammad Amin (syahid 3 Desember 1911).
Perjuangan bangsa Aceh berlanjut sampai dengan Belanda terusir dari bumi Aceh tanpa berhasil menaklukinya. Menurut Teungku Hasan Tiro setelah 65 tahun (terhitung dari syahid Teungku Mu’az 3 Desember 1911) perjuangan mengalami kevakuman, maka tepat pada 4 Desember 1976, Teungku Hasan Tiro mengumumkan kembali kemerdekaan Aceh sebagai perjuangan lanjutan kerajaan Aceh dulu.
***
Ketika Teungku Chik dinobatkan sebagai Wali Nanggroe, Sultan Aceh terakhir Sultan Muhammad Daud Syah masih berumur 11 tahun, yang kemudian setelah Beliau syahid diteruskan oleh anak-anak cucunya secara turun temurun, dengan urutan WN sebagai berikut: Teungku Chik Ditiro (WN I), Teungku Muhammad Amin (WN II), Teungku Abdussalam (WN III), Teungku Sulaiman (WN IV), Teungku Ubaidillah (WN V), Teungku Mahyiddin (WN VI) dan Teungku Mu’az (WN VII)
Pembentukan itu dilakukan pada 25 Januari 1874 melalui musyawarah Majelis Tuha Peut yang terdiri dari, Tuwanku Muhammad Raja Keumala, Tuwanku Banta Hasjem, Teuku Panglima Polem Raja Kuala dan Teungku Tjik Di Tanph Abee Syech Abdul Wahab. Keputusan musyawarah tuha peut itu menarik semua kekuasaan ke hadapan tuha peut.
Tiga hari kemudian pada 28 Januari 1874, Ketua Majelis Tuha Peut Kerajaan Aceh Tuanku Muhammad Raja Keumala mengambil keputusan untuk mempersatukan rakyat Aceh diangkatlah Al Malik Al Mukarrah Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Saman Bin Abdullah sebagai Wali Nanggroë Aceh yang pertama.
Setelah memimpin perang selama 17 tahun Tgk Tjik Di Tiro syahid akibat diracun di Kuta Aneuek Galong pada 29 Desember 1891. Tiga hari kemudian 1 Januari 1892 diangkatlah Tgk Tjik Di Tiro Muhammad Amin Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe Aceh yang kedua. Ia juga syahid pada tahun 1896 di Kuta Aneuek Galong. Wali nanggroe selanjutnya dijabat oleh Tgk Tjik Di Tiro Abdussalam Bin Muhammad Saman sebagai Wali Nanggroe ke tiga
Selanjutnya jabatan itu dipegang oleh Tgk Tjik Di Tiro Sulaiman Bin Muhammad Saman sebagai wali nanggroe keempat pada 1898 sampai syahidnya pada 1902. Sebagai penggantinya kemudian diangkat Tgk Tjik Di Tiro Ubaidillah Bin Muhamamd Saman, tiga tahun menjabat (1905) wali nangroe yang kelima itu syahid.
Jabatan itu kemudian diwariskan secara turun temurun dalam kecamuk perang Aceh melawan Belanda. Sebagai wali nanggroe yang keenam pada tahun 1905 diangkat Tgk Tjik Di Tiro Mayiddin Bin Muhamamd Saman sebagai Wali Nanggroe ke enam, ia juga syahid dalam perang melawan Belanda pada 11 Desember 1910.
Sebagai pemangku sementara jabatan wali nanggroe kemudian ditunjuk Tgk Tjik Ulhee Tutue alias Tgk Tjik Di Tiro di Garot Muhammad Hasan sebagai Wali Nanggroe ke tujuh yang kemudian juga syahid dalam peperangan pada 3 Juni 1911. Sehari kemudian jabatan itu diemban oleh Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin sebagai Wali Nanggroe ke delapan yang kemudian syahid pada 3 Desember 1911 dalam peperangan melawan pasukan Belanda pimpinan Kapten Smith. Sarakata wali nanggroe ditemukan oleh Kapten Smith dalam teungkulok Tgk Tjik Di Tiro Muaz Bin Muhammad Amin, yang kemudian disimpan di Museum Bronbeek Belanda
Wali Nanggroe Gerakan Aceh Merdeka
Pada 4 Desember 1976, Dr Tgk Hasan Muhammad Di Tiro, mendeklarasikan Aceh Mardeka di Gunung Halimun, Pidie, sebagai bentuk perlawanan terhadap RI sebagai “neokolonialisme”. Tgk Hasan mengklaim Aceh adalah negara berdaulat dan tidak pernah menyerah kepada Belanda, juga bukan bagian dari RI. Gerakan ini ia namai “successor state” dan negara yang diproklamirkan bukanlah negara baru, melainkan sambungan dari Kerajaan Aceh yang tidak pernah menyerah kepada Belanda.
Tgk Hasan Muhammad di Tiro membentuk kabinet pemerintahannya dan dia bertindak sebagai Wali Negara (kepala negara). Dasar penyebutan dirinya sebagai Wali Negara, karena Kesultanan Aceh, menurut Tgk Hasan, telah menyerahkan kedaulatan Aceh kepada Teungku Chik Di Tiro Muhammad Saman pada 28 Januari 1874 dan bertanggung jawab dan berkuasa penuh dalam negara Aceh sebagai Muzabbirul Muluk atau Wali Negara yang sah.
