Munculnya simbolisasi nonmuslim di Aceh bukan kasus baru. Penting dibuat qanun khusus perancangan berbasis ke-Aceh-an ke depannya.
Simbolisasi Yahudi di bakal logo UIN Ar-Raniry bukanlah yang pertama dibicarakan publik di Aceh. Sebelumnya, masyarakat Aceh diresahkan oleh simbol bintang david alias pentagram pada pagar Istana Wali Nanggroe.
Bahkan beberapa waktu lalu, sebagian masyarakat Banda Aceh dikejutkan oleh simbol mata Dajjal (simbol illuminti jenis All Seeing Eye_red) terlihat pada desain rencana pembangunan Centre Point Banda Aceh Madani di depan kompleks Masjid Raya Baiturrahman.
Penelusuran Pikiran Merdeka, tiga gambar desain tata ruang wilayah kota itu diunggah di akun Fanpage Facebook resmi milik Illiza Sa’duddin Jamal, Walikota Banda Aceh, pada 27 September 2016.
“Desain Centre Point Kota Madani Kota Banda Aceh di depan Masjid Raya Baiturrahman. InsyaAllah ke depan akan kita realisasikan,” demikian status menyertai postingan foto tersebut. Dua gambar memperlihatkan desain taman pulau jalan yang menonjolkan sebuah lingkarang di bagian tengahnya.
“Mata satu Dajjal ka dipeudong dikeue masjid keubanggaan ureueng Aceh…! Berati Aceh ka-ek diobrak-abrik lee Yahudi laknatillah,” komen akun Facebook bernama Masrya Anandi, bahwa Aceh sudah dihancurkan Yahudi.
Pengguna Facebook lainnya, Mukhlis, berkomentar: “Mata Dajjal bermunculan di Serambi Mekkah. Astakhfirullahull’azim. Hentikan, ganti model yang lain.”
Rini Puspita Sofiyan misalnya menduga, “Itu yang ngedesainnya orang-orang illuminati kali ya.” Disambung oleh Bambang Sutrisno, “Serem. Mata Satu mulai menghiasi pembangunan di Kota Serambi Mekkah.”
Ada banyak komentar miring lain bermunculan. Postingan ini memang kalah heboh dengan calon logo baru UIN Ar-Raniry yang mencuat dua minggu kemudian. Simbol-simbol ini menambah daftar panjang kontroversi simbol illuminati di Aceh. Sebelumnya ada simbol bintang david di pagar Istana Wali Nanggroe, kompleks Kantor Gubernur Aceh menyerupai Salib dan desain Masjid Polda Aceh jika dilihat dari udara.
Baca: Simbol Illuminati di Serambi Mekkah
Majelis Permusyawaratan Ulama (MPU) Aceh melihat simbol adalah bagian dari syiar agama. Maraknya simbol-simbol nonmuslim di Aceh sejatinya menjadi perhatian serius Pemerintah Aceh.
“Kita berharap Pemerintah menertibkan dan mengkaji bahwa ada sebuah kebijakan dalam membuat simbol-simbol yang ada di Aceh agar memperhatikan nilai-nilai ke-Aceh-an kita. Ini perlu,” tegas Wakil MPU Aceh, Tgk H Faisal Ali kepada Pikiran Merdeka, akhir pekan lalu.
Jika tidak, sambungnya, perancang desain akan mengabaikan nilai kearifan lokal Aceh sehingga membuat Aceh melepaskan identitas daerah. Jangan sampai kata dia masyarakat Aceh menjalani kehidupan dengan simbol-simbol khusus bagi nonmuslim. “Walaupun kita memakainya secara tidak kita sadari, tapi itu bagian dari mengembangkan syiar agama lain,” tegasnya.
Dia misalnya menyebut bakal logo baru UIN Ar-Raniry yang menimbulkan polemik. Pihak rektorat menurutnya harus tinjau kembali agar logo itu bisa dipahami oleh masyarakat Aceh secara umum, meskipun pembuat sudah memberikan penjelasan filosofi logo tersebut.
“Kita tinggal di Aceh dan UIN itu lembaga pendidikan Jantong Hatee Rakyat Aceh, maka apapun, termasuk logo nanti yang akan dipakai selamanya, perlu diperhatikan nilai-nilai ke-Aceh-an itu,” ujar mantan Sekjen Himpunan Ulama Dayah Aceh itu.