Pada tahun 1968 Tgk Hasan Muhammad Di Tiro mengambil sarakata yang diserahkan langsung oleh Ratu Beatrix penguasa negeri Belanda. Pada 1971 Hasan Tiro kembali ke Aceh dan menyerahkan sarakata wali naggroe tersebut kepada Tgk Tjik Di Tiro Umar Bin Mahyiddin. Pada saat itulah Hasan Tiro diangkat menjadi Wali Nanggroe ke sembilan.
Peuneutouh Stavanger
Untuk pertama sekali bangsa Acheh dari perwakilan seluruh dunia: Acheh, Malaysia, Singapura, Thailand, Australia, Amerika, Belanda, Jerman, Denmark, Sweden dan Norway telah mengadakan “Muwafakat Bansa Atjèh Ban Sigom Donja” selama tiga hari (19-21 Juli 2002) di Stavanger, Norway. Pertemuan kali ini sangat istimewa, sebab acara tersebut dihadiri oleh Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad dan aktif mengikuti Sidang selama tiga hari penuh.
Pada 2 November 2012, Malik Mahmud Al Haytar diangkat sebagai Wali Nanggroe ke Sembilan di Propinsi Aceh Juli 2002 kemudian, Malik Mahmud segera menggagas rapat Sigom Donya di Stavanger Norwegia untuk menegaskan posisinya dalam struktur perjuangan GAM. Menyempurnakan Kabinet: Jabatan Perdana Menteri Acheh pertama dijabat oleh Tengku Mukhtar Hasbi Geudông (1976-1982). Kemudian digantikan oleh Tengku Ilyas Leubé (1982-1984). Setelah itu, jabatan Perdana Menteri kosong. Barulah dalam “Muwafakat Bansa Atjèh Ban Sigom Donja” ini, Wali Negara, Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad melantik secara resmi Tengku Malik Mahmud sebagai Perdana Menteri baru menggantikan Tengku Ilyas Leubé, terhitung 21 Juli 2002, merangkap sebagai sebagai Menteri Negara sejak 1976-sekarang. Selain daripada itu, Tengku Dr. Zaini Abdullah, Menteri Keséhatan Acheh (1976-sekarang), sekarang menduduki Jabatan baru sebagai Menteri Luar Negeri, merangkap Menteri Keséhatan. Jabatan Menteri Luar Negeri sebelumnya dijabat oleh Tengku Thjik di Tiro Hasan Muhammad.
Wali Nanggroe Aceh Paska MoU
MoU Helsinki poin 1.1.7. tersebut bahwa “Lembaga Wali Nanggroe akan dibentuk dengan segala perangkat upacara dan gelarnya”. Secara tersirat tapham nakeuh seolah-olah Wali Nanggroe diarahkan pada persoalan adat istiadat ingin dilembagakan sebagai aset budaya, bukan pemegang otoritas keagamaan tertinggi. Praktis point ini tidak menyebutkan apa kedudukan, fungsi dan wewenangnya, sehingga menimbulkan multi tafsir dalam pembentukan qanun.
Wali Nanggroe saat ini tidak bisa dilepaskan dari empat aspek mendasar yaitu; aspek sejarah, sosiologis, politik dan komperatif. Aspek sejarah akan menjawab pertanyaan-pertanyaan yang berkenaan eksistensi lembaga ini dalam sistem pemerintahan Aceh masa lalu dan bagaimana peran-peran yang dimainkan.
Dari aspek sosiologis wali nanggroe harus mampu menjawab kebutuhan masyarakat kontemporer terutama terkait dengan hilangnya identitas orang Aceh dalam membangun negerinya. Sedangkan dari aspek politik, lembaga ini ada karena konsensus politik antara GAM dan RI.
Jadi, mau tidak mau ketika Aceh masih dalam bingkai NKRI diharuskan konsep yang dihasilkan tentang rumusan lembaga ini harus memuaskan kedua belak pihak, lebih khususnya qanun wali nanggroe nantinya harus merujuk kepada UUD 1945 dan UU pemerintahan Aceh 2006 serta peraturan perundangan lain yang ada di Indonesia. “Jika hal ini diabaikan maka membuat Qanun Wali Nanggroe ibarat tapeuget neuheun lam laot”
Apalagi sejarah Wali Nanggroe sangat sedikit referensi dan mengalami berbagai fungsi, tugas dan wewenang dari masa ke masa. Berbeda dengan sejarah Sultan di Aceh yang tertulis lengkap dan ditulis oleh banyak orang termasuk orang asing yang tentu tergantung sudut pandang dan kepentingan masing-masing. Aceh adalah sebuah bangsa besar yang mempunyai perjalanan sejarah tersendiri, ketika kita masih salah dalam meluruskan sejarah dan salah membuat sejarah baru, kelak anak cucu kita yang kana meluruskannya dan menyesuaikannya sesuai kesepakatan mereka. Hanya Allah Yang Mengetahui.[]
Zulfadli Kawom, Pemerhati sosial budaya.
Belum ada komentar