Terkait segi delapan yang menurut sebagian praktisi desain sudah dipakai pada masa Kerajaan Turki Usmani, dia menerangkan, hal itu harus dipandang luas. Kerajaan Usmani pasti memiliki latar belakang tersendiri menggunakan simbol segi delapan.
“Mereka memakai nilai ke-Turki-an, maka kita harus pakai nilai ke-Aceh-han. Kita tak perlu meniru Turki walaupun mereka islam, kita pasti punya kekhasan sendiri,” ucapnya.
Sementara jika suatu simbol tidak begitu rumit dipahami masayarakat awam seperti desain rencana Centre Point Kota Madani di atas, sebut Tgk Faisal Ali, tidak menjadi persoalan. Paling penting, tambahnya, suatu desain logo harus bisa dipahami masyarakat awam.
“Sekarang di Aceh, kantor sudah tidak mencerminkan nilai ke-Aceh-an, rumah sudah hilang nilai ke-Aceh-an. Jika Pemerintah Aceh menganggap persoalan simbol adalah hal sepele, eksistensi identitas Aceh terancam semakin pudar,” terangnya.
Dia mengharapkan Pemerintah Aceh bisa melahirkan kebijakan khusus tentang rancangan bangunan maupun simbol tertentu yang mewajibkan desainer untuk memuat unsur lokalitas Aceh. Kebijakan ini menurutnya bisa dituangkan dalam bentuk Pergub atau Perwal/Perbup di kab/kota.
“Kita perlu belajar pada Padang, Sumatera Barat. Kalau kita ke sana, identitas Padang akan kita jumpai di mana saja. Beda sekali dengan kita, misal saat akan turun di Bandara Sultan Iskandar Muda, kita tidak tahu bahwa sedang di Banda Aceh, hampir sama dengan di Medan,” Tgk Faisal Ali berkelakar.
Wakil Ketua MPU Aceh juga berharap agar seluruh fakultas teknik di Aceh mengajarkan nilai-nilai ke-Aceh-an kepada mahasiswanya. Hal ini perlu agar nantinya para arsitek tak melupakan unsur kearifan lokal dalam setiap rancangannya.
KEARIFAN LOKAL
Dosen Fakultas Teknik Unsyiah, Zulfikar Taqiuddin, menyambung saran Wakil Ketua MPU Aceh, malah mengharapkan Pemerintah Aceh bisa melahirkan kebijakan yang mewajibkan semua perguruan tinggi di Aceh untuk mengajarkan kearifan lokal Aceh.
“Tidak hanya fakultas teknik. Fakultas hukum misalnya perlu muatan lokal soal hukum adat yang berlaku di Aceh, begitu juga fakultas perikanan yang mengajarkan adat laot. Bahkan jurusan tata busana pun perlu muatan lokal ini,” jelas Zulfikar Taqiuddin kepada Pikiran Merdeka.
Menurutnya, perihal itu belum ada selama ini. Jika pun ada kampus yang menerapkan itu, kekuatannya kecil. Akan lebih kuat status kebijakan kampus jika pemerintah langsung yang menetapkan peraturannya.
Dia juga mengharapkan pemerintah harus melibatkan warga dalam setiap desain rencana pembangunan. Sebelum disahkan, perencanaannya perlu ditunjukkan kepada masyarakat hingga diperoleh kritik dan saran yang membangun.
Menurutnya, salah satu caranya bisa mempublis lebih dahulu di akun media sosial resmi milik dinas terkait. Hal inilah yang sebenarnya dilakukan Pemko Banda Aceh dalam mendesain rencana pembangunan Centre Point Kota Madani.
“Setelah didesain arsitek, kita langsung unggah di Facebook untuk mendapatkan respon warga. Ternyata ada banyak respon. Kita menerima kritik dan saran dari mereka,” ujar Kepala Dinas Kebersihan dan Keindahan Kota (DK3) Banda Aceh, Jalaluddin kepada Pikiran Merdeka, Sabtu pekan lalu.
Menurutnya, rencana pembangunan Centre Point Madani di taman pulau jalan di depan Masjid Raya Baiturrahman itu masih dalam tahap mendesain gambar. Belum sampai pada pengadaan proyek.
“Apa yang disarankan masyarakat terhadap konsep taman itu sudah kita perbaiki,” ujar Jalaluddin. “Tapi kita belum tahu pasti siapa yang akan mengerjakan proyek ini karena belum ada dana. Rencana kita cari dana CSR dari pihak swasta,” sambungnya.[]
Belum ada komentar